{eíkosi éna}

65 12 8
                                    

Zain terbangun satu jam kemudian. Dia mendapati dirinya hanya berdua dengan kembarannya. Eric tidak ada. Maka ia pun keluar dari kamar untuk mencari Eric.

Hari sudah menjelang sore. Namun ia lihat ruang operasi masih tertutup dan terlihat sibuk. Ia berharap tantenya tidak apa-apa.

Ia berkeliling area IGD dan tidak mendapati Eric di manapun. Akhirnya, Zain menelepon Eric.





"Halo, Ric, lo di mana?" tanya Zain.

"Gue lagi di taman rumah sakit, nyari udara segar," jawab Eric di telepon.

"Gue mau ke sana, jangan ke mana-mana."

"Iya."





Zain pun menutup teleponnya kemudian menuju taman rumah sakit.

Eh, tunggu. Memangnya Zain tahu taman rumah sakit letaknya di mana?

"Et dah, lupa nanya," gumamnya sambil menengok kanan dan kiri mencari orang.

Karena sore ini IGD sangat sepi, ia memutuskan untuk menelepon Eric kembali.





"Halo? Kenapa, Zain?"

"Anu, Ric, tamannya di mana ya?"

"..."

"Ric?"

"WAHAHAHAHAHAHAHA."

Zain menjauhkan ponselnya dari telinganya dan memandangi ponselnya dengan heran.

"Gue kira lo nelepon lagi buat apa, gataunya buat nanyain di mana taman?" Eric masih tertawa di seberang telepon.

"Ish, lama! Cepetan kasih tau, gue gabut nih di sini."

"Ehehehe, tamannya ada di belakang ruang IGD, Zain."

"Oke, gue mau ke sana sekarang."

"Jangan nyasar, ya, ehehehe."

"Brisik!"





Zain pun segera menutup teleponnya dan mengantunginya.

Sore ini tidak hanya di ruang IGD saja yang sepi, namun Zain lihat di pintu utama pun tidak banyak orang yang berlalu-lalang. Rumah sakit ini sepertinya memang sepi pasien, makanya sering sepi. Padahal di tempat strategis.

Zain berjalan ke belakang ruang IGD. Dia baru tahu ternyata rumah sakit ini ada di atas bukit. Jadi sangat indah ketika ia menengok ke sisi kanannya. Pemandangan yang sangat memanjakan mata.

Di rumah sakit ini juga ditanami banyak pohon, sehingga membuat udara sangat sejuk. Maka itulah di buat taman.

Zain mempercepat langkahnya. Kemudian setelah ia berjalan cukup jauh, ia melihat Eric yang sedang bengong di pagar pembatas dengan jurang sambil meletakkan sebelah tangannya di pagar dan sebelah tangannya lagi menopang dagu.

"Bengong aja, Ric," sapa Zain sambil menepuk pundak Eric.

Eric sedikit terkejut. "Kaget," kata Eric singkat.

Zain tertawa kecil. Ia mengikuti tingkah Eric sekarang.

"Eh, Zain," panggil Eric tiba-tiba.

"Ya?"

"Tapi lo harus mau, ya?" pinta Eric dengan penuh harap.

Zain berpikir. "Apa dulu?" tanyanya.

"Gue nggak mau ngasih tau dulu," Eric menggeleng.

Zain mengerucutkan bibirnya. "Oke, deh. Apa?"

"Boleh nggak lo kasih tau gue semua yabg direncanakan Zein? Dan apa alasannya?"

Zain sudah menduga Eric akan bertanya seperti ini.







































































"Operasinya berjalan lancar," ucapan dokter tersebut membuat Eric sedikit lega. "Namun..." wajah dokter tersebut berubah murung.

"Kenapa, dok?" tanya Eric khawatir.

"Ibumu koma."

Badan Eric lemas. Dia menghembuskan napas dengan kuat. "Terima kasih, dokter."

Sang dokter tersebut pun mengangguk. "Ibumu akan saya pindahkan ke ruang inap. Saya permisi dulu."

Zain merangkul pundak Eric. Semenjak ia memberi tahu Eric yang sebenarnya tadi sore, Eric jadi sangat murung. Ia merasa sedikit menyesal telah memberi tahu.

"Kenapa lo nggak telepon ayah lo aja?" saran Zain sambil menuntun Eric duduk di salah satu kursi di sana.

"Ah, iya, gue lupa," kata Eric sambil menepuk jidatnya. "Harusnya dari awal gua ngasih taunya."

Lalu Eric buru-buru menghubungi ayahnya. Untungnya ayahnya dengan cepat mengangkat teleponnya.


"Halo, Yah."

"Anu, Yah, ibu..."

"Itu, ibu..."

"Ibu..."



Zain yang sudah gereget melihatnya kemudian merebut ponsel Eric.

"Tante Eli koma, Om. Eric ingin Om segera pulang. Om jangan nanya sekarang, oke?" tutur Zain kepada ayah Eric.

Eric yang melihatnya pun sedikit terkejut. Namun membiarkan Zain untuk mewakili kata-katanya. Biarlah, ia tidak berani untuk mengatakannya.

"Nih." Zain menyodorkan ponsel Eric kepada pemiliknya.

"Makasih, Zain, gue takut tadi," sesal Eric yang terlihat sedih.

"Santai aja," kata Zain sambil menepuk pundak Eric.

"Btw, Zein ke mana?" tanya Eric sedikit khawatir.

"Jangan khawatirin dia, dia cuma keluar doang."

"Oke, deh."





|Beside The House|

[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang