01 | sugarplum elegy

2.4K 217 24
                                    

Based on NIKI's Sugarplum Elegy

-

i. Seingat Hyunjin, ia bahkan tidak menyalakan pendingin ruangan sebelum tidur.

Kamar yang seharusnya berisikan dua orang itu terasa begitu luas. Hyunjin bangun dengan helaan napas penuh beban, seolah ia tidak baru saja selesaikan proposal skripsinya dengan baik dan mendapat predikat A+ pada seminar bulan lalu.

Seolah hidupnya masih penuh berat, seolah pundaknya masih pegal. Ketika yang terjadi adalah hanya sebuah kekosongan.

Telinga Hyunjin menuli seperti organ lainnya yang mulai tidak bekerja dengan baik. Tangan membekunya gapai alarm yang berbunyi dengan lirih, selirih kata hati Hyunjin yang suruh dirinya untuk pilih satu dari dua: berjuang atau pergi. Suara dering mati, Hyunjin tarik napas dalam-dalam sebelum rentangkan tangan dan tegakkan punggung.

Hyunjin tidak perlu melihat untuk tahu. Sebelah ranjangnya kosong, sisakan spasi yang begitu canggung, begitu dingin. Hyunjin tidak perlu berebut selimut lagi, karena sekarang ia hanya seorang diri.

Kaki-kaki menyentuh sandal bulu di samping kasur. Hyunjin acak surai hitamnya yang sudah kusut. Waktunya untuk keramas. Waktunya untuk mandi dan sarapan, tapi dering ponsel dari atas nakas sudah curi-curi waktu pagi harinya.

Hyunjin tidak butuh untuk tengok. Ia sambar benda itu ketika dirinya telah berdiri—tanpa berniat buka gorden agar ruangannya tidak terasa sedingin ini—tekan tombol hijau sebelum palsukan sebuah senyum lebar yang... cukup mengerikan.

"Halo."

"Hai!"

Gemerincing di sapaan Hyunjin terdengar terpaksa. Ia hanya bisa berdoa orang di seberang tidak sadari nihilnya ria yang harusnya dapat sambut diri di pagi hari.

"Baru bangun?"

Suara kekasihnya terdengar begitu merdu. Entah Hyunjin yang mengada-ngada, atau semua terdengar lebih manis namun pahit karena waktu.

Waktu, waktu yang mungkin kini sedang bersorak-sorai bersama tempat. Dua hal yang selalu jadi alasan utama renggangnya hubungan Hyunjin dengan sang kekasih yang wajahnya hanya bisa ia lihat lewat layar ponsel akhir-akhir ini.

"Iya, kamu kok udah rapi?"

"Ada acara hari ini."

Hyunjin terkadang cemburu pada Taiwan. Bohong. Tidak terkadang, hampir setiap hari, hampir setiap waktu. Perasaan itu meradang dalam dadanya, bakar benda yang harusnya menghangat lenyap jadi abu untuk kemudian tertiup bersama rasa rindu yang mulai hambar seiring berjalannya hari.

"Oh ya? Acara apa?"

Kim Seungmin juga memaksakan senyum, Hyunjin tahu. Mungkin kekasihnya juga telah lama sadar bahwa hal-hal diantara mereka, semuanya telah dipalsu selama beberapa bulan terakhir. Tujuh bulan, tepatnya, jika Hyunjin disuruh menghitung.

Well, paling tidak Hyunjin tahu berapa lama waktu yang ia habiskan merenung seorang diri di apartemen yang dibeli dengan uang yang dikumpulkan berdua susah payah, hanya untuk kemudian ditinggal oleh satu orang yang katanya sibuk dengan pekerjaan di luar negeri.

Seungmin menyebutkan agendanya hari ini dengan sumringah, meski cahaya di wajahnya tidak pernah secerah dahulu kala. Tidak sefamiliar dulu. Yah, Hyunjin bahkan tidak merasa familiar dengan temaram lampu dan perabotan yang jadi latar belakang video call yang ia sambungkan dengan laki-laki di seberang sana. Hyunjin tidak tahu, dimana sebenarnya Seungmin dan apa yang sebenarnya ia lakukan.

Mungkin, mungkin ia tidak tahu karena tidak ingin tahu. Mungkin kuriositasnya mengenai sang kekasih sudah habis dilahap detik yang kian menegang. Tali tipis diantara Hyunjin dan Seungmin seperti tengah meregang nyawa.

RAIN OF CRYING HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang