Bagian Tak Berjudul

17 3 0
                                    

Pagi yang cerah dengan burung berterbangan di atas awan putih menemani derap langkah seseorang yang berniat menenangkan diri di taman belakang sekolah. Melewati lorong-lorong sepi, mata tajamnya mengedar keseluruh arah setelah kakinya berhenti melangkah. Kedua alisnya mengerut bingung, sebab mata hitam legam tersebut secara tak sengaja menangkap sosok gadis berkucir kuda sedang duduk terdiam. Pikirannya yang tadi terhenti kini kembali berfungsi, ia mengenali siapa gadis yang duduk sendiri di depannya saat ini. Kedua tangan yang tadi berada dalam saku celana birunya ia keluarkan untuk mengambil dua benda sakral dari dalam saku baju. Sebuah sticky notes dan pena berwarna hitam berada di genggaman tangan.

Sosok itu pun menuliskan sebuah pesan, dengan tetap melangkah mendekati seseorang gadis di depannya tanpa suara. Pesan yang tidak bisa dikatakan singkat, mungkin terlalu panjang bagi orang yang tidak suka untuk membaca.

Aku bukanlah daun yang gugur. Aku juga bukan partikel debu yang tertiup. Aku hanya makhluk yang tuhan anggap sempurna. Manusia namanya. Makhluk yang suka membuat banyak kisah dan berandai-andai menjadi tokoh utamannya. Iya, manusia. Seperti aku salah satunya. Pernah berpikir juga untuk berpindah dunia, hidup di planet yang berbeda. Namun percuma, tak akan bisa. Takdir dan garis tuhan lebih indah, itu alasannya. Mungkin tidak sekarang, tak apa tunggu saja. Bahagiamu sedang berjalan. Menghampiri dengan sebuah tujuan. Melewati hamparan lautan. Memasuki gelapnya malam. Sebelum akhirnya memberi cahaya sebaik senja.

Tulisnya dengan tangan bergetar, setelah ia merasa cukup untuk menyuarakan maksudnya agar gadis di depannya dapat menemukan kembali dunianya bahkan senyumnya, ia pun kembali berjalan mendekati sampai akhirnya memilih untuk berdiri di belakang gadis itu. Menarik sticky notes yang berisi ungkapan perasaannya tadi, lalu menempelkan ke pipi gadis itu. Tidak ada reaksi yang timbul atas perlakuannya, ia pun memilih pergi meninggalkan seorang gadis yang setelah ia berbalik menatap kepergiannya yang semakin menjauh dengan keadaan rapuh.

***

Keesokan harinya hal yang sama kembali terulang, sepertinya takdir sangat suka mempermainkannya atau mungkin lebih suka membuat ia merasa tidak baik-baik saja. Bel istirahat berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu dan selama itu ia memandang gadis berkucir kuda yang ia temui di taman belakang kemarin. Penampilan saja yang berbeda, kemarin dengan rambut yang gadis itu kuncir kuda, sekarang dengan rambut panjang yang terurai lepas. Persamaannya hanyalah perlakuan gadis itu, duduk terdiam dengan kaku, sorot mata sendu dengan buku terbuka di depannya.

Rasa itu kembali muncul, tanpa alasan pasti, tetapi intinya ia hanya sebatas ingin melindungi. Tanpa berpikir lagi sosok itu mulai menulis pesan singkat, lebih singkat dari kemarin.

Jangan terus bersedih, wajah cantikmu diciptakan untuk menampilkan senyum indah yang membuat siapa saja ikut bahagia. Apa kamu tidak merasa lelah? Aku saja yang melihatmu seperti itu membuatku lemah, membuatku ingin memelukmu untuk melindungi tubuh rapuhmu. Namun, memangnya aku ini siapa? Orang asing kan? Sudah cukup sadar sebelum kamu tampar. Ini sepotong roti dan sebotol air putih, habiskan ya! Kalau sudah jangan langsung kembali ke dalam kelas, di UKS saja, badanmu juga lelah, butuh tidur katanya.

Masih sama, ia pun menarik tulisan tersebut untuk kemudian ia tempelkan di halaman buku yang terbuka serta meletakkan sekantong palstik hitam sebelum memilih melangkah menjauhi perpustakaan.

***

Tiga bulan lamanya ia menghilang dari dunia, mencoba belajar tentang satu hal yang sudah ia lupakan dari ingatan. Berniat menghilangkan pikiran orang lain tentang sebuah pertanyaan mengapa ia tidak pernah berbicara? serta menenangkan jiwa raganya sebelum puncak hidupnya ia rubah.

Terlihat sosok tampan dengan tubuh tinggi berdiri tegak di depan sebuah tiang bendera untuk menjalankan hukumannya. Sosok itu adalah tokoh utama yang selama ini menjadi alasan cerita ini dikembangkan, Oceana Bagaskara. Tidak hanya namanya indahnya, perilakunya sama seperti sebuah laut yang tenang dengan sinar matahari memancarkan keanggunannya. Terik matahari tak juga membuatnya menyerah untuk memilih mengistirahatkan tubuhnya. Sebab rasa egoisnya terlalu besar, ia lebih memilih menjadi seseorang yang bertanggung jawab dari pada berlari lagi untuk ke sekian kali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TITIK TEMU (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang