BAGIAN 8

409 20 0
                                    

Perlahan Raden Banyugara menggerakkan kakinya, bergeser ke kanan menyusuri lantai ruangan Balai Sema Agung ini. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak memperhatikan setiap gerakan pemuda pemberontak ini tanpa berkedip sedikit pun. Rangga sadar, ilmu yang dimiliki Raden Banyugara tidak bisa dipandang rendah. Itu sudah dilihatnya sendiri ketika dua puluh orang prajurit di ruangan ini kontan tewas hanya sekali gebrak saja. Demikian pula pada seorang patih dan puluhan prajurit yang tewas di halaman belakang istana ini.
Tap!
Rangga menggenggam erat gagang pedang pusakanya yang selalu tersandang di punggung. Dan perlahan-lahan Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut dari warangkanya. Saat itu juga, membias cahaya biru yang begitu terang menyilaukan dari mata pedang itu.
Wut!
Terdengar hembusan angin yang begitu keras, saat Rangga mengebutkan pedangnya di depan dada. Dan kini, pedang itu tersilang lurus di depan dada. Cahaya biru yang memancar dari pedang itu membuat hati Raden Banyugara jadi terkesiap juga.
Ketangguhan Pedang Pusaka Rajawali Sakti sudah sering didengarnya. Dan tidak ada satu senjata pun di dunia ini yang bisa menandingi kedahsyatannya. Namun, Raden Banyugara sudah merasa kepalang basah. Dia tidak mungkin lagi mundur dari pertarungan yang akan berlangsung. Masalahnya, sudah tentu Rangga tidak akan melepaskannya begitu saja.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Raden Banyugara melesat sambil mengangkat pedangnya yang tergenggam dengan kedua tangannya ke atas kepala. Dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, pedangnya dihantamkan tepat ke bagian tengah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Haps! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga mengangkat pedangnya melintang di atas kepala. Akibatnya tebasan pedang Raden Banyugara tidak dapat lagi tertahan. Saat itu juga....
Trang!
"Ikh...!"
Raden Banyugara jadi tersentak kaget setengah mati, begitu pedangnya beradu dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali di udara, sebelum kakinya menjejak lantai.
"Heh...?!"
Saat itu juga, kedua bola mata Raden Banyugara jadi terbeliak lebar. Pedangnya kini hanya tinggal setengah. Buntung saat berbenturan dengan pedang yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan itu.
"Hih!"
Tring!
Raden Banyugara membuang kesal pedangnya. Matanya lalu melirik sedikit pada sebatang tombak yang tergeletak tidak seberapa jauh darinya. Cepat kakinya melangkah menghampiri tombak itu. Dan dengan sentakan ujung jari kakinya, tombak itu melayang ke atas. Lalu, tangkas sekali Raden Banyugara menangkapnya.
"Hiyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Raden Banyugara melompat sambil berteriak keras. Langsung tombak berukuran panjang itu dihunjamkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Haiiit...!"
Dengan gerakan manis sekali, Rangga menghindari hunjaman tombak. Dan begitu lewat di samping tubuhnya, cepat tangan kirinya dihentakkan ke bagian tengah tombak ini. Begitu cepat sentakan tangan kirinya, sehingga Raden Banyugara tidak sempat lagi menarik tombaknya. Dan....
Trak!
"Hup!"
Raden Banyugara cepat-cepat melompat kebelakang sejauh tiga langkah. Dengan hati kesal, dibuangnya tombak yang juga terpenggal kena tebasan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga sendiri berdiri tegak dengan pedang tersilang di depan dada.
Kini, tidak ada lagi senjata yang bisa diandalkan Raden Banyugara. Pedang pusaka yang tergenggam di tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti memang terlalu tangguh untuk dilawan. Raden Banyugara seperti baru tersadar. Dia tahu, Rangga tidak akan menggunakan pedangnya kalau lawan yang dihadapi juga tidak menggunakan senjata. Menyadari akan watak ksatria Pendekar Rajawali Sakti, Raden Banyugara segera bersiap menggunakan tangan kosong.
"Hm...," Rangga menggumam sedikit, melihat Raden Banyugara membuka jurus tangan kosong.
Cring!
Maka dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Dan seketika itu juga, ruangan yang semula terang berkilau oleh cahaya dari pedang itu, jadi kembali seperti semula. Kini ruangan itu hanya diterangi cahaya lampu yang terpancang disetiap sudut ruangan ini.
"Hiyaaat..!"
Raden Banyugara segera melompat menyerang, begitu Rangga memasukkan senjatanya. Satu pukulan keras menggeledek dilepaskan, tepat mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan indah sekali, Rangga meliukkan tubuhnya menghindari pukulan keras bertenaga dalam tinggi lawannya.
Dan tanpa diduga sama sekali, Raden Banyugara melenting ke atas, lalu berputaran sekali tepat di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga, tangan kanannya mengibas cepat ke punggung, hendak meraih gagang pedang di punggung Rangga.
"Setan! Hih...!"
Rangga jadi kaget setengah mati, tidak menyangka kalau Raden Banyugara bermaksud merebut pedangnya. Maka dengan cepat Pendekar Rajawati Sakti memutar tubuhnya sambil meliuk ke kanan, hingga tubuhnya miring. Dan saat itu juga tangan kanannya dihentakkan, memberi satu pukulan cepat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Yeaaah...!"
"Hups!"
Raden Banyugara yang gagal mengambil pedang Pendekar Rajawali Sakti, cepat-cepat melenting tinggi-tinggi ke udara. Dan dengan manis sekali kakinya menjejak tanah, sebelum Rangga bisa memutar tubuh. Lalu cepat sekali pemuda itu menghentakkan kaki kanan, memberi satu tendangan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Haiiit!"
Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan tubuhnya, tendangan Raden Banyugara hanya menyambar angin kosong. Saat itu juga, Rangga menghentakkan kakinya ke belakang, tanpa membalikkan tubuh sedikit pun. Begitu cepat sentakan kakinya, membuat Raden Banyugara tidak sempat lagi menghindari. Terlebih lagi, dia juga belum sempat menarik kakinya yang terhentak ke depan.
Diegkh!
"Akh...!"
Raden Banyugara jadi terpekik, begitu telapak kaki Rangga tepat menghantam dadanya. Pemuda itu kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya. Tampak darah kental menetes keluar dari sudut bibirnya. Begitu keras tendangan yang dilepaskan Rangga, hingga membuat tarikan napas Raden Banyugara jadi tersendat.
"Hap!"
Raden Banyugara cepat-cepat melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Perlahan disekanya darah di sudut bibir dengan punggung tangan. Tampak sorot matanya begitu tajam, memancar lurus bagai hendak menembus dua bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak menanti sambil melipat kedua tangan didepan dada.
"Phuih!"
Raden Banyugara menyemburkan ludah yang bercampur darah. Disekanya kembali sisa darah di bibir dengan punggung tangan, lalu perlahan kakinya bergeser ke kanan. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak memperhatikan gerakan kaki lawannya dengan mata tidak berkedip sedikit pun juga.
"Sebaiknya kau menyerah saja, Banyugara. Tidak ada gunanya terus bertahan," kata Rangga mencoba membujuk.
"Phuih! Aku lebih baik mati daripada menyerah, Rangga!" dengus Raden Banyugara seraya menyemburkan ludahnya.
"Kau harus menyadari, tidak ada seorang pun yang berdiri di belakangmu, Banyugara. Menyerahlah! Jangan mempersulit dirimu lebih parah lagi," kata Rangga lagi, terus membujuk.
"Jangan banyak omong kau, Rangga! Kau atau aku yang mati di sini!" bentak Raden Banyugara garang.
"Hm...," Rangga jadi menggumam kecil.
Pendekar Rajawali Sakti tahu, Raden Banyugara tidak akan bisa dibujuk lagi. Memang tidak ada pilihan lain lagi baginya Raden Banyugara lebih memilih mati di dalam pertarungan daripada harus menyerahkan diri dan dihukum mati sebagai pemberontak Walaupun sudah melakukan pemberontakan, memang Raden Banyugara akan tetap merasa terhormat kalau mati dalam pertarungan. Masalahnya, dia akan menjadi lecehan kalau mati di tiang gantungan, jika menyerah.
Kali ini, Rangga menghadapi pilihan yang sangat sulit. Di dalam hati kecilnya, dia tidak ingin sampai Raden Banyugara terbunuh di tangannya. Tapi sikap lawannya ini memang tidak bisa lagi dihindari. Dan memang harus diakui kalau sikap yang diambil Raden Banyugara adalah demi kehormatannya sendiri. Apa pun yang terjadi, Raden Banyugara tetap akan bertahan sampai menemui ajal di tangan lawan.
"Hhh...!"
Rangga menghembuskan napas panjang-panjang. Terasa begitu berat tarikan napasnya. Matanya melirik sedikit pada Prabu Gandaraka yang masih tetap berdiri di ambang pintu, memperhatikan dua pemuda yang berdiri saling berhadapan ini. Tidak berapa lama, perhatian Rangga kembali tertuju pada Raden Banyugara yang sudah bergerak menggeser lagi ke kanan perlahan-lahan. Kedua tangannya bergerak-gerak diikuti gerakan tubuh yang indah membuka jurus, sambil mencari peluang untuk melancarkan serangan. Sedangkan Rangga sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Raden Banyugara menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya melesat gumpalan asap hitam yang meluncur begitu cepat bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Rangga melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali menghindari gumpalan asap hitam yang langsung terpecah menyebar menjadi gumpalan-gumpalan kecil yang menyerangnya dengan kecepatan sangat tinggi.
Dan Pendekar Rajawali Sakti kembali menjejakkan kakinya di lantai, setelah gumpalan-gumpalan asap hitam itu lewat. Saat itu juga, terdengar suara-suara ledakan keras menggelegar dari belakang. Tampak dinding yang ada di belakang Pendekar Rajawali Sakti jebol terlanda gumpalan hitam ini.
"Gila...!" desis Rangga terkejut.
Sungguh tidak disangka kalau gumpalan asap hitam itu sangat dahsyat. Akibatnya, dinding istana yang sangat tebal itu hancur berkeping keping, menimbulkan kepulan debu yang memenuhi ruangan ini. Rangga cepat-cepat melompat ke belakang tiga tindak, untuk menjaga jarak dari lawannya.
"Hap!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Dan tubuhnya langsung bergerak ke kanan, lalu dengan cepat ditarik kekiri hingga doyong hampir jatuh. Dan perlahan tubuhnya bergerak tegak. Dan kini kedua kakinya terentang lebar ke samping. Saat itu juga, dari kedua telapak tangan yang merapat di depan dada itu terlihat cahaya biru menyemburat bagai hendak keluar.
Sementara Raden Banyugara sudah kembali bersiap melancarkan serangan dahsyatnya yang disebut aji 'Tapak Dewa Hitam'. Sebuah ilmu kesaktian yang cukup dahsyat, hingga membuat Rangga terpaksa harus mengerahkan aji "Cakra Buana Sukma'.
"Hiyaaa...!"
Tepat di saat Raden Banyugara menghentakkan kedua tangannya ke depan, saat itu juga Rangga menghentakkan tangannya ke depan sambil berteriak keras menggelegar bagai ledakan guntur membelah angkasa.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Bersamaan dengan melesatnya gumpalan asap hitam dari kedua telapak tangan Raden Banyugara, saat itu juga dari kedua telapak tangan Rangga yang terbuka dan menjulur ke depan, melesat cahaya biru yang sangat terang menyilaukan mata. Seketika cahaya biru berkilauan itu langsung menghantam gumpalan asap hitam.
Glarrr!
Satu ledakan keras menggelegar terdengar begitu mengejutkan. Begitu kerasnya, hingga membuat seluruh dinding dan atap bangunan istana ini jadi bergetar bagai diguncang gempa.
"Yeaaah...!"
Rangga cepat-cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan, membuat cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangannya terus meluruk deras ke arah Raden Banyugara. Pemuda itu kontan terbeliak lebar. Tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar. Dan memang belum juga berbuat sesuatu, cahaya biru itu sudah menghantam keras tubuhnya.
"Akh...!"
Raden Banyugara jadi terpekik, dan kontan terdorong ke belakang sejauh lima langkah. Tapi, dia tidak sampai jatuh ke lantai. Sementara, seluruh tubuhnya sudah terselubung cahaya biru yang terus memancar semakin pekat menggumpal dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aaakh...!"
Raden Banyugara memekik keras, sambil menggeliat-geliat di dalam selubung cahaya biru yang semakin menggumpal menyelimuti seluruh tubuhnya. Sama sekali tidak disadari kalau aji 'Cakra Buana Sukma yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti malah menyedot kekuatannya.
Semakin keras Raden Banyugara mengerahkan tenaga untuk keluar dari selubung cahaya biru yang menggumpal menyelimuti tubuhnya, semakin deras pula kekuatannya terbuang sia-sia. Namun semua itu sama sekali tidak disadari. Malah semakin dahsyat seluruh kekuatannya dikerahkan untuk bisa terlepas dari gumpalan cahaya biru ini.
"Hih! Yeaaah..!"
Rangga tiba-tiba saja berteriak keras, sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan.
"Aaakh...!"
Raden Banyugara terpekik. Dan seketika itu juga tubuhnya terpental ke belakang, sejauh dua batang tombak. Pemuda itu bergulingan beberapa kali di lantai istana yang licin dan keras berkilatan ini. Gulingan tubuh Raden Banyugara baru berhenti, setelah punggungnya menghantam dinding hingga seluruh ruangan ini jadi bergetar.
"Ugkh! Hoeeekh....'"
Raden Banyugara langsung memuntahkan darah kental berwarna agak kehitaman. Dia berusaha bangkit berdiri, tapi seluruh tenaganya bagai terkuras habis. Dirasakannya seluruh tubuhnya jadi lemah, tidak bisa digerakkan lagi. Sementara, Rangga sudah melangkah menghampiri.
"Ugkh...!"
Raden Banyugara berusaha merangkak, mendekati sebilah pedang yang tergeletak tidak jauh darinya. Belum juga Rangga mendekat, Raden Banyugara sudah bisa meraih pedang itu. Dan dengan sisa kekuatan yang ada....
"Hih!"
"Eh?! Jangan...!"
Jleb!
"Hegkh...!"
Rangga jadi tersentak setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau Raden Banyugara akan berbuat senekat itu. Jantungnya sendiri dihunjamkan dengan pedang. Darah langsung muncrat keluar dari dada kirinya yang tertembus pedang, hingga ujungnya menyembul keluar dari punggung. Saat itu juga Raden Banyugara menggeletak dengan nyawa melayang dari tubuh.
Sementara, Rangga hanya bisa berdiri mematung memandangi. Benar-benar disesalinya tindakan Raden Banyugara. Padahal, tadi ajiannya sengaja tidak dituntaskan, hingga pemuda itu masih bisa hidup dan bergerak. Tapi, rupanya Raden Banyugara sudah merasa tidak ada gunanya lagi hidup dengan kelumpuhan yang diderita. Hidupnya sendiri diakhiri dengan pedang yang dihunjamkan ke dadanya.
"Hhh...!"
Rangga menghembuskan napas panjang. Tubuhnya diputar berbalik, dan melangkah menghampiri Prabu Gandaraka yang masih tetap berdiri di ambang pintu. Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan Raja Jenggala.
"Aku akan kembali ke Karang Setra, memberi tahu semua ini pada Putri Arum Winasih," kata Rangga langsung.
"Tidak menunggu besok pagi saja, Rangga?"
Rangga hanya tersenyum saja, dan terus saja melangkah melewati Raja Jenggala ini. Tapi baru melewati beberapa langkah, ayunan kakinya sudah terhenti lagi. Dan kepalanya diputar sedikit ke belakang.
"Paman Panglima Gagak Sewu ada di sini. Mungkin dia ada di rumah sahabatnya yang bernama Ki Rambulun," kata Rangga, memberi tahu.
Dan belum juga Prabu Gandaraka bisa membuka suara, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat cepat. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Hingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak berbekas lagi. Sementara Prabu Gandaraka masih tetap berdiri mematung, memandang ke arah kepergian Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mengembalikan tahta Jenggala padanya.
"Kau benar-benar seorang pendekar ksatria, Rangga. Mudah-mudahan sang Hyang Widhi selalu bersamamu," desah Prabu Gandaraka perlahan.

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 105. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Gerbang Neraka 🎉
105. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Gerbang NerakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang