16. Ranunculus

70 12 2
                                    

Aku baru menyadarinya. Resort yang dibangun oleh perusahaan keluarga Aryasatya itu berada di sebuah teluk. Garis pantai yang memanjang hampir satu kilometer terapit oleh perbukitan karang dan dipagari hutan. Menjadikannya seakan sebuah pulau pribadi karena cukup terisolasi dari aktivitas penduduk.

Matahari mulai menyembul kembali. Langit bergradasi dari warna keemasan ke biru kelabu. Angin berembus pelan menerpa tubuh kami. Aku sedikit terhuyung saat pijakanku pada berbatuan tidak cukup kuat.

Arun menyuruhku untuk duduk manis saja di salah satu karang yang lebih datar. Sedangkan dia sendiri mulai menyiapkan kameranya, juga tripod yang didirikan kemudian.

Sambil menunggunya bekerja, aku mulai paham kenapa Arun mau repot-repot naik ke sini hanya untuk memotret. Ada sebuah kepuasan batin tersendiri saat aku berhasil ada di tempat ini. Bagaimana aku bisa melihat sebuah kuasa Tuhan dengan mata kepala sendiri, sungguh sebuah kenikmatan tiada tara. Perasaan yang hampir sama seperti saat Arun membawaku ke hutan pinus waktu itu.

Beralih pandang, aku mulai mengamati Arun. Jemarinya yang besar itu sedang asyik mengatur setting, memutar lensa, lalu memencet tombol shutter kamera. Rambutnya yang sebatas bahu diikat sebagian, menyisakan surai-surai tipis yang menari ditiup angin. Lebih melihatnya secara saksama, bulu-bulu halus tampak menumbuhi dagunya.

"Jangan menatapku seperti itu," perintah Arun tiba-tiba yang membuatku sedikit gelagapan "Apa kamu sebegitunya menyukaiku?"

Aku tersentak. Kata-katanya selalu penuh dengan rasa percaya diri. Bahkan sejak SMA. Nada bicaranya memang sedikit tajam, tapi selalu mengandung kebenaran di dalamnya hingga aku sulit berkelit.

"Kenapa diam?" sambungnya tanpa sedikit pun menoleh ke arahku. "Kamu bahkan nggak berusaha menolak kayak kemarin."

"Kamu nggak berubah sama sekali, Run," ucapku akhirnya. "Selalu berkata semaunya."

Arun menghentikan pekerjaannya sesaat. Sepasang matanya melirik kepadaku, kemudian berkata dengan suara lirih—hampir tidak tertangkap oleh telingaku, "aku nggak sebebas itu buat bicara, Tha. Nggak seperti yang kamu duga."

"Maksudnya?" Aku berusaha memastikan kalimatnya yang baru saja aku dengar itu.

Arun mengabaikan ucapanku. Sesaat tadi, aku bisa melihat perubahan ekspresi wajahnya. Matanya yang melirikku menunjukkan sebuah tatapan yang entah aku harus memaknainya sebagai apa. Tersirat sebuah luka yang aku tangkap. Namun, luka sebab apa?

Aku menghela napas. Mungkin itu adalah urusan pribadinya, dan siapa aku ini yang ingin tahu lebih banyak tentang dia? Ya, walaupun memang itu salah satu keinginanku sejak lama.

Baiklah. Kalau begitu aku akan menanyakan hal lain yang sejak semalam terus mengusik pikiranku. "Aku boleh tanya sesuatu?"

"Asal kamu nggak tanya lagi soal kenapa aku tiba-tiba pergi dulu."

Aku menelan ludah sesaat. Entah kenapa Arun selalu menghindari pertanyaan itu seolah aku akan menggali kenangan yang tidak dia inginkan. Jujur, hatiku sedikit berdenyut nyeri.

"Kenapa kamu terima tawaran kerja dari Kak Ivan? Bukankah kamu katanya udah nolak, ya?"

"Demi uang tentu saja," sahut Arun cepat seakan tanpa memikirkannya.

Perasaanku mencelus seketika. Ada sebersit kekecewaan yang aku rasakan saat mendengar alasan Arun. Mungkin aku yang berharap terlalu tinggi bahwa Arun menerima pekerjaan ini karena ada aku.

"Apa kamu pikir aku terima pekerjaan ini karena kamu?" Pertanyaan laki-laki itu menohokku langsung ke ulu hati. Lagi-lagi, Arun bisa menebak apa yang sedang aku pikirkan. Ah, atau memang aku yang terlalu mudah diterka?

Whispering Wind (republished) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang