BAGIAN 2

373 24 2
                                    

Tepat di saat matahari hampir tenggelam di ufuk barat, rombongan kecil yang dipimpin Panglima Gagak Sewu tiba di depan bangunan Istana Karang Setra. Sebuah bangunan yang sangat megah, tapi kelihatan begitu terbuka, hingga bentuk istana itu terlihat jelas dari jalan yang cukup besar dan selalu ramai ini. Mereka langsung menuju pintu gerbang yang dijaga empat orang prajurit berusia muda bersenjatakan sebatang tombak berukuran dua kali panjang tubuh mereka, masing-masing di tangan kanan.
Seorang prajurit penjaga menghampiri Panglima Gagak Sewu yang masih tetap duduk di punggung kudanya. Panglima berusia setengah baya itu melompat turun, begitu prajurit yang masih berusia muda ini dekat di depannya.
"Siapa kalian? Dan, ada perlu apa datang ke sini?" tanya prajurit itu, ramah.
"Kami dari Kerajaan Jenggala. ingin bertemu Gusti Prabu Rangga," sahut Panglima Gagak Sewu
"Kau seorang utusan?"
Panglima Gagak Sewu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja.
"Ayo, ikuti aku," ajak prajurit itu.
Panglima Gagak Sewu menuntun kudanya, mengikuti prajurit penjaga itu. Sedangkan yang lain cepat turun dari punggung kudanya. Dan mereka berjalan mengikuti prajurit yang berada paling depan. Sedangkan Ki Manik tetap berada di atas pedatinya, sambil menjalankan perlahan-lahan di belakang yang lain.
"Kalian tetap di sini dulu," ujar Panglima Gagak Sewu setelah sampai di depan tangga masuk ke istana.
Tidak ada yang menjawab. Mereka semua hanya menganggukkan kepala saja. Panglima Gagak Sewu menatap sebentar ke arah pedati, tepat ketika Emban Girika sedikit menjulurkan kepala ke luar. Kemudian, panglima itu melangkah meniti anak-anak tangga mengikuti prajurit penjaga yang terus berjalan di depan.
"Tunggu dulu di sini," kata prajurit itu, setelah tiba di ruangan yang sangat luas dan megah.
Panglima Gagak Sewu hanya mengangguk saja. Sementara prajurit muda itu terus berjalan menyeberangi ruangan ini, dan menghilang di balik pintu yang berukuran sangat besar. Tapi tidak lama dia muncul lagi bersama seorang pemuda tampan, berbaju merah muda dari bahan sutera halus.
"Panglima Gagak Sewu...!" seru pemuda itu begitu melihat Panglima Gagak Sewu.
"Senang sekali bisa bertemu denganmu lagi, Danupaksi," ujar Panglima Gagak Sewu seraya tersenyum.
Pemuda tampan itu memang Danupaksi, adik tiri Rangga yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, yang juga raja di Karang Setra ini. Danupaksi bergegas menyongsong Panglima Gagak Sewu. Dan mereka berpelukan dengan hangat, membuat prajurit penjaga yang mengantarkan Panglima Gagak Sewu tadi jadi terlongong bengong tidak mengerti.
"Prajurit, kembali ke tempatmu," perintah Danupaksi.
"Hamba, Gusti," sahut prajurit itu seraya memberi sembah hormat.
"Mari, Paman," ajak Danupaksi ramah.
"Sebentar, Danupaksi," ujar Panglima Gagak Sewu.
"Ada apa?"
"Aku datang tidak sendiri, Danupaksi."
"Oh..."
"Ada Gusti Putri Arum Winasih."
"Oh, ya...?! Kenapa tidak masuk saja?"
"Gusti Putri sedang sakit."
"Oh...?!"
Danupaksi terperanjat bukan main mendengar kedatangan Putri Arum Winasih. Dan lebih terkejut lagi, begitu mendengar Putri Arum Winasih sedang sakit. Bergegas pemuda itu keluar dari ruangan ini, diikuti Panglima Gagak Sewu. Danupaksi jadi tertegun begitu melihat mereka yang datang bersama Panglima Gagak Sewu.
Saat itu juga, Danupaksi baru menyadari kalau Panglima Gagak Sewu tidak mengenakan pakaian seorang panglima, tapi memakai pakaian biasa seperti orang kebanyakan. Dan mereka semua juga tidak mengenakan pakaian prajurit. Tapi yang membuat Danupaksi jadi tertegun, jumlah mereka hanya enam belas orang saja, selain Ki Manik dan Putri Arum Winasih yang berada di atas pedati.
"Paman...," ujar Danupaksi terputus, seraya menatap Panglima Gagak Sewu yang berdiri di sampingnya.
"Nanti akan kujelaskan, Danupaksi. Sekarang tolong beri perawatan dulu pada Gusti Putri," kata Panglima Gagak Sewu cepat-cepat.
Panglima Gagak Sewu memang sudah dikenal baik dalam lingkungan keluarga besar Istana Karang Setra. Bahkan sebenarnya dia sendiri kelahiran Karang Setra. Tapi begitu menginjak remaja, panglima itu pergi ke Kerajaan Jenggala, karena ayahnya memang dari kerajaan itu dan menjadi panglima di sana. Hingga akhirnya, dia menggantikan kedudukan ayahnya, untuk mengabdi di Kerajaan Jenggala. Memang, antara Panglima Gagak Sewu dengan keluarga Istana Karang Setra terjalin persahabatan yang sangat erat. Bahkan antara Kerajaan Karang Setra dengan Kerajaan Jenggala juga menjalin hubungan persahabatan yang erat. Maka tidak heran kalau mereka semua diterima dengan baik.
Tapi yang membuat Danupaksi jadi heran, kedatangan mereka tidak seperti layaknya seorang pembesar kerajaan. Bahkan Putri Arum Winasih sendiri berpakaian tidak sebagaimana layaknya seorang putri raja. Bukan hanya Danupaksi saja yang heran. Cempaka, Ki Lintuk, Paman Wirapati, dan seluruh pembesar Kerajaan Karang Setra juga tidak mengerti melihat keadaan tamu-tamunya ini.
Sementara, Putri Arum Winasih sudah mendapat perawatan dan kamar yang baik. Sedangkan Panglima Gagak Sewu dan semua prajuritnya berkumpul di ruangan Balai Sema Agung, bersama Danupaksi serta seluruh pembesar utama Kerajaan Karang Setra. Saat itu, malam sudah datang menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Karang Setra ini. Dan kegelapan begitu jelas terlihat di luar, dari jendela yang seluruhnya terbuka lebar.
"Aku yakin, kedatangan Paman ke sini bukan karena diutus Prabu Gandaraka," ujar Danupaksi memecah kesunyian di dalam ruangan Balai Sema Agung ini "Ceritakan, Paman. Apa sebenarnya yang terjadi...?"
"Hhh...!"
Panglima Gagak Sewu menghela napas dalam-dalam. Terasa begitu berat tarikan napasnya. Dan raut wajahnya kelihatan berselimut mendung, membuat Danupaksi yang duduk tepat di depannya jadi mengerutkan kening. Adik tiri Raja Karang Setra ini semakin yakin kalau ada sesuatu yang telah terjadi di Kerajaan Jenggala, sehingga membuat Putri Arum Winasih, Panglima Gagak Sewu, dan beberapa orang prajurit yang datang ke Karang Setra ini berpakaian seperti orang kebanyakan.
"Ceritakan, Paman. Apa yang terjadi...?" desak Danupaksi.
"Aku malu untuk mengatakannya, Danupaksi. Aku merasa seperti tidak ada gunanya lagi...," terdengar lirih sekali suara Panglima Gagak Sewu.
"Kenapa kau berkata begitu, Paman...?"
"Hhh...!"
Entah sudah berapa kali Panglima Gagak Sewu menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, seakan-akan tengah mencari kekuatan untuk mengatakan peristiwa yang telah terjadi di Kerajaan Jenggala.
"Terjadi pemberontakan di Jenggala, Paman...?" tebak Danupaksi, langsung.
