Aku berjalan keluar ruangan, menyusuri koridor rumah sakit. Lalu, berjalan ke restoran dekat rumah sakit. Selesai membeli makanan, aku segera kembali ke rumah sakit. Namun saat ditengah jalan, tiba-tiba ada beberapa orang yang mencegatku.
"Hei, apa-apaan kalian?" tanyaku.
"Udah, jangan banyak bicara lo. Hajar dia!" Perintahnya pada anak buahnya.
Perkelahian pun tak bisa terelakkan antara aku dan mereka, banyak orang yang melihat kejadian. Tapi, mungkin tidak berani untuk membantu. Pasalnya orang-orang itu memiliki tubuh yang cukup besar, dibandingkan dengan mereka.
Untungnya aku bisa bela diri, namun beberapa saat aku mulai merasa kewalahan. Aku hanya sendiri, sedangkan mereka berlima. Kalau begini ceritanya, bisa babak belur tubuhku.
Ditengah-tengah perkelahian, aku sudah mulai kalah. Hingga jatuh ke jalanan.
Tiba-tiba suara tembakan terdengar, hal itu cukup membuat mereka berhenti memukuliku. Tapi datang dari mana tembakan itu?
Saat aku menoleh kebelakang, ternyata Fatiah yang ada disana lengkap dengan pistol ditangan.
"Apa yang sedang kau lakukan, Dek? Kondisimu masih belum membaik, dan kau sudah mulai menembak?" Aku terus saja bertanya dalam hati.
"Hei kalian! Lepaskan dia!" Perintahnya dengan suara dingin.
"Siapa lo? Berani amat sama kita, cari mati lo, ya?" kata ketua mereka.
"Bukan saya yang cari mati, tapi kalian. Sebelum peluru yang ada dalam pistol ini mengenai kalian, saya peringatkan kembali. Cepat pergi dan lepasin dia!" ucapnya menunjukku.
"Kalau kita enggak mau, lo mau apa? Hah!" ucap preman itu menantang.
Kulihat ia berjalan kearah kami, merenggangkan sedikit otot-ototnya.
Brukk
Satu pukulan tepat mengenai wajah si preman, bukan hanya orang yang ada disekitar itu yang merasa kagum, aku juga sangat kagum padanya. Padahal, ia baru saja siuman beberapa jam yang lalu. Kini, entah kekuatan dari mana yang ia miliki.
"Kakak enggak papa, 'kan?" tanyanya membantuku berdiri.
"Iya, Dek. Enggak papa, kok."
"Wah, berani juga tuh cewek bos. Hajar aja sekalian," ucap salah satu dari mereka.
Tapi sebelum itu, aksi mereka langsung terhenti kala ada Polisi yang datang. Mereka langsung pergi menaiki mobil. Setelah itu, para Polisi langsung menghampiri kami.
"Apa anda baik-baik saja, Pak?"
"Iya, saya baik-baik saja. Terima kasih atas bantuannya," jawabku.
"Baik, lain kali anda harus berhati-hati. Kalau begitu, kami permisi. Selamat sore," pamitnya dan hanya kubalas dengan anggukan.
Setelah mereka pergi, Fatiah langsung membawaku kembali ke ruangannya. Sebenarnya yang sakit aku atau dia, sih?
"Udah Dek, kakak baik-baik saja. Kamu harus istirahat, okay?" ujarku.
"Tapi, bibir kakak berdarah. Biar Fatiah obatin, ya? Ini pasti kena pukulan mereka," cerocosnya sambil membersihkan darah yang berada disudut bibirku.
"Aww ... perih dek," ringisku.
"Ma-maaf kak," ucapnya menunduk.
"Iya Dek, enggak papa."
"O iya, kok bisa kamu ada disana?" tanyaku penuh selidik.
"Hmm, itu ... kakak sih. Perginya lama, kata cepat. Tapi apa? Ya, karena bosan aku jalan-jalan deh. Terus enggak sengaja lihat kakak dipukulin," jawabnya, namun kurang meyakinkan.
"Bener begitu? Enggak ada yang kamu sembunyiin dari kakak, 'kan?"
"Emm ... iya, Kak. Enggak ada yang Fatiah sembunyiin kok," ujarnya.
Kali ini aku harus percaya, mungkin yang dikatakannya itu benar adanya. Lagi pula, aku belum bisa memaksanya menceritakan semua tentang dirinya.
"Iya, kakak percaya kok. Enggak usah gugup gitu, 'kan kakak enggak makan juga."
"Ya udah, kamu istirahat gih. Pasti capek karena pukul orang tadi," sambungku terkekeh.
"Kakak mah, cuma satu pukulan doang. Mana capek aku, andai aja polisi enggak datang tadi. Udah pasti babak belur mereka," ujarnya.
"Jadi, ceritanya sombong nih?"
"Hehe, enggak juga sih. Oiya, bagaimana keadaan kakak sekarang?"
"Emang kakak kenapa?"
Pertanyaan yang dijawab pertanyaan, aneh tapi nyata. Hal itu malah membuatnya mendengus kesal.
"Bukannya jawab, malah nanya balik. Gimana mau nyambung," ucapnya kesal.
"Iya, maaf. Kakak udah enggak papa kok, dan makasih udah bantuin tadi. Seharusnya yang nanya itu, kakak. Kamu baik-baik aja, 'kan?"
"Alhamdulillah, baik dan aman."
"Syukur deh kalau begitu, insya Allah besok kakak bicara lagi sama Dokter. Siapa tau udah boleh pulang," ucapku.
Seketika matanya kembali menyipit, itu berarti ia sedang tersenyum. Itu sungguh membuatku bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Agent (On-Going)
ActionSepenggal cerita tentang seorang Agent Rahasia yang jatuh cinta pada suaminya sendiri. Namun, suaminya belum bisa membalas perasaan itu. Seiring berjalannya waktu, akankah cinta itu tumbuh? Seseorang yang saling mencintai karena ALLAH, akan berpisah...