Senja baru saja merayap ke peraduannya. Bias cahaya matahari yang memerah jingga terlihat indah, menyemburat di balik sebuah gunung. Sebuah lembah kecil tampak membentang di bawahnya, ditumbuhi pepohonan yang sangat lebat. Dan tidak jauh dari situ, terlihat sebuah jalan tanah yang sunyi lengang, yang menghubungkan Desa Arunggeti dengan Desa Paringgi.
Tak lama kesunyian di sekitar lembah itu berlangsung. Karena sebentar kemudian terdengar hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu tidak terlalu cepat. Tampak di ujung jalan sana, dua orang penunggang kuda tengah mengawal sebuah gerobak kecil yang ditarik dua ekor kuda. Kusir gerobak itu adalah seorang laki-laki setengah baya. Tubuhnya gemuk terbungkus baju hitam yang tidak sempurna cara memakainya. Sehingga perutnya yang buncit tampak seperti ingin mencuat keluar.
Sedangkan dua penunggang kuda yang berada di depan gerobak kayu itu masih terlihat muda dengan pedang tersandang di punggung. Sementara di dalam gerobak yang ditutupi kain kasar, terlihat dua orang wanita yang masing-masing berusia empat puluh lima tahun dan lima belas tahun. Wanita yang lebih tua tampak memangku sambil memeluk bocah laki-laki berusia sekitar delapan tahun.
"Kakang Rupadi...," panggil pemuda berbaju coklat yang kira-kira berusia sekitar dua puluh lima tahun. Dia berkuda di samping laki-laki yang dipanggil Rupadi.
"Ada apa, Baraka?" tanya laki-laki berbaju biru tua, yang usianya sudah mencapai tiga puluh tahun.
Dialah yang bernama Rupadi. Rupadi berpaling sedikit ke kanan. Dan saat itu juga keningnya jadi terlihat berkerut, begitu melihat wajah pemuda yang bernama Baraka memucat. Tampak keringat sebesar butir-butir jagung menitik membasahi wajah Baraka yang tidak tenang. Rupadi lalu menoleh ke belakang, menatap laki-laki tua berperut buncit yang mengendalikan gerobak kayunya. Kemudian, kembali ditatapnya Baraka. Saat itu, Baraka juga berpaling memandangnya. Sehingga, pandangan mereka langsung bertemu. Tapi, Baraka cepat-cepat memalingkan mukanya ke depan lagi.
"Ada yang ingin kau katakan, Baraka?" tanya Rupadi dibuat lembut nada suaranya.
"Entahlah, Kakang. Kalau ingat cerita orang, rasanya aku tidak mau lewat jalan ini...," desah Baraka perlahan. Dan nada suaranya jelas sekali terdengar bergetar.
"Berharap saja, Baraka, semoga kekhawatiranmu tidak menjadi kenyataan," ujar Rupadi, bisa mengerti apa yang dicemaskan pemuda cukup tampan berbaju coklat itu.
Baraka jadi terdiam. Namun butir-butir keringat semakin banyak membasahi wajahnya. Sekilas wajahnya berpaling ke belakang, menatap gadis manis yang berada di dalam gerobak kayu. Sementara, Rupadi juga jadi membisu. Pikirannya mendadak saja jadi tidak menentu. Terlintas juga omong-omongan orang yang pernah didengarnya, tentang cerita-cerita mengerikan di jalan yang sedang dilalui saat ini. Tapi semua cerita itu memang bukan hanya cerita kosong belaka. Buktinya sudah banyak orang yang mengalami.
Bahkan hanya sedikit saja yang bisa selamat dari maut. Sepanjang jalan di sekitar lembah ini memang sangat mengerikan. Tidak heran kalau orang-orang yang tinggal di sekitar lembah ini menamakannya Lembah Maut. Dan jalan ini juga disebut Jalan Maut, karena dari sepuluh dua puluh orang yang melintas jalan ini, hanya satu orang saja yang bisa selamat. Sedangkan selebihnya.... Rupadi tidak sanggup membayangkan kengerian itu, tapi berusaha untuk tetap kelihatan tenang. Padahal, pikirannya semakin kacau tidak menentu.
Dan sementara itu matahari semakin jauh tenggelam di balik peraduannya. Tidak lama lagi, malam pasti akan datang menyelimuti sekitar lembah ini. Dan sudah barang tentu, mereka tidak ingin bermalam di tempat yang sudah terkenal keangkerannya. Padahal untuk menuju Desa Paringgi, masih jauh sekali jaraknya. Paling tidak, baru tengah malam nanti bisa sampai. Itu pun kalau mereka terus berjalan dan tidak berhenti sama sekali. Apalagi berjalan di malam hari, yang jelas sangat berbahaya. Dan semua itu bisa disadari Rupadi. Tapi sekarang ini, dia dan yang lain sudah berada di tengah-tengah, dan tidak mungkin kembali lagi.
"Kakang...," desis Baraka tiba-tiba. Suaranya terdengar agak tersedak. Rupadi langsung berpaling menatapnya.
"Kau dengar suara itu, Kakang...?" sambung Baraka, pelan sekali suaranya. Rupadi hanya diam saja. Sayup-sayup telinganya juga mendengar suara seperti lolongan anjing hutan. Rupadi segera menghentikan langkah kaki kudanya. Sedangkan Baraka sudah sejak tadi berhenti, segera turun dari kudanya. Dihampirinya gerobak kayu yang juga berhenti. Rupanya, mereka yang ada di dalam gerobak ini juga mendengar lolongan anjing yang sangat memilukan itu.
"Ada apa, Kakang Baraka?" tanya gadis manis yang duduk di dalam gerobak.
Baraka tidak langsung menjawab, namun segera saja melompat ke atas gerobak ini. Dan dia kemudian duduk di samping laki-laki tua berperut buncit yang menjadi kusir.
"Kau pindah ke belakang, Garan. Lindungi mereka kalau terjadi sesuatu," ujar Baraka.
"Baik, Den," sahut laki-laki tua berperut buncit yang ternyata bernama Garan.
Sementara, Rupadi masih tetap berada di punggung kudanya. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, seakan-akan sedang mencari arah dari lolongan yang semakin jelas terdengar itu. Namun begitu sulit menentukan arahnya, karena lolongan itu seakan-akan datang dari segala arah. Bahkan seperti mengepung tempat ini.
"Baraka! Cepat tinggalkan tempat ini!" seru Rupadi.
"Baik, Kakang! Hiyaaa...!" Baraka langsung saja menghentakkan tali kekang kuda yang menarik gerobak ini. Kedua ekor kuda itu kontan meringkik keras, lalu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Namun belum juga jauh kuda itu berlari, tiba-tiba saja....
Wusss!
"Hieeegkh...!"
Salah seekor kuda itu langsung meringkik keras, dan kontan tersungkur. Akibatnya kuda yang satu lagi jadi terguling. Hampir saja gerobak kayu itu terguling, kalau saja Baraka tidak cepat-cepat menghentikannya. Dengan gerakan cepat sekali, Baraka melompat turun dari gerobak itu. Langsung dihampirinya kuda yang tergeletak di tanah.
"Panah...!"
Baraka jadi kebingungan. Tapi belum juga mengatakan sesuatu, terdengar pekikan tertahan. Dan...
"Garan...!" pekik Baraka, terkejut. Pemuda itu langsung melompat naik ke atas gerobak ini. Tapi pada saat itu, sebatang anak panah lagi melesat ke arahnya.
"Upts...!" Hampir saja panah itu menghantam dadanya, kalau saja tubuhnya tidak segera ditarik ke kiri. Saat itu, laki-laki tua berperut buncit yang menjadi kusir gerobak kuda ini sudah tergeletak di tanah. Tampak sebatang anak panah menembus batang lehernya.
"Aaa...!"
"Eh...?!" Baraka kembali dikejutkan oleh terdengarnya jeritan panjang melengking tinggi. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat Rupadi terbanting dari punggung kudanya, dengan sebatang anak panah menembus dada. Baraka semakin bingung. Sementara, dua perempuan dan seorang anak laki-laki di dalam gerobak ini sudah kelihatan begitu ketakutan.
"Cepat turun dari kereta...!" perintah Baraka.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, wanita yang paling tua bergegas turun dari gerobak kayu ini bersama bocah yang berada dalam pelukannya. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, sebatang anak panah sudah melesat ke arahnya. Dan....
Crab!
"Aaakh...!"
Sebatang anak panah tiba-tiba saja menyambar batang leher perempuan itu. Akibatnya, tubuhnya kontan terjengkang. Sedangkan bocah yang berada dalam gendongannya kontan terlepas dari tangan dan jatuh ke tanah.
"Ibuuu...!"
"Sari, jangan...!" sentak Baraka, langsung mencekal tangan gadis manis yang akan memburu keluar dari atas kereta gerobak kayu ini.
Baraka semakin kelihatan bingung, apa yang harus dilakukan. Sementara dia sama sekali tidak tahu dari mana datangnya anak-anak panah itu. Perlahan Baraka turun dari gerobak kuda ini sambil mengendap-endap, cepat disambarnya bocah kecil itu. Lalu, Baraka segera kembali ke gerobak, dan meletakkan bocah itu di dalamnya. Setelah itu, kembali dia mengendap-endap mendekati kuda penarik gerobak yang tinggal satu. Lalu dilepaskannya tali-tali dari kuda yang sudah mati. Kemudian tali itu dipasangkan ke kudanya sendiri. Selanjutnya, kudanya siap untuk menarik gerobak itu. Sambil mengendap-endap dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, perlahan-lahan Baraka kembali naik dan duduk di tempat kusir kereta yang sangat sederhana ini.
"Hiyaaa...!" Baraka langsung menggebah dua ekor kuda yang menarik gerobak kayu ini. Kuda-kuda itu meringkik keras, lalu melesat cepat membawa gerobak kayu ini, yang jadi terguncang-guncang memperdengarkan suara berderak. Tapi Baraka tidak peduli lagi. Kudanya terus digebah sambil berteriak-teriak agar semakin cepat berlari.
"Hiya! Hiyaaa...!"
"Kakang, mereka mengejar...!" teriak Sari.
"Oh...?!" Baraka jadi terkesiap begitu menoleh ke belakang. Tampak sekitar sepuluh orang tengah menunggang kuda yang dipacu cepat di belakang. Dan tampaknya, mereka memang mengejar gerobak ini. Baraka terus menggebah kuda-kudanya agar terus berlari semakin cepat.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sepuluh orang penunggang kuda itu semakin dekat saja jaraknya. Bahkan salah seorang tampak sudah memasang panah pada busurnya. Lalu....
Swing! Panah itu melesat cepat bagai kilat begitu dilepaskan dari busur. Dan....
Jleb!
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan menyayat dari dalam gerobak. Baraka cepat berpaling ke belakang. Seketika jantungnya seakan jadi berhenti berdetak, begitu melihat bocah kecil yang kini berada dalam pelukan Sari tertembus panah pada punggungnya. Sementara, Sari jadi terpekik. Malah bocah itu makin dipeluk erat-erat.
"Pindah ke depan, Sari...!" teriak Baraka.
Sari menangis sesenggukan sambil memeluk bocah kecil itu. Sementara, orang-orang berkuda yang mengejar mereka semakin dekat saja. Walaupun Baraka sudah berusaha memacu cepat, tapi kuda-kuda mereka rupanya lebih gesit dan cepat.
"Cepat, Sari...!" teriak Baraka sambil terus menggebah kudanya.
Sesaat Sari masih terdiam menangis sesenggukkan, kemudian melepaskan pelukannya pada anak kecil yang sudah tidak bernyawa lagi. Lalu gadis itu merangkak ke depan mendekati Baraka, dan duduk di sampingnya. Sementara orang-orang berkuda yang mengejar sudah semakin dekat saja.
"Pegang ini," ujar Baraka sambil menyerahkan tali kekang kereta ini.
"Apa...?!" Sari tampak terkejut.
"Cepat! Pegang ini...!" Dengan ragu-ragu, Sari menerima tali kekang dari kulit itu.
Sementara, dua ekor kuda yang menarik gerobak ini terus berlari kencang seperti tidak terkendali lagi. Sedangkan Baraka segera merayap ke bagian belakang. Diambilnya busur dan sekantong anak panah. Kini Baraka siap membidik para pengejarnya.
"Hih!"
Wusss!
"Aaa...!"
Terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari arah belakang, begitu anak panah Baraka dilepaskan. Tampak salah seorang pengejar berkuda itu terbanting dari punggung kudanya. Bidikan Baraka memang sangat tepat, menembus langsung ke dada orang itu. Baraka cepat memasang kembali anak panahnya, dan kembali membidik pengejarnya.
"Hih!"
Swing!
Crab!
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking, yang kemudian disusul ambruknya seorang lagi. Sementara, Sari yang mengendalikan gerobak ini, terus berteriak-teriak sambil memecut kuda-kuda itu agar semakin cepat berpacu. Gerobak kayu berukuran cukup besar ini semakin keras berguncang, dan berderak-derak, seakan-akan tidak mampu lagi diajak berpacu. Sementara itu, Baraka terus membidikkan anak panahnya.
"Hih!"
Siap!
Jleb!
"Aaa...!"
Baraka tersenyum senang, melihat lima orang sudah dijatuhkannya. Dan memang, pemuda ini sangat mahir menggunakan panah. Setiap bidikannya bisa dipastikan tidak pernah meleset. Kehilangan lima orang, rupanya pengejar-pengejar itu berpikir juga. Maka, mereka seketika menghentikan pengejarannya. Dibiarkan saja gerobak kuda itu melaju cepat meninggalkan kelima penunggang kuda ini. Senyum Baraka makin melebar melihat lima orang pengejarnya sudah berhenti. Pemuda itu cepat kembali ke depan, dan duduk di tempatnya semula. Kembali diambilnya tali kendali kereta ini dari tangan gadis manis di sebelahnya.
"Mereka tidak mengejar lagi, Sari," kata Baraka memberi tahu. Sari hanya diam saja. Wajahnya berpaling ke belakang, melihat bocah kecil yang kini sudah tertelungkup tidak bernyawa lagi dengan punggung tertembus panah. Sementara, Baraka mulai memperlambat lari gerobak kayu ini. Dia juga berpaling ke belakang, seraya menghembuskan napas panjang.
"Kita akan urus nanti setelah sampai di Desa Paringgi," ujar Baraka perlahan.
"Kita tinggal berdua, Kakang. Tidak punya apa-apa lagi," ujar Sri lirih.
"Hhh...!" Baraka hanya menghembuskan napas panjang saja.***
Menjelang tengah malam, gerobak yang membawa Baraka dan Sari tiba di Desa Paringgi. Sunyi sekali keadaan desa ini. Tidak ada seorang pun yang terlihat berada di luar rumah. Hanya nyala lampu pelita di beranda depan rumah saja yang terlihat, menandakan kalau desa ini masih ada penghuninya. Baraka terus menjalankan gerobak kudanya perlahan-lahan memasuki desa yang tidak begitu besar ini.
Pandangannya beredar ke sekeliling, seakan ingin memastikan keadaan desa yang terasa begitu sunyi. Hentakkan kaki kuda dan gerit gerobak jelas sangat keras terdengar di kesunyian malam ini. Namun Baraka seperti tidak peduli. Gerobak kuda ini terus saja dijalankan perlahan-lahan. Sementara, Sari hanya diam membisu saja di sebelahnya.
"Masih jauh tempatnya, Kakang...?" tanya Sari memecah kesunyian.
"Di ujung jalan ini. Tinggal dua kali belokan lagi," sahut Baraka juga pelan suaranya.
Namun begitu mereka melewati satu belokan, tiba-tiba saja bermunculan orang-orang dari balik dinding rumah dan pepohonan yang tumbuh di sepanjang pinggir jalan ini. Mereka langsung saja menghadang di depan, memadati jalan. Maka, Baraka cepat-cepat menghentikan langkah kaki kudanya.
"Hooop...!"
"Ada apa, Kakang? Kenapa mereka mencegat kita...?" tanya Sari.
"Entahlah," sahut Baraka seraya menghembuskan napas sedikit.
Tampak seorang laki-laki berusia setengah baya, berbaju putih ketat sehingga membentuk tubuhnya yang tegap berotot, melangkah mendekati gerobak kuda ini. Sementara, Baraka dan Sari tetap berada di atas gerobak itu. Dipandanginya laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot yang menyandang sebilah pedang di pinggangnya. Laki-laki itu berhenti sekitar tiga langkah lagi di depan dua ekor kuda penarik gerobak kayu.
"Aku Gorapati, kepala desa ini. Maaf, perjalanan kalian terpaksa kuhentikan," kata laki-laki setengah baya itu memperkenalkan diri.
Suara laki-laki yang mengaku bernama Gorapati terdengar besar dan berat. Tapi dari sikap dan sorot matanya, sudah terpancar keramahannya. Baraka segera turun dari atas kereta kudanya ini, lalu melangkah menghampiri laki-laki setengah baya yang mengaku sebagai Kepala Desa Paringgi ini. Sementara Sari tetap berada di atas gerobak ini.
"Maaf, apakah perjalanan kami mengganggu ketenteraman di sini, Ki?" ujar Baraka dengan suara dan sikap dibuat ramah dan sopan.
"Sama sekali tidak," sahut Ki Gorapati.
"Lalu, kenapa kami dihentikan?" tanya Baraka.
"Hanya untuk pemeriksaan saja. Maaf, kuharap kau tidak keberatan, Anak Muda. Aku dan seluruh penduduk desa ini hanya berjaga-jaga saja."
"Kami berdua datang dari jauh, Ki. Kami melewati jalan Lembah Maut. Bahkan tiga orang saudara kami telah tewas di sana. Dan di dalam gerobak itu, ada mayat anak kecil. Maaf, Ki. Aku harus segera sampai dan mengurusnya," kata Baraka, meminta kebijaksanaan.
Kelopak mata Ki Gorapati jadi menyipit. Kemudian diperintahkannya seorang pemuda yang berada di belakangnya untuk memeriksa ke dalam gerobak. Tak lama, pemuda berusia sekitar dua puluh tahun bergegas mendekati gerobak kuda ini, dan langsung ke bagian belakang. Lalu, kepalanya dijulurkan.
Tak beberapa lama, pemuda itu kembali lagi, dan kepalanya bergerak mengangguk membenarkan kata-kata Baraka barusan. Sementara, Ki Gorapati melangkah menghampiri pemuda ini.
"Ke mana tujuanmu, Anak Muda?" tanya Ki Gorapati.
"Ke sebelah utara desa ini. Di pinggiran Hutan Guyangan," sahut Baraka.
"Tempat yang kau tuju masih terlalu jauh, Anak Muda. Bisa esok pagi baru sampai. Sebaiknya, kau ke rumahku saja. Aku dan penduduk Desa Paringgi akan membantu jasad...."
"Adikku," selak Baraka buru-buru menjelaskan.
"Ya! Sebaiknya kau ke rumah Ki Gorapati saja," sambut seorang pemuda yang berada di belakang kepala desa itu.
"Kasihan adikmu. Jangan terlalu lama dibiarkan begitu," sambung yang lain.
Baraka tidak bisa lagi berkata-kata. Hatinya begitu terharu melihat kesediaan penduduk desa ini untuk mengurus mayat adiknya.
"Terima kasih...," ucap Baraka perlahan.
Memang hanya itu yang bisa diucapkannya. Sementara, Ki Gorapati sudah merangkulnya dengan sikap lembut, seperti seorang ayah pada anaknya. Sedangkan beberapa anak muda sudah menghampiri gerobak kayu itu. Tampak seorang laki-laki tua membantu Sari turun. Saat itu, seorang anak muda naik ke atas gerobak dan memegang tali kendalinya.
"Kalian berdua pasti lelah. Mari, malam ini biar kalian istirahat di rumahku. Besok pagi, kalian baru bisa melanjutkan perjalanan," kata Ki Gorapati.
"Terima kasih, Ki," ucap Baraka dan Sari hampir berbarengan.
Mereka kemudian bergerak menuju rumah kepala desa ini. Dan di belakangnya, gerobak kuda dari kayu itu mengikuti, dikendalikan seorang anak muda berusia sekitar dua puluh tahun. Tapi tubuhnya tinggi tegap dan berotot, sehingga seperti sudah berusia tiga puluh tahun saja.***
KAMU SEDANG MEMBACA
104. Pendekar Rajawali Sakti : Perawan Lembah Maut
ActionSerial ke 104. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.