BAGIAN 6

341 21 0
                                    

Sudah lima hari Rangga dan Panglima Gagak Sewu berada di rumah Ki Rambulun. Dan dari rumah itu, Panglima Gagak Sewu mencari keterangan dan menghubungi teman-temannya yang masih setia pada raja mereka. Sedangkan Rangga, dengan caranya sendiri mencoba mengetahui keadaan di dalam istana. Terutama, ingin tahu tentang keadaan Raja Jenggala yang sampai saat ini belum ketahuan bagaimana nasibnya.
Seperti lima malam yang lalu, Rangga sengaja keluar mendekati bangunan Istana Kerajaan Jenggala yang kelihatan megah dan terang benderang. Tampak para prajurit berjaga-jaga di setiap sudut istana. Nyatanya penjagaan di istana ini memang ketat sekali, seakan-akan takut mendapat serangan dari luar. Dan memang, itu adalah tindakan pertama para pemberontak yang kedudukannya takut akan terguling lagi. Hingga, mereka harus melipat gandakan penjagaan di sekitar istana.
"Hm.... Bagian belakang kelihatannya tidak begitu ketat," gumam Rangga perlahan.
Lima hari memang sudah cukup bagi Rangga untuk mengetahui keadaan istana ini. Kini Pendekar Rajawali Sakti bergegas ke belakang yang berpagar tembok sangat tinggi. Bagi orang biasa, memang mustahil untuk melewati tembok yang tingginya dua kali panjang batang tombak. Tapi bagi Pendekar Rajawali Sakti, tembok yang setinggi itu bukan masalah.
Hanya sebentar Rangga mengedarkan pandangan untuk mengamati keadaan sekeliling, kemudian segera menatap ke puncak pagar tembok bagian belakang istana yang sangat tinggi ini. Dia menggumam sedikit. Dan...
"Hup!"
Ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah sangat sempurna tingkatannya. Tak heran kalau tubuhnya bagaikan segumpal kapas saat meluncur deras ke atas tembok benteng istana ini. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya menjejak bibir tembok. Cepat Rangga merundukkan tubuhnya, hingga merapat dengan bibir tembok ini, begitu terlihat dua orang berseragam prajurit melintas tepat di bawahnya.
Rangga baru mengangkat kepalanya, setelah dua orang prajurit itu lewat. Diamatinya keadaan sebentar, sampai mereka menghilang di balik dinding bangunan istana yang megah ini. Kini tak ada seorang prajurit pun yang terlihat. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun. Sungguh indah gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak di tanah, tepat dekat pohon beringin yang tumbuh subur dan lebat daunnya.
Namun belum juga kakinya bergerak, mendadak saja sebatang tombak sudah meluncur deras ke arahnya. Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kiri, hingga tombak itu lewat sedikit saja di samping tubuhnya.
"Sial...!"
Rangga jadi mengumpat kesal, begitu dari gerumbul semak dan pepohonan bermunculan orang-orang berpakaian seragam prajurit dengan tombak dan pedang terhunus. Sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah terkepung oleh tidak kurang tiga puluh orang prajurit.
"Minggir...!"
Tiba tiba saja terdengar bentakan keras yang cukup menggelegar. Maka beberapa prajurit yang berada tepat di depan Rangga bergerak menyingkir. Saat itu, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun tengah melangkah, diikuti empat orang wanita yang kelihatannya sudah berumur tiga puluh tahun. Tapi, wajah mereka masih kelihatan cantik. Malah, di punggung mereka masing-masing tersandang dua bilah pedang. Mereka berhenti, setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi dari pemuda yang mengenakan baju rompi putih ini.
"Patih Garindra...," desis Rangga langsung mengenali laki-laki yang berpakaian sangat indah itu.
"Sudah kuduga, kau pasti muncul di sini, Pendekar Rajawali Sakti. Dengan siapa kau datang...? Dengar, Rangga. Aku tidak akan gentar, walaupun kau kerahkan seluruh prajurit Karang Setra. Dan kau juga harus tahu! Setelah Kerajaan Jenggala kukuasai, tidak lama lagi Karang Setra akan kuserang," terdengar begitu congkak nada suara Patih Garindra.
"Tidak kusangka, ternyata kau biang keladi semua ini, Patih Garindra," desis Rangga, agak dingin nada suaranya.
"Ha ha ha...!" Patih Garindra tertawa terbahak-bahak, sampai bahunya terguncang.
Sedangkan empat wanita yang mendampinginya tersenyum sinis, memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot mata begitu tajam menusuk. Sedangkan Rangga mengamati orang-orang yang rapat mengepungnya lewat sudut ekor matanya. Saat itu otaknya berputar keras, mencari jalan keluar untuk terbebas dari kepungan yang cukup rapat ini.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti jadi mengeluh, karena tidak sedikit pun celah ditemukan. Hanya saja hatinya sedikit lega, karena mereka yang mengepung hanya prajurit-prajurit biasa yang berkepandaian tidak seberapa. Namun begitu. Rangga tidak ingin berbuat gegabah. Dia tidak ingin sampai melukai seorang prajurit pun. Apalagi, sampai menewaskan. Masalahnya bukan mereka yang menjadi sasaran tapi orang-orang yang ada di balik pemberontakan di Kerajaan Jenggala ini. Memang, merekalah yang sepatutnya mendapat ganjaran. Sedangkan para prajurit hanya mengikuti perintah saja, karena akan patuh pada siapa saja yang sedang berkuasa.
"Rangga, meskipun kau seorang pendekar dan Raja Karang Setra, tapi kau sudah memasuki wilayah Kerajaan Jenggala tanpa izin. Kesalahanmu tidak akan mendapat pengampunan dari Gusti Prabu. Kau pasti tahu, apa hukuman bagi orang yang masuk dalam lingkungan istana tanpa izin, bukan...? Nah, Bersiaplah menerima hukumanmu, Pendekar Rajawali Sakti," terasa begitu dingin nada suara Patih Garindra.
"Tunggu dulu...!" sentak Rangga cepat-cepat, saat melihat Patih Garindra sudah mengangkat tangannya, hendak memberi perintah.
"Apa yang kau inginkan, Rangga?"
"Aku ingin bertemu Prabu Gandaraka," ujar Rangga tegas.
"Tidak ada Prabu Gandaraka di sini, Rangga. Raja Jenggala sekarang adalah Gusti Prabu Banyugara. Dan kau tidak perlu bertemu dengannya. Kesalahanmu sudah jelas, maka harus mati di sini sekarang juga," tegas Patih Garindra.
"Hm..."
Rangga jadi tercenung beberapa saat. Sementara Patih Garindra sudah mengangkat tangannya lagi. Maka semua prajurit yang sejak tadi mengepung, langsung mengangkat senjatanya, siap menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Seraaang...!" seru Patih Garindra lantang menggelegar.
"Hiya!"
"Yeaaah...!"
Rangga memang tidak bisa mencegah lagi. Prajurit-prajurit itu sudah berlompatan menyerangnya dari segala penjuru mata angin. Maka tidak ada lagi pilihan bagi Pendekar Rajawali Sakti, selain harus melenting ke udara, menuju ke sebatang pohon beringin yang berada tidak jauh darinya. Tapi belum juga sampai ke cabang pohon itu, empat orang wanita cantik yang mengawal Patih Garindra sudah melesat cepat bagai kilat, sambil mencabut pedang masing-masing.
"Hiyaaat...!"
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Ups!"
Salah seorang langsung saja mengebutkan pedang di tangan kanannya, ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dengan gerakan manis sekali, pemuda berbaju rompi putih itu menarik kaki lebih ke atas. Sehingga, tebasan pedang wanita itu tidak sampai mengenai kedua kakinya. Dan dengan kecepatan luar biasa sekali, Rangga menghentakkan kaki kanannya.
"Yeaaah...!"
"Ikh...!"
Wanita itu jadi terpekik kaget. Maka cepat-cepat tubuhnya diputar dan berjumpalitan ke belakang dua kali untuk menghindari tendangan keras yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga segera meluruk lagi ke bawah, sebelum tiga wanita lain melancarkan serangan. Dan begitu menjejakkan kakinya, para prajurit yang berjumlah cukup banyak sudah langsung menyerang dari segala penjuru.
"Hup! Yeaaah...!"
Tidak ada pilihan lain lagi. Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dipadukan dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat pertama, Pendekar Rajawali Sakti menghajar para prajurit yang menyerangnya dari segala jurusan. Begitu cepat gerakan-gerakannya, sehingga setiap pukulan yang dilontarkan begitu sulit dihindari. Bahkan gerakan tangannya pun sukar diikuti pandangan mata biasa. Hingga seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking dan keluhan tertahan yang saling sambut.
Terlihat beberapa prajurit berjatuhan sambil merintih kesakitan. Untung saja. Rangga tidak mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, hingga tidak membuat prajurit-prajurit itu terluka parah. Namun mereka yang terkena, seakan sulit bisa cepat berdiri. Mereka kontan bergelimpangan sambil merintih menahan sakit.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Rangga tidak berhenti sampai di situ saja, melihat prajurit-prajurit lain masih terus ganas merangseknya. Dengan kecepatan tinggi sekali, Pendekar Rajawali Sakti melontarkan pukulan-pukulan dahsyat walaupun tidak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Jeritan-jeritan melengking dan keluhan tertahan pun terus terdengar saling sambut, diiringi ambruknya prajurit-prajurit. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, semua prajurit yang mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti tidak ada lagi yang sanggup berdiri. Mereka merintih dengan suara begitu memelas. Sementara, Rangga berdiri tegak di antara prajurit-prajurit yang bergelimpangan. Ditatapnya Patih Garindra yang sudah didampingi lagi oleh empat orang wanita pengawalnya dengan sinar mata yang begitu tajam.