"Yaaah.... Telah terjadi pemberontakan di Sana. Dan mereka sekarang berhasil menggulingkan tahta," desah Panglima Gagak Sewu lirih.
Danupaksi menghembuskan napas panjang-panjang. Memang sudah diduga sejak pertama kali Panglima Gagak Sewu datang bersama Putri Arum Winasih dan beberapa orang prajurit berpakaian biasa. Ternyata, dugaannya tepat. Memang tidak mungkin seorang putri raja keluar dari wilayahnya tanpa pengawalan cukup. Terlebih lagi, panglima dan prajurit-prajurit yang mengawalnya tidak berpakaian prajurit yang lengkap.
Kerajaan Jenggala memang bukanlah kerajaan besar. Bahkan tidak memiliki prajurit tangguh. Luas wilayahnya sendiri hanya sepertiga dari luas wilayah Kerajaan Karang Setra. Tak heran kalau pertahanannya sangat rapuh, hingga mudah diserang musuh. Dari beberapa panglima yang ada di Kerajaan Jenggala, Danupaksi tahu kalau hanya Panglima Gagak Sewu saja yang memiliki kepandaian tinggi. Sedangkan yang lain, bisa disamakan dengan para punggawa di Karang Setra ini.
"Paman, kapan itu terjadi?" tanya Danupaksi setelah terdiam beberapa saat.
"Lima hari yang lalu," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Lalu, bagaimana keadaan Gusti Prabu Gandaraka?" tanya Danupaksi lagi.
"Aku tidak tahu, bagaimana keadaannya sekarang. Gusti Prabu Gandaraka memerintahkan aku untuk menyelamatkan Gusti Putri Arum Winasih. Dan aku hanya bisa membawa tiga puluh prajurit pilihanku. Tapi yaaah..., hanya tinggal mereka saja yang masih hidup. Sebagian prajuritku telah gugur menghadang pengejaran prajurit-prajurit yang memberontak," pelan sekali suara Panglima Gagak Sewu.
Panglima setengah baya itu memandangi para prajuritnya yang duduk di belakangnya. Sedangkan para pembesar Karang Setra sepertinya tidak ada yang membuka suara. Mereka merasa begitu prihatin atas keadaan yang terjadi di Kerajaan Jenggala.
"Siapa yang mendalangi pemberontakan itu, Adi Gagak Sewu?" tanya Ki Lintuk yang sejak tadi diam saja.
"Raden Banyugara," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Siapa...?!"
Danupaksi sampai terlonjak, begitu mendengar dalang pemberontakan di Kerajaan Jenggala. Bahkan semua pembesar Karang Setra yang ada di dalam ruangan ini juga kaget setengah mati. Mereka seperti tidak percaya pada apa yang didengar barusan. Mereka semua tahu, siapa Raden Banyugara itu. Jelas sulit dipercaya kalau yang mendalangi itu justru kakak sepupu Putri Arum Winasih sendiri, yang berarti keponakan Prabu Gandaraka.
Dan mereka semua tahu, bagaimana Raden Banyugara itu. Dia adalah seorang pemuda pendiam dan tidak banyak bicara kalau tidak ditanya. Bahkan banyak yang tahu kalau Raden Banyugara tidak suka mempelajari ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Yang disukainya adalah menekuni ilmu-ilmu sastra dan ketatanegaraan. Bahkan Raden Banyugara bisa dikatakan sebagai pemuda lemah. Jadi memang sulit bisa dipercaya kalau pemuda yang kelihatan lemah dan tidak memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan sedikit pun, bisa memimpin sebuah pemberontakan.
"Raden Banyugara.... Kenapa hal itu dilakukannya...? Apa yang diinginkannya dari pemberontakan...?" desah Paman Wirapati, seperti bicara pada diri sendiri.
"Kenapa dia melakukan pemberontakan itu, Adi Gagak Sewu?" tanya Ki Lintuk setelah hilang rasa keterkejutannya.
"Inilah yang membuatku tidak mengerti, Kakang Lintuk, Waktu itu sedikit pun tidak ada tanda-tanda akan terjadi pemberontakan. Semua itu terjadi tiba-tiba saja. Dan yang lebih mengherankan lagi, sebagian besar prajurit dan seluruh panglima memihak padanya. Hanya sedikit saja prajurit yang setia pada Gusti Prabu Gandaraka. Bahkan sebagian besar prajuritku sendiri, ikut bergabung dengan mereka. Aku benar-benar tidak tahu, mengapa semua itu dilakukan...," sahut Panglima Gagak Sewu masih terdengar pelan suaranya.
Dan mereka semua terdiam, tanpa ada yang bicara sedikit pun juga. Hingga keadaan begitu sunyi, sampai-sampai suara tarikan napas dan detak jantung hampir terdengar.
"Danupaksi! Kedatanganku ke sini bukannya hendak meminta bantuan prajurit, tapi hanya ingin agar Gusti Putri Arum Winasih mendapatkan perlindungan. Aku merasa, hanya di sinilah tempat yang aman bagi Gusti Putri. Aku mohon pada kalian semua, sampai aku dapat mengumpulkan kembali kekuatan dan merebut lagi takhta yang sudah terguling," kata Panglima Gagak Sewu, setelah cukup lama berdiam diri.
"Karang Setra selalu terbuka untuk para sahabat, Paman Gagak Sewu," sambut Danupaksi, sambil merentangkan tangannya.
"Terima kasih," ucap Panglima Gagak Sewu, merasa lega.
Danupaksi memberi senyuman persahabatan yang manis sekali.
"Tapi sayang...." desah Panglima Gagak Sewu.
"Ada apa, Paman?" tanya Danupaksi.
"Aku tidak bisa bertemu langsung dengan Gusti Prabu Rangga."
"Aku sudah memerintahkan Paman Wirapati agar menyebar telik sandi untuk mencari Kakang Rangga. Aku yakin, tidak lama lagi Kakang Rangga pasti datang," jelas Danupaksi.
"Ah! Semoga saja cepat datangnya," harap Panglima Gagak Sewu.
"Memang sudah terlalu lama Kakang Rangga dan Kak Pandan meninggalkan istana. Aku merasa, mereka tidak lama lagi datang ke sini," ujar Danupaksi, bernada menghibur.
Panglima Gagak Sewu hanya tersenyum saja. Dia tahu, Danupaksi hanya memberi ketenangan pada hatinya saja. Masalahnya, Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti dan sekaligus Raja Karang Setra sering bepergian meninggalkan istananya. Dan memang sudah pasti, sebagai seorang pendekar kelana, dia tidak akan mungkin bisa hidup di dalam lingkungan istana.
Hanya sesekali saja Rangga berada di istana ini. Itu pun tidak bertahan lama. Paling lama hanya lima hari. Dan seterusnya, Pendekar Rajawali Sakti akan mengembara lagi. Akan dijelajahinya alam yang luas dan ganas ini, untuk mengabdikan diri sebagai pendekar penegak keadilan.

***

Tiga hari sudah Panglima Gagak Sewu, Putri Arum Winasih, dan beberapa prajurit berada di Istana Karang Setra. Kesehatan Putri Arum Winasih juga semakin membaik. Untung saja panah yang menembus punggungnya tidak begitu dalam, hingga tidak sampai membahayakannya.
Cempaka yang selalu menjenguk Putri Arum Winasih setiap saat, sore ini juga sudah berada di dalam kamar tamu Kerajaan Karang Setra itu. Kelihatan cantik sekali Putri Arum Winasih sore ini. Pipinya sudah kelihatan memerah. Dan matanya juga sudah kelihatan cerah, bagai telaga bertaburkan butir-butir mutiara. Putri Arum Winasih menyambut kedatangan Cempaka dengan senyum tersungging di bibir. Begitu manis senyumnya.
"Kau kelihatan cantik sekali, Putri," puji adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu, tulus.
"Ah! Jangan memanggilku begitu, Kak Cempaka. Aku lebih muda darimu. Panggil saja aku Arum," pinta Putri Arum Winasih tersipu.
"Tapi, bagaimanapun juga kau tetap seorang putri raja. Jadi tidak pantas kalau aku memanggilmu begitu," balas Cempaka, merasa sungkan.
"Kak Cempaka juga."
"Aku...?"
Cempaka jadi tertawa. Entah kenapa, ucapan Putri Arum Winasih jadi menggelitik hatinya. Tapi tawanya yang merdu itu tidak berlangsung lama. Adik tiri Rangga itu melangkah menghampiri Putri Arum Winasih yang duduk dekat jendela. Diambilnya tempat di samping putri dari Kerajaan Jenggala itu. Pandangannya diarahkan ke depan, merayapi taman belakang istana yang tertata indah. Tampak beberapa gadis bermain-main di dalam taman itu. Begitu riang, seakan tidak ada beban sedikit pun pada diri mereka.
Dan kedua gadis itu jadi terdiam. Sama-sama memandang ke luar, menikmati indahnya suasana senja. Matahari tampak memerah anggun, membias di balik puncak bukit yang melatari istana ini. Angin pun berhembus lembut, menyebarkan udara sejuk, membuat suasana senja semakin bertambah indah.
"Hhh...!" Cempaka menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat.
Putri Arum Winasih berpaling sedikit, melirik adik tiri Pendekar Rajawali Sakti ini. Tapi sebentar kemudian pandangannya sudah diarahkan ke puncak gunung yang mulai diselimuti kabut. Rona merah masih membias begitu indah di sana.
"Indah sekali sore ini. Kau mau berjalan-jalan bersamaku, Arum...?" ujar Cempaka lembut, seraya melirik sedikit pada gadis cantik di sebelahnya.
"Aku menunggu tawaranmu sejak tadi, Kak Cempaka," sambut Putri Arum Winasih tersenyum.
"Kenapa tidak bilang dari tadi...?"
"Aku tidak ingin merepotkanmu, Kak. Kau sudah terlalu repot mengurusku. Aku tidak ingin menambah bebanmu lagi. Tapi, aku senang kalau berjalan-jalan bersamamu. Ada rasa aman...," ujar Putri Arum Winasih.
"Ah, kau...," Cempaka jadi tersipu.
Mereka kemudian melangkah ke luar dari dalam kamar ini, langsung menuju ke taman belakang istana yang megah. Dua orang penjaga pintu taman membungkuk memberi hormat. Dan beberapa gadis yang ada di taman itu segera berlutut, memberi sembah hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Kedua gadis berparas cantik itu terus saja melangkah perlahan-lahan seakan tidak peduli pada mereka yang ada di sekelilingnya ini. Udara senja yang sejuk ini memang sangat menyegarkan. Tanpa terasa, mereka berjalan sudah cukup jauh ke tengah taman yang luas ini. Kini, tidak terlihat seorang pun lagi di tempat ini. Mereka berhenti di pinggir sebuah kolam yang cukup besar, dengan bunga-bunga teratai bermekaran di tengah-tengah kolam yang berair jernih ini. Kedua gadis itu lalu duduk di sebuah bangku taman yang terbuat dari batu.
"Kalau ingat kejadian yang kualami, rasanya aku ingin belajar ilmu olah kanuragan. Supaya kuat sepertimu, Kak Cempaka," ujar Putri Arum Wina sih.
"Tapi ada ruginya juga, Arum," kata Cempaka.
"Apa ruginya, Kak?"
"Sulit mendapat jodoh."
Kedua gadis itu jadi tertawa renyah. Mereka terus bercengkerama, dan sesekali diseling tawa lepas berderai. Sampai keadaan mulai temaram, mereka masih tetap duduk di bangku taman itu. Entah apa yang dibicarakan. Tapi, tampaknya seringkali terdengar gurauan yang membuat mereka tertawa lepas berderai. Sementara, matahari terus merayap semakin tenggelam ke dalam peraduannya. Kedua gadis itu baru meninggalkan taman ini, setelah keadaan benar-benar gelap.

***

105. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Gerbang NerakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang