"AAAAAAAAAAAAAA!!!"
Eric terbangun di pagi hari dengan suguhan teriakan ibunya. Dengan sigap ia langsung bangun dan membangunkan kedua sepupunya. Mereka pun terbangun dengan cepat dan langsung berlari ke bawah.
Eric sangat cemas saat ia turun tangga. Pasalnya di bawah terdapat bau anyir yang menyeruak tajam hingga beberapa meter. Dirinya yang sangat lemah terhadap bau-bau seperti itu pun mendadak pusing hingga mual.
Ia pun berhenti di ujung tangga dan duduk sementara di situ. Kedua sepupunya yang melihatnya pun ikut berhenti.
"Kenapa, Ric?" tanya Zain sedikit khawatir.
Eric menggeleng kemudian berdiri kembali sambil menahan semua yang ia rasakan.
"Ayo," katanya sambil mempercepat langkah.
Eric tidak tahu suara teriakan ibunya berasal dari mana. Ia pun mengecek kamar orang tuanya, kemudian dapur, kamar mandi, dan kemudian ruang tamu. Tidak ada tanda-tanda ibunya berada.
Ia mulai gelisah. Keringat dingin lagi-lagi membanjiri pelipisnya. Jujur saja ia ingin menangis saking khawatirnya. Tapi kan mana mungkin laki-laki menangis? Cemen sekali.
"Coba cari di halaman belakang, Ric, 'kan ibu lo suka nyapu tuh di situ," saran Zein.
Eric mengangguk kemudian ia berlari ke halaman belakangnya.
Benar saja, ketika mereka hampir sampai di halaman belakang, bau itu semakin menusuk indra penciuman.
Lalu dengan serabutan, ia membuka lebar-lebar pintu yang menuju ke halaman belakang dengan brutal dan melongokkan kepalanya ke sana ke mari.
"IBU?!" Eric panik luar biasa melihat ibunya tergeletak di tanah dengan darah segar yang mengalir deras dari lehernya.
Zain dan Zein yang berada di belakangnya pun tidak kalah terkejut melihat pemandangan di depan mereka. Zain menutup mulutnya dengan tangan sementara Zein terlihat gelagapan.
"Aku telepon ambulans, ya?" tanpa aba-aba, Zain langsung lari ke dalam rumah dan menelepon rumah sakit terdekat untuk mengirim ambulan.
Eric hampir menangis. Tapi tentu saja ia tidak akan menangis. Rasa khawatirnya lebih besar ketimbang rasa sedihnya.
Sambil sesekali memperhatikan darah yang masih mengalir deras, Eric merasakan perasaan marah. Sangat marah. Tetapi marah itu tidak ditujukan kepada siapapun. Karena sudah pasti pelakunya tidak ada di sini.
Eric melirik Zein yang berdiri tidak jauh darinya. Zein itu menderita hemofobia, yaitu fobia terhadap darah. Jika ia melihat darah, maka ia akan langsung pusing dan lemas. Jadi tidak mungkin Zein pelakunya.
Zain apalagi. Dia tidak perlu dicurigai juga. Sejak tadi bangun tidur, mereka sudah bersama-sama. Jadi pasti pelakunya sudah kabur setelah melukai ibunya.
"Ric, itu ambulansnya udah dateng, buka pintunya!" seru Zain dari dalam rumah.
"Oh, iya!" balas Eric berseru. "Lo jagain dulu sebentar, ya, Zein," titah Eric kepada Zein.
Lalu Eric mengambil remote gerbang otomatis agar ambulans bisa masuk ke halaman rumahnya.
Kemudian ia sendiri menghampiri ambulans yang telah masuk ke dalam halamannya dan menunjukkan arah ke halaman belakang. Empat tenaga medis pun keluar dari mobil dan membawa tandu.
Eric terus berjalan menuju halaman belakang lewat halaman samping diikuti empat tenaga medis tadi. Kemudian ia menunjukkan ibunya yang tergeletak dengan darah bercucuran.
Sekilas Eric melihat ekspresi Zein yang ketakutan. Entah karena apa.
Para tenaga medis tersebut pun menutup luka di leher ibu dengan kain kemudian mengikatnya. Tidak kencang, hanya agar darahnya tidak terus mengalir dan ibu tetap bisa bernapas.
Lalu dengan sedikit terburu-buru, mereka mengangkat tubuh ibu Eric ke atas tandu dan menggotongnya ke dalam ambulans. Di dalam ambulans sudah banyak alat-alat medis yang sepertinya siap untuk sekadar mempertahankan nyawa hingga ke rumah sakit.
Setelah mengunci pintu rumahnya, Eric pun ikut naik ke dalam ambulan beserta kedua sepupunya. Mereka pun berangkat ke rumah sakit.
Selama di perjalanan, Eric tidak henti-hentinya berdoa agar ibunya selamat dan menyumpah serapahi siapapun yang sudah melukai ibunya, maka hidupnya tidak akan bahagia. Ia juga menggenggam tangan ibunya yang sedikit kurus.
Zein yang sedari tadi memperhatikan karena fobia terhadap darah akhirnya memberanikan diri untuk ikut memegang tangan tantenya yang satu lagi. Sementara Zain sedang berusaha menelepon ayah Eric yang teleponnya tidak kunjung diangkat.
Setelah sampai di rumah sakit, mereka langsung segera menuju ruang IGD. Mereka pun diharapkan untuk menunggu di luar selagi ibu Eric dioperasi.
Berjam-jam mereka menunggu hingga ketiganya lelah menunggu. Seorang dokter yang baik hati pun menyuruh mereka untuk menunggu sambil beristirahat di sebuah kamar.
Zein dan Zain ingin tertidur beberapa saat kemudian. Sementara Eric hanya memperhatikan keduanya tertidur.
Saat ini ia sibuk berpikir dan berpikir. Sebenarnya siapa dalang di balik semua ini?
|Beside The House|
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇ
Misterio / Suspenso[[COMPLETED]] "Gue selalu nyium bau anyir setiap lewat situ." ©hanshzz, 2020