Bag 1 (Kucing)

2.3K 162 44
                                    

🎶 Teeeeettt

Jam dinding tepat menunjukan pukul 13.00, suara alarm sekolah berbunyi pertanda waktu akhir kegiatan pembelajaran di sebuah SMA di daerah Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Semua siswa berhamburan ke luar kawasan sekolah, mengubah urusannya masing-masing setelah menyelesaikan kegiatan pembelajaran yang dimulai sejak pagi hari.

Kawasan tersebut memang wilayah ramai anak sekolah yang berlalu lalang sedari pagi hingga sore hari. Maklum saja, di sekitar wilayah tersebut terdapat 1 gedung SMP, 1 gedung SMA, dan 2 gedung SD yang jaraknya lumayan cukup berdekatan. Ditambah lagi para mahasiswa Universitas Padjajaran--- yang biasa kita singkat UNPAD--- cukup banyak bertempat kos di wilayah itu.

Terlihat tulisan nama di kemeja seragam putih tiga orang remaja--- Wika, Leo, dan Dara-sekelompok remaja SMA tengah asyik berjalan bersama menjauhi gerbang sekolah-tiba-tiba perhatian mereka teralihkan kala melihat seorang gadis berseragam SD yang berjalan tertunduk lesu dengan secarik kertas tertempel di punggungnya bertuliskan kalimat 'Anak orang tuli'.

Secarik kertas itu mungkin telah ditempelkan oleh temannya yang usil. Alhasil anak-anak di sekelilingnya menertawakan. Seolah bingung, gadis itu tidak tahu apa yang mereka tertawakan dari penampilannya sedari tadi. Dia hanya tertunduk sembari terus berjalan menahan rasa malu.

"Eh Wik, lihat deh anak itu kasihan dijailin temennya," ungkap Leo seraya menepuk pundak teman di sampingnya.

"Kita damperin aja, kasihan." Wika berjalan menghampiri anak perempuan berseragam SD itu untuk melepas secarik kertas di punggungnya---diikuti dua orang kawannya dari belakang.

"Neng, ini ada kertas." Secarik kertas yang tertempel dilepaskan Wika. Gadis kecil pemurung itu menoleh ke belakang melihat seseorang yang baru saja melepaskan kertas, namun rasa malunya malah bertambah dan memilih berlari kecil berbelok ke arah jalan yang berbeda dengan tiga siswa SMA itu.

Wika dan dua kawannya melihat iba. "Duh kasihan banget dia."

"Dasar bocah jail." Dara menggerutu membayangkan pelaku yang menempelkan secarik kertas di punggung anak tadi, lalu kembali melanjutkan perbincangan dengan dua temannya. "Eh, tadi di lu ngerti gak sih pas si Mister nerangin Verb?"

Tiba di perempatan jalan, ketiganya saling berpamitan dan berjalan ke arah yang berbeda untuk pulang. Leo menaiki mobil angkutan kota, Wika yang dijemput sang pacar dengan motor Tigernya, sedangkan Dara berjalan menuju ke arah halte untuk duduk menunggu jemputan.

Belum tiba dirinya di halte, seorang gadis berseragam SD muncul dari gang kecil di samping jalan. Tubuhnya yang kalah besar menabrak Dara hingga gadis itu terjatuh.

"Maaf Kak." wajah polosnya mendongak menatap Dara, lalu kembali bangkit dan berlari berlawanan arah.

Gadis berseragam merah putih itu, adalah gadis yang sempat ia lihat tadi dengan secarik kertas yang menempel di punggung.

Tak lama setelah itu, sekelompok anak berseagam SD muncul dari gang kecil yang sama. Salah satu dari sekelompok anak itu membawa seekor kucing kampung dan terus mengejar gadis yang telah menabraknya tadi. Dia terlihat berlari ketakutan, dan terdengar perkataan menantang dari salah satu kumpulan anak SD yang mengejarnya.

"Ayo ini pegang masa takut!"

Yang dikejar terus berlari ketakutan sendirian menghindari kejaran sekelompok bocah usil.

Sontak Dara merasa heran bercampur iba melihat. Ia memilih mengikuti kemana arahnya berlari untuk menegur sekelompok bocah sialan itu.

"Hei, jangan diganggu! Kasihan dia takut kucing!"

Terus berlari menhikuti, hingga Dara melihat gadis yang tengah menjadi bulan-bulanan kawan sebayanya itu terjatuh. Kaki kanannya terperosok ke jalan berlubang. Sekelompok bocah usil itupun menghentikan langkah seolah kebingungan ketika melihat anak yang mereka kejar jatuh kesakitan. Dara berlari lebih cepat menghampiri sekelompok bocah usil itu untuk mencoba menegur.

