"Woy! Andin, cepet kaga. Lima detik nggak sampai sini abang tinggal. Satu... du-"
"Iya, Astaghfirullah. Sabar kenapa sih?!" Dumel Andin, sebelah tangannya lagi benerin sepatu yang baru dipakai sebelah.
"Buset, lo kata gue nggak sabar? Itung noh, udah berapa menit gue nungguin lo. Sebagai abang gue nih udah jadi abang yang baik ngerti?" Arman melotot tak terima saat bibir tipis si adek ngelabak nggak tau malu.
"Iye, dah cepet." Ucap Andin menyuruh abangnya jalan sambil berpegangan pada ujung jaket abangnya.
"Iya, nyonya." Ucap Arman sarkas.
Andin hanya tertawa geli mendengar balasan abangnya.
Nggak sampai tujuh menit motor matic milik abang Andin sudah berhenti tepat di depan gerbang SMA Nusa, Andin turun, salim dan nggak lupa tangannya tetap menggantung di udara sambil menaik turunkan alisnya.
"Nggak, nggak ada!"
"Ehhmm" Andin cemberut tangannya masih setia menggantung di udara.
"Rese lo ndin, abang baru kuliah aja udah lo porotin, apalagi ntar kerja." Meski begitu Arman tetap mengeluarkan selembar uang berwarna hijau untuk adiknya.
"Lah?!" Andin hendak protes, tapi motor matic abangnya udah hilang karena di gaspol sama pemiliknya.
"Ngeselin itu Arman maulana!" Andin menghentakkan kakinya dan mendumel sebal, walau begitu selembar uang dari abangnya tadi tetap ia masukkan ke seragam sekolahnya dengan senang hati. Lumayan tambah beli skincare.
"Ndin!"
Merasa terpanggil Andin menengok ke samping kanan, dan disana sedang berdiri sosok yang membuat Andin sudah bosan melihatnya, tapi kadang kangen juga. Belinda, sahabatnya dari zaman dia pindah ke komplek perumahan. Baru SMP kelas 2 sih, tapi ngelihat wajah Belinda setiap hari juga bisa buat Andin bosan kuadrat. Nggak di rumah, nggak di sekolah muka Belinda terus.
"Lo lagi."
"Eh, gitu ya lo sekarang sama gue. Tumben dateng siang. Pr lo dah kelar?" Tanya Belin
"He? Emang ada Pr?" Mata Andin kaget terbelalak.
"Nggak." Belinda nyengir kuda dan segera lari dari zona merah berbahaya di sekitar Andin.
Andin diam, sejauh ini dia diam. Masih pagi, jadi terlalu sia-sia meladeni makhluk kurang ajar seperti Belin, bisa-bisa aura kecantikannya pagi ini hilang memudar. Ok stop.
Andin pergi ke kelasnya, menyusul si curut Belin yang sudah ngacir duluan, dan di sepanjang jalan menuju kelasnya. Koridor ramai sekali untuk ukuran Andin yang biasa datang pagi dimana saat itu suasana koridor pasti sepi, paling-paling ada Mang Toyib yang lagi nyapu halaman. Udah itu aja. Jadi waktu jalan pagi ini Andin kaget, agak kaget sebenarnya.
Ya, walaupun semua yang bergerombol itu teman seangkatan Andin yang bisa dipastikan saling kenal tapi nggak deket. Ngerti maksudnya kan? Saat lo kenal sama nama orang tapi nggak terlalu klop, begitulah intinya. Satu kelas lagi kaki Andin udah siap masuk ke kelasnya. Dan begitu kakinya masuk kelas, seseorang yang tubuhnya keras pake banget, menurut Andin, dengan seenaknya nabrak Andin dan berhasil menjatuhkan Andin di kerasnya keramik sekolah.
Andin mendongak demi melihat siapa yang sudah menabraknya. Niat hati mau marah, Andin hilangkan karena melihat siapa yang barusan menabraknya. Gara. Segara Nugroho, tetangga kelas Andin yang menurut Andin ganteng, pake banget. Jadinya Andin harus akting kalem.
"Eh, sorry. Gue yang salah." Ucap Andin lemah lembut, ralat lemah yang dibuat-buat lembut.
Dan akhirnya seorang Segara Nugroho yang ganteng itu mengulurkan tangannya, membuat binar dimata seorang Andin. Tapi Andin merasa ada yang salah ketika tangan Gara melewatinya dan ternyata mengambil gulungan kertas karton dibelakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CONNECTION
Teen FictionAndin adalah Andin. Bukan sekedar Andin biasa, kalau kata orang Andin itu ceria dan humble. Tapi penakut. Cicak, gelap. Andin nggak suka itu semua, tapi Andin paling suka coklat, gulali, dan semua yang manis-manis. Termasuk Gara, iya. Gara temen sea...