"Hm..."
Perlahan Rangga melangkah mendekati, sampai jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi di depan patih dari Kerajaan Jenggala ini. Tampak raut wajah Patih Garindra agak memucat, melihat Rangga dengan begitu mudah menjatuhkan prajurit-prajuritnya yang memang bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti.
"Bunuh dia!" perintah Patih Garindra.
Bet!
"Hap!"
Empat wanita yang semuanya berwajah cantik dan masing-masing memegang dua bilah pedang, langsung saja berlompatan ke depan. Sementara, Patih Garindra bergegas melangkah mundur menjauh. Dan sekarang, Rangga sudah kembali terkepung oleh empat orang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun yang masih berwajah cantik itu. Mereka bergerak memutar dengan gerakan kaki perlahan, sambil memainkan kedua pedang di depan wajah.
Sedangkan Rangga hanya memperhatikan gerakan-gerakan keempat wanita itu dengan sinar mata cukup tajam tanpa berkedip sedikit pun. Dan matanya sempat memperhatikan Patih Garindra yang kini sudah berjarak pada jarak yang cukup jauh. Rangga sendiri tidak kenal keempat wanita ini. Tapi diyakini kalau mereka dari kalangan persilatan. Ini bisa dilihat dari pakaian yang dikenakan. Mereka adalah wanita-wanita yang terbiasa hidup mengembara di alam bebas, dengan segala kekerasan dan keganasannya.
"Seraaang...!" teriak Patih Garindra memberi perintah.
"Hiyaaat..!"
Belum juga lenyap teriakan Patih Garindra dari pendengaran, salah seorang wanita yang berada tepat di depan Rangga sudah melompat sambil berteriak nyaring. Kedua pedangnya langsung dikebutkan secara menyilang ke depan dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!"
Namun dengan gerakan indah sekali, Rangga melompat ke belakang dua langkah menghindari serangan wanita ini. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, seorang wanita lainnya yang berada tepat di sebelah kanan, sudah menyerang dengan sabetan pedang di tangan kiri. Begitu cepat serangannya, hingga membuat Rangga jadi terkesiap sesaat.
"Haiiit..!"
Tapi hanya sedikit saja tubuhnya mengegos, sabetan pedang itu berhasil dihindari. Dan saat yang hampir bersamaan, wanita yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat ke atas kepala. Dan saat itu juga pedangnya dikebutkan, tepat mengarah ke bagian atas kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Hiyaaat..!"
Kali ini, Rangga tidak mau lagi terus-menerus berkelit menghindar. Begitu merasakan desir angin di atas kepalanya, cepat tubuhnya dibanting ke tanah. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kaki kanannya ke atas, tepat ke perut wanita yang menyerangnya dari atas kepalanya tadi. Begitu cepat tendangannya, sehingga wanita itu tidak sempat lagi menyadari. Terlebih, dia kini berada di atas. Akibatnya, tendangan itu tepat sekali menghantam perutnya yang kosong, tidak terlindungi sama sekali.
Begkh!
"Ugkh...!"
Terdengar keluhan yang pendek dan tertahan. Tampak wanita berwajah cantik itu terpental tinggi ke atas. Sementara, Rangga bangkit berdiri dengan gerakan indah dan manis sekali. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah kembali.
"Hiyaaa...!"
Tepat di saat wanita yang berada di sebelah kirinya melakukan serangan, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Rangga menarik kakinya ke belakang sedikit. Langsung tangan kirinya dihentakkan dengan tubuh agak doyong ke belakang. Begitu cepat gerakannya, hingga wanita itu tidak dapat lagi berkelit. Maka kibasan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dadanya yang kosong tidak terlindungi.
Des!
"Akh...!"
Wanita itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memekik keras agak tertahan. Tampak darah muncrat keluar dari mulutnya, akibat pukulan yang cukup keras dari Pendekar Rajawali Sakti di dadanya. Saat itu juga, dua orang lainnya sudah berlompatan dari arah yang berlawanan sambil berteriak keras menggelegar. Namun, sedikit pun Rangga tidak terkejut. Bahkan malah berdiri tegak menanti. Dan begitu serangan dua orang wanita itu sudah dekat....
"Hap! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Rangga melenting sedikit ke atas. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, kedua kakinya dihentakkan sambil memutar tubuhnya. Begitu cepat serangannya, sehingga kedua wanita ini tidak dapat lagi menghindarinya.
Des!
Bugkh!
"Akh!"
"Ugkh...!"
Kedua wanita itu seketika berpentalan balik ke belakang. Sementara, Rangga menjejakkan kakinya kembali di tanah dengan manis dan ringan. Matanya melirik sedikit pada empat orang wanita yang bergelimpangan di tanah, sambil merintih menahan rasa sakit akibat hajarannya. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti sudah menatap tajam pada Patih Garindra. Perlahan kakinya terayun mendekati Patih Kerajaan Jenggala ini.
"Aku masih bisa menyambung hidupmu, kalau kau mau menunjukkan di mana Prabu Gandaraka ditawan," kata Rangga dengan suara dibuat begitu dingin.
"Dia sudah mati!" dengus Patih Garindra ketus.
"Jangan coba-coba mendustaiku, Patih Garindra! Aku tahu kalau kau, dan yang lain tidak membunuh Prabu Gandaraka. Dengar, Patih.... Aku tidak ada waktu bermain-main denganmu. Tunjukkan, di mana Prabu Gandaraka...?!" semakin dingin nada suara Rangga terdengar.
Patih Garindra tampak kebingungan. Dia tahu, siapa pemuda berbaju rompi putih yang kini semakin dekat saja. Rangga bukan saja Raja Karang Setra, tapi juga seorang pendekar muda yang sangat disegani dan sukar dicari tandingannya. Ilmu olah kanuragan dan kedigdayaannya begitu sulit ditandingi. Patih Garindra sadar kalau kepandaian yang dimilikinya masih jauh dibanding Pendekar Rajawali Sakti. Rangga memang sudah teramat dikenal dalam lingkungan Istana Jenggala. Karena, antara Prabu Gandaraka dan Pendekar Rajawali Sakti terjalin hubungan persahabatan yang sangat akrab.
Dan Patih Garindra juga tahu, kedatangan Rangga ke sini tidak bersama prajurit seorang pun. Dia pasti datang bukan sebagai raja, tapi sebagai seorang pendekar. Maka sudah pasti kedatangannya hendak membebaskan Prabu Gandaraka. Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Patih Garindra untuk menyelamatkan dirinya dari maut. Tapi, kecongkakannya memang sudah terkenal. Walaupun sadar tidak akan mungkin mampu menghadapi pemuda berbaju rompi putih ini, tapi tetap berusaha untuk tidak mudah menyerah begitu saja.
"Katakan, di mana Prabu Gandaraka disembunyikan, Patih...?" desis Rangga terus mendesak dengan suara terasa begitu dingin.
Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah, membuat jaraknya dengan Patih Garindra semakin bertambah dekat saja. Sedangkan Patih Garindra sendiri, perlahan-lahan mulai menggeser kakinya ke belakang. Sementara tangan kanannya yang terlihat agak bergetar, sudah menggenggam pedang di pinggangnya. Entah sudah berapa kali ludahnya ditelan sendiri, berusaha mencari kekuatan menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Semua prajurit dan empat wanita yang tadi bersamanya sudah tidak ada lagi yang sanggup berdiri. Mereka masih bergelimpangan dengan rintihan lirih menahan rasa sakit pada bagian tubuh yang terkena tendangan maupun pukulan keras Pendekar Rajawali Sakti.
Sret!
Cring!
Rangga jadi terkesiap juga melihat Patih Garindra mencabut pedangnya. Bukannya Pendekar Rajawali Sakti gentar melihat pedang yang bercahaya keperakan itu, tapi tidak menyangka kalau Patih Garindra akan berbuat nekat menghadapinya.
"Jangan berbuat bodoh, Patih. Aku tidak ingin mencelakakanmu," kata Rangga mencoba memperingatkan.
"Phuih! Aku atau kau yang mati malam ini, Rangga!" dengus Patih Garindra seraya menyemburkan ludahnya.
"Jangan Patih...," cegah Rangga lagi, sambil berhenti melangkah dan menjulurkan tangan kanannya ke depan.
"Hiyaaat...!"
Tapi Patih Garindra rupanya sudah benar-benar gelap mata. Tidak dipedulikan lagi, siapa yang dihadapinya ini. Sambil berteriak keras menggelegar, Patih Garindra langsung saja menerjang dengan pedang terhunus di tangan kanan Sementara, Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegahnya. Dia tahu Patih Kerajaan Jelaga itu merasa tidak punya pilihan lain lagi.
Wuk!
"Haiiit..!"
Manis sekali Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari tebasan pedang Patih Garindra. Maka ujung pedang itu hanya sedikit saja lewat di depan dadanya. Saat itu juga, Rangga cepat-cepat melompat ke belakang tiga langkah, mencoba menjaga jarak. Tapi baru saja membuka mulutnya hendak bicara, Patih Garindra sudah kembali melompat menyerang dengan cepat.
"Hiyaaat...!"
Bet!

***

105. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Gerbang NerakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang