- When the pain is becoming the center of your feeling, then you'll get nothing but missing -
By: author
Di ruangan itu dokter dan perawat keluar masuk lalu-lalang. Tapi yang menjadi pusat perhatian adalah adanya beberapa perawat pria yang tengah mendorong cepat sebuah brankar dengan seorang pasien terbujur kaku di atasnya. Sekujur kepala hingga wajahnya berlumur darah. Matanya terpejam tak sadarkan diri.
Salah seorang dokter berwajah lelah menyambut kedatangan pasien itu lalu ikut bersama para petugas medis lainnya keluar dari ruangan itu. Sepertinya mereka segera menuju ruangan lain.
Beberapa pasang mata pasien dalam ruangan itu menatap iba pada sosok di atas brankar. Ada yang menutup mata tidak tega melihat. Ada yang meringis ketakutan. Dan ada yang menatap penuh amarah.
Merasa seharusnya dia yang berada di atas brankar itu. Seharusnya dia yang bernasib malang, bukan pasien di atas brankar tadi.
Seorang dokter menghampiri pasien dengan wajah jutek itu. Memeriksa kondisi di kepalanya. Menanyakan segala keluhan yang dirasanya. Tapi ia hanya terus menggeleng. Sadar jika kepalanya tidak bermasalah.
Ia menatap tangan kanannya yang hanya luka memar, lalu mengaduh saat dokter itu menyentuh luka pada dahinya. Lebih baik ia mati daripada harus menghadapi malu seperti ini. Kenapa Tuhan tidak mengabulkan keinginannya? Kenapa ia tidak boleh mati?
Aletta terus-menerus memprotes. Harusnya ia yang mati, bukan supir truk yang mau ia tabrak tadi. Kenapa ia yang baik-baik saja? Kalau begini malah jadi runyam urusannya.
Dokter itu melangkah kembali ke mejanya lalu memerintahkan sesuatu pada seorang perawat yang kemudian segera berlalu. Aletta melirik pada dua petugas berwajib yang kini menghampiri dokter itu. Sepertinya niat mereka setelah ini adalah untuk menggiring dirinya ke kantor polisi.
Aletta mencuri dengar apa yang sedang dibicarakan salah seorang pihak berwajib itu dengan sang dokter. Ternyata kondisi Aletta baik-baik saja. Bahkan tidak ada gegar otak yang dialaminya.
Ajaib bukan? Ia memang berniat menabrak truk yang melaju dari arah depannya. Tapi supir truk itu malah langsung banting setir, dan berujung menabrak truk lain yang berposisi di belakang mobil Aletta.
Sementara mobil Aletta? Menabrak sepeda motor yang ada di belakang truk itu. Pengendara motor itu adalah pasien berlumur darah di atas brankar tadi. Sedangkan dua pengemudi truk tadi, tidak bisa diselamatkan.
Kini Aletta hanya bisa terpekur merenungi nasib buruk yang akan segera menimpanya. Ia akan menjemput takdir yang sepertinya jauh lebih buruk daripada sebuah kematian. Di penjara seumur hidup.
Semua ini terjadi karena Arga dan istrinya. Jika saja Arga menemuinya tadi, jika saja bukan Amara yang menjawab teleponnya, kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi. Merekalah yang harus bertanggung-jawab atas nasib naasnya ini. Aletta bersumpah tidak akan pernah memaafkan kedua pengantin baru itu seumur hidupnya. Biar saja ia bawa dendam ini sampai ke liang kubur.
Tepat setelah sumpah serapah itu terucap dalam hati, dua sosok yang teramat dibencinya melangkah masuk ke dalam ruang IGD. Berjalan mendekati brankar tempat Aletta kini meringkuk. Aletta menatap bengis lalu membuang wajah.
"Bagaimana kondisi kamu?" Kalimat pertama keluar dari mulut Arga.
Aletta enggan menatap dan enggan menjawab. Apalagi tadi matanya menangkap pemandangan tangan Amara yang bergelayut manja di lengan Arga. Membuatnya muak sekaligus mual.
"Ibu ... nggak apa-apa?" tanya Amara pelan. Berusaha menunjukkan empatinya.
Tapi untuk apa? Aletta tidak butuh empati. Paling-paling kedatangan mereka juga hanya untuk mengolok dirinya yang sekarang apes!. Tak mau merespon, hanya desisan sebal yang keluar dari mulutnya. Membuat Amara dan Arga saling beradu-pandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVABILITY (Judul Lama: ADAMANTINE) (REVISI)
DragosteDania Amara Rielta yang selalu punya takdir sad-ending dalam hal percintaan, sedang dipepet waktu untuk mencari calon suami. Tidak muluk-muluk pintanya pada Tuhan atas kriteria laki-laki yang akan menjadi jodohnya. Namun siapa sangka Tuhan justru me...