BAGIAN 3

354 20 0
                                    

Malam terus merayap semakin larut. Kini kegelapan menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Karang Setra. Namun di dalam kota, tampak begitu gemerlap oleh lampu-lampu yang terpasang di rumah-rumah dan pada hampir seluruh sudut jalan. Orang-orang pun seakan tidak peduli kalau langit sudah menjadi gelap. Mereka masih saja terlihat hilir mudik di jalan-jalan Kotaraja Karang Setra.
Di antara hilir mudiknya orang-orang di jalan ini, tampak dua orang anak muda tengah melangkah tidak tergesa-gesa di pinggiran jalan. Mereka seakan-akan tengah menikmati indahnya Kotaraja Karang Setra. Dan bila dilihat dari pakaian yang rapi dan terbuat dari bahan sutera halus, jelas sekali kalau mereka bukan orang sembarangan. Terlebih lagi, di pinggang masing-masing tersandang sebilah pedang.
"Ramai sekali di sini, Kakang Rasik." ujar salah seorang yang berbaju biru agak ketat, hingga membentuk tubuhnya yang kekar dan berotot. Wajahnya juga sangat tampan, namun sorot matanya terlihat begitu tajam.
"Ya," sahut seorang lagi yang dipanggil Rasik tadi.
Rasik juga bertubuh tegap dan berotot, terbungkus baju merah muda yang juga ketat. Wajahnya pun terlihat tampan, dengan kumis tipis menghiasi bagian atas bibirnya. Selembar kain berwarna putih mengikat kepalanya. Tampak tangan kanannya tidak henti-hentinya memainkan dua buah benda bulat berwarna putih keperakan.
"Sayang, kita punya tugas yang sangat penting di sini," keluh Rasik lagi. "Kau tahu, Wirya. Kabarnya gadis di Karang Setra ini cantik-cantik."
"Masih banyak waktu Kakang. Kenapa tidak mencari hiburan saja dulu...? Urusan tugas, bisa ditunda. Toh, tidak ada yang tahu, Kakang," kata pemuda yang bernama Wirya seraya tersenyum.
"Tugas kita tidak ringan, Wirya."
"Aku tahu, Kakang. Tapi tidak ada salahnya kalau mencari sedikit hiburan. Sayang kalau dilewatkan begitu saja."
Rasik hanya tersenyum saja. Dia tahu, Wirya memang gemar sekali mencari hiburan berupa gadis-gadis cantik. Di dalam hatinya, ada sedikit penyesalan juga memulai bicara tentang gadis-gadis Karang Setra yang kecantikannya memang sudah terkenal. Tapi, mereka juga tahu kalau tidak mudah mencari gadis-gadis penghibur di kota ini. Kalaupun ada, tempatnya sangat tersembunyi dan sulit dicari. Terutama, yang baru datang ke kota ini. Bahkan penduduk kota ini sendiri tidak semuanya yang tahu.
Segala macam hiburan yang menyediakan gadis-gadis penghibur memang dilarang di kota ini. Apalagi ancaman hukumannya sangat berat. Maka tak heran akan kesulitan mencari hiburan yang menyediakan gadis cantik di sini. Tapi memang, kota ini jadi aman. Hingga, hampir tidak terdengar adanya keributan.
"Itu ada kedai, Kakang," tunjuk Wirya.
"Kau sudah lapar?" tanya Rasik.
"Sejak tadi, Kakang."
Rasik kembali tersenyum. Mereka kemudian menuju kedai yang kelihatannya sangat ramai. Seorang laki-laki setengah baya yang merupakan pemilik kedai menyambut mereka dengan senyum ramah tersungging di bibir. Ditunjukkannya sebuah meja dengan dua kursi yang terletak agak ke sudut. Cukup besar juga kedai ini. Dan pengunjungnya juga cukup banyak.
"Mau pesan apa, Den?" tanya pelayan itu ramah.
"Arak dan makanan yang paling enak di sini," sahut Rasik.
"Sebentar, Den," ujar pelayan itu.
Laki-laki setengah baya yang masih kelihatan tegap itu meninggalkan kedua pemuda ini. Sementara, Rasik merayapi keadaan sekelilingnya. Demikian pula Wirya, yang tidak mau ketinggalan. Bibirnya tersenyum-senyum melihat pelayan kedai ini ternyata terdiri dari gadis-gadis muda berparas cantik. Tapi tingkah mereka tidak kelihatan genit dan mengundang dalam melayani pengunjung kedai ini.
Laki-laki setengah baya tadi kini datang lagi bersama dua gadis muda berparas cantik, sambil membawa dua baki berisi dua guci arak dan makanan yang dipesan. Dengan sikap ramah dan senyum manis mereka meletakkan pesanan itu di atas meja. Sementara, Wirya tidak henti-hentinya merayapi salah seorang gadis pelayan yang berada di sebelahnya. Bau harum tubuh gadis itu membuat cuping hidung Wirya jadi kembang-kempis.
"Cantik sekali kau. Siapa namamu...?" tanya Wirya tidak dapat lagi menahan diri.
"Narti, Den," sahut gadis pelayan itu lembut.
"Nama yang cantik. Secantik orangnya," puji Wirya menggoda.
Gadis itu hanya tersenyum tersipu saja. Bergegas ditinggalkannya tempat itu setelah menyelesaikan pekerjaannya. Sementara laki-laki setengah baya yang menjadi pemilik kedai ini masih tetap berdiri di dekat meja itu.
"Silakan, Den," ujar laki-laki itu mempersilakan tamunya.
"Terima kasih, Ki," sahut Rasik.
Pemilik kedai itu hendak beranjak pergi, tapi Wirya sudah keburu mencegah dengan mencekal tangannya.
"Ada apa. Den?"
"Apa di sini juga menyediakan penginapan, Ki?" tanya Wirya.
"Raden berdua ini pendatang?" pemilik kedai itu malah balik bertanya.
"Benar, Ki. Kami berdua datang dari jauh," sahut Rasik.
"Kedai ini memang menyediakan tempat untuk menginap, Den. Tapi, tidak terlalu bagus. Dan biasanya, para pendatang seperti Raden berdua ini selalu mencari tempat menginap yang bagus. Kalau mau, Raden bisa ke rumah penginapan yang ada di ujung jalan ini. Di sana tempatnya bagus, Den," tunjuk pemilik kedai itu memberi tahu.
"Ada teman wanita tidak, Ki?" tanya Wirya setengah berbisik.
"Wah, kalau itu tidak tahu, Den. Tapi..."
"Tapi kenapa, Ki?"
"Kalau Raden mau, pemilik rumah penginapan itu bisa mencarikannya. Hanya saja, harus diam-diam. Karena pekerjaan seperti itu sangat dilarang di kota ini, Den. Bahkan hukumannya juga sangat berat kalau ketahuan. Jadi, harus hati-hati saja, Den."
"Terima kasih, Ki," ucap Wirya seraya tersenyum.
"Permisi, Den."
"Ya...."
Laki-laki setengah baya pemilik kedai itu bergegas berlalu dengan tergopoh-gopoh.
"Kau terlalu, Wirya. Seharusnya caranya jangan begitu," tegur Rasik.
"Kepalang basah, Kakang. Kalau tidak begitu, mana bisa kita mencari tahu di kota yang besar begini...," sahut Wirya seenaknya.
"Hhh.... Terserah kau sajalah. Kalau ada apa-apa, tanggung sendiri akibatnya."
"Jangan khawatir, Kakang. Aku sudah banyak tahu tentang keadaan di Karang Setra ini," sahut Wirya, kalem.
Rasik tidak bicara lagi. Dituangnya arak dari dalam kendi ke gelas bambu dan diteguknya hingga tandas tak bersisa dalam sekali tenggak saja. Sementara Wirya sudah mulai menikmati makanannya. Sesekali matanya melirik gadis pelayan yang tadi melayani dan memperkenalkan diri sebagai Narti. Dan rupanya, gadis itu juga sudah beberapa kali melirik Wirya. Hingga satu saat, lirikan mata mereka bertemu. Wirya langsung memberi senyumannya yang teramat manis. Tapi, Narti cepat-cepat menyembunyikan wajahnya, dan berlalu dari ruangan kedai ini. Sementara Wirya hanya dapat tertawa saja di dalam hati, melihat tingkah gadis pelayan yang cukup cantik itu.

105. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Gerbang NerakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang