Hari beranjak gelap, cahaya mulai memudar, suara hewan ternak terdengar nyaring di telinga Adam di sore itu, ia menyaksikan hewan mamalia bernama domba lewat di pinggir jalan, di giring oleh seorang pengembala dengan memegang ranting kering mengomando hewan-hewan itu agar tak berpencar dan menuju kandang peristirahatannya.
Adam duduk di kursi rotan depan rumahnya dengan teh manis menemani sorenya yang dingin, menunggu adzan magrib berkumandang, sarung, koko, dan peci telah menempel di tubuhnya, tangannya bergerak mengambil teh di atas meja lalu menyeruput teh yang mulai hangat itu dengan nikmat.
Di jalan ia melihat ibunya yang baru datang membawa kresek hitam berjalan menuju halaman rumah.
“Bawa apa Mah?”
Tanya Adam penasaran.“Jeruk, buat nanti kita makan”
Jawab Mamahnya dengan membuka kresek hitam itu dan memperlihatkan isi dalamnya pada Adam.Ibunya lalu masuk membawa kantong kresek hitam itu.
Tiba adzan berkumandang, menggelegar menyusup ke setiap penjuru rumah, memerintah para penghuninya untuk beranjak pergi menjawab panggilannya, atau beralasan lelah karena hari yang telah ia lewati. Padahal tak akan ada rizki tanpa pemberi, lalu menolak semua panggilannya, begitu picik hidup sebagai manusia bergelar hamba.
Adam melangkah menuju masjid menapaki jalan perkampungan bertemu beberapa warga berutur sapa dengan mereka, panggilan “ustadz muda" tersemat pada Adam dari ucap mereka yang menemuinya.
Ya begitulah anak pondok, panggilan ustadz atau panggilan lain seputar ahli agama selalu tersemat pada mereka di berbagai daerah, walau mereka tak sepenuhnya seperti para ulama dengan ilmu membentang seluas samudra atau semegah langit yang berlapis.
Setidaknya mereka jugalah yang melanjutkan estapeta risalah Rosululloh SAW, menjadi bagian penyampai dakwah dan mengemban akhlakul karimah bagai sang baginda tercinta, dengan kata apiknya merangkul manusia, memberi arah petunjuk dari gelap gulita ke terang benderang, dengan nurnya pula alam dunia ini tercipta dengan eloknya.
Langkah Adam terhenti di sore itu menatap langit yang bergemuruh oleh decit-decit suara burung walet berterbangan mengkoloni membentuk sebuah ombakan di langit sore, meliuk-liuk bagai alunan ombak yang menggulung.
Iya ingat!, kalau ada yang ternak burung walet di kampungnya.
Adam masuk ke dalam Masjid sudah ramai rupanya para warga mengisi shaff, ia tak begitu banyak melihat anak muda yang ikut meramaikan masjid, mungkin hanya 3 dengan dia masuk dalam bilangannya.
Ia mengambil shaff kedua sebelah kiri, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya di sebelah kiri, sontak Adam menoleh ke arah tepukan itu, ia lekat melihat wajah pria itu, ia tau siapa dia teman ngaji yang punya latar pendidikan sama, yang juga sahabat masa kecilnya.
“Hasan”
Ucap Adam dengan senyum mengembang menatap temannya yang sudah lama tak bertemu.“Entar kita cerita bareng udah takbirotul ihrom tuh"
Terang Hasan pada Adam.Waktu itu yang jadi Imam adalah Ustadz Ali, Ustadz yang juga jadi guru Adam menimba pengajaran Islam dari dasar.
°°°
Selesai sholat lelaki yang agak mirip india itu mengajak Adam mengobrol di surau masjid, tempat Adam mengaji dari kecil hingga tamat MTS, sampai ia memutuskan masuk pesantren.
Surau itu di buat seperti saung(pondok), surau yang lumayan luas, ada kitab iqro dan Al-quran berjejer di rak-raknya, ada meja belajar yang di buat memanjang dan papan tulis hitam yang masih menyisakan hurup hijaiyah yang di tulis oleh kapur putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kitab mimpi pesantren [on going]
Roman pour Adolescents(Proses Revisi tapi ngalem. 😊) Ketika dia pertama kali masuk pesantren, rasa ingin kembali pulang kadang muncul di benaknya, tapi dengan waktu dia mulai bisa memahami impiannya disini. Kisah ini di mulai di dunia cahaya, yah tepatnya dunia cahaya...