"Hey, ngapain gangguin orang? Aku laporin ke guru kalian ya!"

Lantas sekelompok bocah perisak itu merasa malu dan segera melarikan diri. Dara beralih menolong si gadis malang yang tengah kesakitan memegangi kakinya yang masih terjerembab di bekas lubang biopori.

"Kamu gak apa-apa, Neng? sini aku bantuin."

Hanya bisa merintih kesakitan sambil menahan isak tangis yang berusaha ia sembunyikan. Hingga akjirnya satu kaki itu berhasil dikeluarkan dari lubang kecil sedalam 30cm. Kondisi kaki gadis malang itu kotor oleh tanah bercampur lumpur dan terlihat ada beberapa luka lecet. Dara segera membersihkan kaki gadis itu dengan air mineral yang diambil dari dalam tas sekolah.

"Kamu kalau lewat sini emang harus hati-hati. Banyak bekas lubang biopori. Apalagi pas musim hujan kayak gini."

Gadis uang tengah mengalami nasib sial itu menyembunyikan deraian air matanya dengan satu lengan.

Dara mengusap-usap pundaknya itu untuk menenangkan tangisannya "Aku bantuin jalan yuk. Rumah kamu emang dimana, Neng?"

Ia merangkul gadis itu untuk bangkit dan berjalan sambil mepapahnya. Namun yang dibujuk tak kuasa menahan tangis merasakan sakit di kakinya. Sepertinya bukan hanya lecet, otot kakinya terkilir saat terperosok ke dalam lubang tadi.

"Gak apa-apa kok. Yuk aku bantuin jalan." Dara menggandeng lengannya hingga gadis itu mulai bisa berjalan selangkah demi selangkah menuju ke tepi jalan raya.

"Kamu pulangnya jalan kaki atau naik apa? Biar Kakak anterin."

"Aku naik angkot, Kak."

"Gak dijemput orang tua kamu?"

"Mama sama papaku lagi kerja."

Setiap hari kamu naik angkot?"

Yang ditanya mengangguk.

"Duh." Gadis remaja yang menuntunnya tampak gelisah melihat ke arah jalan raya dan kembali menatap anak yang harus ia tolong. "Ya udah, Kakak anterin kamu naik angkot sampe rumah."

"Gak usah Kak, aku bisa naik angkot sendiri."

"Kamu pas turun angkot gak langsung sampai rumah, kan? Aku anterin aja ya sekalian."

Gadis berseragam merah putih berpaling menunduk malu seraya melihat luka lecet di kakinya.

Tiba di tempat tujuan, dengan hati-hati Dara menjaga langkah kaki si gadis malang ketika menuruni angkot. Ia bahkan membayarkan ongkos untuk anak yang diantarnya.

"Kak ini, aku masih punya ongkos kok," ucapnya canggung sambil menyodorkan uang dari saku kemejanya pada Dara.

"Gak usah dipikirin, yuk ah jalan." Dara menggandeng lagi tangan gadis yang terlihat baru genap berusia 10 tahun itu.

Dia kembali memapahnya menuju ke tempat di mana anak itu tinggal. Jarak dari titik turun angkot ke tempat tinggalnya memang cukup jauh untuk ukuran anak dengan keadaan kaki yang terluka.

"Rumah kamu masih jauh?"

"Lumayan sih, Kak."

"Kamu kelas berapa?"

"Kelas 5."

Raut wajah lelah menahan rasa sakit semakin tampak di wajah polos gadis berseragam SD itu. Dara melihat sekeliling jalanan yang dilalui---keadaan jalanan cukup sepi---dan kembali menatap iba kepada si kecil yang sedang ia gandeng.

"Kakinya tambah sakit? Aku pesenin ojek ya?"

"Udah deket kok, Kak."

Perhatian Dara kembali pada jalanan sekitar. Belum ada tanda-tanda di mana si gadis malang ini menunjukkan tempat tinggalnya. Lalu kembali mengajaknya berbicara.

"Beneran, udah deket?"

"Iya, rumah aku di sana, tinggal belok kanan." Yang ditanya menunjuk jari lirus ke arah ujung jalanan kompleks pemukiman yang sedang dilalui. "Kak Dara emang rumahnya di mana?"

Rasanya ia belum sempat bertukar nama, dengan refleks Dara menengok cepat ke arah gadis kecil di sampingnya. "Kamu kok tahu nama aku?"

Next chapter 🔽

About D ( Her Secret ) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang