15. Peony

79 12 5
                                    

"Aku..." kataku tersendat. Kalimat yang ingin kuucapkan tertelan kembali begitu saja. Sepasang mataku menatap lekat tepat pada kedua manik hitam milik laki-laki yang sekarang berdiri dengan alis yang saling bertautan.

"Kalau nggak ada yang mau kamu omongin, bisa lepaskan bajuku?" pintanya dingin.

"Eh? A-apa? Lepaskan bajumu?" Entah kenapa kalimatnya terdengar begitu ambigu, hingga membuat telingaku langsung memanas.

"Tanganmu." Arun melirik ujung bajunya yang masih aku pegang saat menahannya tadi.

Sontak aku melepaskan ujung bajunya dari genggamanku. "Maaf."

Aku pikir setelah ini Arun akan pergi, berlalu dari hadapanku. Namun, laki-laki itu justru memasang seringai khasnya. Dia mengikis jarak di antara kami, membuat jantungku berdetak lebih tak beraturan. Aku bahkan bisa mencium aroma matahari dari sekujur tubuhnya.

"Atau, jangan-jangan kamu barusan mikirin sesuatu yang lain?" tanya Arun dengan tatapan menggoda—lagi-lagi ekspresi yang selalu berhasil membuat napasku kembang kempis.

"Eng-enggak." Aku menggeleng sekuat yang aku bisa. Kakiku melangkah mundur, berusaha memberikan jarak aman agar tubuhku tidak bereaksi berlebihan. Namun, hal itu tampaknya sia-sia. Arun seolah tak ingin memberiku kesempatan untuk bisa mengambil oksigen bebas.

Dia menyentuhku. Menyelipkan jemarinya ke belakang kepalaku. Seraya merunduk, Arun membisikkan kata tepat di telingaku, "sebenarnya aku nggak keberatan kalau harus lepas baju di depanmu. Tapi, kita akan lakukan itu di kamar."

Begitu kalimatnya usai, aku langsung mendorong tubuh tingginya yang hampir menempel padaku. Satu tamparan aku layangkan di pipi kirinya. Panas dan perih seketika memenuhi telapak tanganku, kemudian menjalar hingga ke hati. Aku merasa dilecehkan oleh perkataannya. Bahkan Kak Ivan tidak pernah berbicara seperti itu.

"Aku nggak ngerti sama sikap kamu, Run," ucapku nanar. "Kadang kamu baik, kadang dingin, kadang menyebalkan seperti sekarang."

Arun mematung di tempatnya berdiri. Bekas kemerahan mulai tampak di pipi kirinya. Ekspresinya? Aku tidak bisa membaca apa yang dia pikirkan dibalik wajah datar itu.

Aku meninggalkan laki-laki tersebut. Mengambil langkah seribu adalah yang terbaik saat ini. Di bawah bayang matahari yang semakin memudar, hatiku rasanya perih. Meski begitu, aku sama sekali tidak bisa membencinya.

Ah, maksudku, bukankah harusnya aku membencinya? Iya, kan?

***

Gelap sudah sepenuhnya menyergap. Aku menatap keremangan di luar lewat jendela kamar yang didominasi oleh kayu sebagai bahan bangunan dan furnitur. Tubuhku terduduk di atas ranjang ganda berselimut coklat, setelah menyegarkan diri dengan mandi air hangat.

Pikiran yang masih ruwet pun menggerakkan tanganku untuk menelepon Mbak Yasmin—satu-satunya tempat yang biasa kugunakan untuk berkeluh kesah. Sikap Arun yang begitu membingungkan berkeliaran di dalam otakku. Aku butuh seseorang yang memahamkanku akan situasi seperti ini.

Perlu menunggu beberapa kali dering hingga telepon tersambung. Beruntung, sinyal di pulau ini tidak terlalu susah di dapat untuk beberapa provider. Meski suara yang dihasilkan dari panggilan tidak sejernih di kota besar, tapi paling tidak aku masih bisa mendengar pembicaraan di ujung sama.

Mbak Yasmin menyapa. Menanyakan bagaimana perjalanan ke sini; apakah menyenangkan atau tidak. Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya mengalirlah cerita tentang Arun dari mulutku.

Aku menceritakan bagaimana pertemuan kami di kereta saat dia memintaku untuk bersikap seolah-olah tidak saling mengenal. Lalu, Arun yang tak acuh padaku di Kafe Dedaunan. Dia—yang kata Kak Ivan—menolak tawaran kerja sama, tapi menyetujuinya kemudian. Terakhir, Arun yang bersikap dingin, dalam sekejap berubah menggoda.

Whispering Wind (republished) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang