/2/ Pertemuan Terakhir

61 1 0
                                    


LELAKI itu menangis seharian, sebab langit tak meneduhkan jiwanya.

Hari ini mestinya adalah hari yang bahagia untuk lelaki itu. Lelaki yang telah menunggu beberapa hari dalam setahun untuk bertemu dengan pujaan hatinya itu tak terbendung rasa bahagianya. Setelah melewati hari-hari menjemukan dan menyebalkan tiap detiknya akhirnya dia bisa kembali pada pelukan hangat kekasihnya. Sekiranya seperti itulah yang ada dalam bayang-bayang pikirannya.

Khalif lelaki yang sedang menempuh pendidikan di salah satu kota dengan sarat sejarah itu sedang merasakan bahagia yang tak terelakan. Bagaimana tidak sebagai seorang pujangga pengetahuan lelaki itu hanya diperbolehkan pulang ke kampung halamannya ketika dia menyelesaikan pendidikannya dalam satu kalender semester. Wajar saja jika seperti itu, selain karena dirinya yang bersekolah dengan gratis otomatis dia mesti mengikuti apa yang diwajibkan kepadanya sebagai kompensasi gratis tersebut. Dunia memang ada-ada saja.

Badan tinggi semapai, tegap, muka yang berkharisma diisi dengan otak yang cerdas dan dibalut dengan tatapan mata yang menggoda membuat siapa saja yang melihatnya hanya dua simpulan, kagum dan iri. Sebagai seseorang yang digilai karena parasnya wajar saja bagi seorang Khalif untuk mendapatkan setiap wanita yang diinginkannya. Kira-kira begitulah yang banyak dipikirkan orang tentangnya. Tapi siapa tau kebenarannya.

Jumat sore dalam kamar berukuran sebesar 3x3 meter lelaki itu bersiap-siap. Lelaki itu mulai membereskan bilik kamarnya yang akan ditinggalkan beberapa hari untuk liburan. Katanya. Tiap pakaian terbaiknya dia pilih dan dimasukkan ke koper, celana terbaiknya dia gunakan sepatunya yang kebanyakan adalah pemberian orang tuanya dia masukkan pula. Tak lupa empat buah buku tebal karya Mark Twain dan Bakunin terselip rapi diujung kopernya untuk menemani liburannya.

"Tiket jam berapa kowe lhif ?"

"Jam 10 malam gus nanti via kereta Parahyangan. Kamu balik kapan?"

"Sepertinya besok, aku tidak mau terburu-buru lagi. Kemarin terakhir aku terburu-buru banyak barang yang tertinggal di sini. Aduh menyebalkan sekali aku jadi mesti balik lagi hanya untuk mengambil charger laptopku."

"Hahaha gus-gus, kamu kalau saja penismu bisa dicopot aku yakin kamu akan lupa dimana terakhir memasukkannya ke dalam wanita terakhir yang kamu setubuhi gus."

"Sialan kamu! Awas saja tak doakan agar busuk penismu kalau dipegang putri"

"Bajingan memang haha!"

Kedua sahabat beda kamar itu terlelap dalam obrolan dan tawa di sore terakhir mereka bertemu di semester itu.

Malam di kota itu terbiasa dingin apalagi sudah masuk pertengahan bulan yang biasanya angin muson bertiup lebih kencang meniupkan dirinya untuk memberitahu bahwa musim bersedih akan segera tiba untuk menipu jiwa-jiwa yang doyan menangis tersedu. 21 derajat. Cukup dingin untuk orang seperti Khalif yang terbiasa dengan cuaca panas di kampungnya yang dinginnya saja hanya 28 derajat. Malam itu di stasiun Khalif menggunakan jaket pemberian kekasihnya, jaket yang tak pernah ia lupa kenakan selama disini. Jaket dari Putri.

"Kamu belajar lif ?" bunyi notifikasi di handphonenya dari Putri

"Iya tuan Putri, kamu tau sebentar lagi aku akan menghadapi Ujian akhir. Sepertinya dua minggu kedepan aku akan sedikit sibuk sayang."

"Baiklah tak apa, kamu memang mesti belajar keras. Untuk apa kamu jauh-jauh di sana jika hanya main-main kan. Mending disini dengan aku kalau begitu hehe."

[Khalif Mengetik....]

"Sudah Lif kamu belajar saja dulu, aku kebetulan mau keluar cari udara segar di sini agak sumpek"

ANTALOGI FIKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang