Sepuluh menit sebelum banjir tiba, seekor kucing hitam memasuki gang pertama kompleks perumahan dengan langkah tergesa. Semalam ketika ia melintas di mulut gang itu, ia melihat seekor kucing betina belang tiga menatapnya penuh cinta dari balik tong sampah. Seekor kucing betina baru. Entah datang dari mana. Belum pernah ia melihat kucing itu selama lima tahun tinggal di kompleks perumahan itu. Melihat kucing itu hatinya berdebar. Namun karena teramat lelah sehabis berkelahi dengan kucing berbulu emas, ia mengabaikannya dan berjanji pada diri sendiri akan mengunjunginya lagi dan mengajaknya bercinta.
Delapan menit sebelum banjir tiba, kucing hitam itu mendapati gang itu telah sepi. Hanya tumpukan sampah organik dan non organik mengitari tong. Kucing betina belang tiga yang dilihatnya semalam di balik tong sampah tak kelihatan. Ke manakah pujaan hatinya pergi? Apakah telah menyelamatkan diri dari banjir? Ia kemudian berjalan gontai menuju mulut gang. Tak lupa ia mengencingi tiang listrik sebagai tanda gang itu adalah daerah teritorinya.
Matanya tajam menyapu jalanan. Siap tahu kucing betina yang dilihatnya semalam sedang berkeliaran mencari makan. Tapi ia tak menemukannya. Hanya orang-orang yang sibuk mengangkut barang ke atas loteng. Meja, kursi, lemari, kulkas, televisi, kompor gas, dan entah apa lagi. Air sudah menggenangi kompleks perumahan. Orang-orang yang rumahnya tak punya loteng mulai mengumpulkan barang-barang dalam ruang tengah lalu menumpuknya seperti membangun menara Eiffel. Mereka kemudian mengikatnya pada palang pintu dengan tali. Air di selokan mulai meluap pelan-pelan. Genangan di mana-mana.
“Untuk apa diikat seperti itu?” tanya seorang anak pada bapaknya.
“Agar tak terseret arus,” ujar bapaknya. “Ayo, lekas mengungsi. Banjir besar akan datang sebentar lagi,” lanjut bapak itu sambil mengunci pintu rumahnya lalu menggendong anaknya menjauh dari kompleks perumahan.
Ia benar-benar bersyukur menjadi seekor kucing. Tak perlu pusing memikirkan harta benda saat banjir datang melanda. Yang ia perlukan hanya tenaga dan kelincahan untuk melompat ke tempat yang lebih tinggi. Menyelamatkan diri agar tak terseret arus. Manusia terlalu banyak maunya. Terlalu ingin punya segalanya, menumpuk harta dengan merusak apa saja.
Tujuh menit sebelum banjir tiba, kucing hitam itu berlari menyusuri gang demi gang. Pada gang ke tujuh ia melompati tandon air kemudian melompat ke atas genting sebuah rumah. Air sudah setinggi mata kaki. Ia masih penasaran dengan kucing betina belang tiga yang ia lihat semalam. Kucing yang cantik dan memesona. Matanya biru sebiru lautan. Tubuhnya dipenuh bulu berwarna kuning, cokelat, dan hitam. Mirip peta dunia. Berahinya timbul. Ia ingin bercinta dengan kucing betina itu. Udara begitu dingin. Awan menggumpal memperkelam pagi. Memperkelam hati yang sepi. Ah, tak ada salahnya membersihkan diri, batinnya. Ia kemudian merebahkan tubuhnya dan mejilati bulu-bulunya. Berharap ketiga bertemu pujaan hatinya dan bercinta tubuhnya begitu bersih, berkilau dan gagah.
Lima menit sebelum banjir tiba, guntur menggelegar. Ia kaget dan melompat ke genting rumah yang lain. Turun ke sebuah loteng dan berlindung. Tak disangka di loteng itu ia bertemu dengan kucing berbulu emas yang semalam berkelahi dengannya. Keduanya saling mengeong, kembali menantang duel.
“Pergi sana! Ini wilayahku,” teriak kucing berbulu emas.
“Enak saja. suasana begini masih mikir wilayah. Semua tempat aman adalah wilayah semua mahkluk saat bencana. Tak usah egois,” si kucing hitam menimpali.
“Pergi!”
“Tidak!”
“Pergi!”
“Tidak!”
Suara keduanya begitu berisik. Seorang anak kecil melempari keduanya dengan batu dan membuat keduanya melompat ke atas genteng dan berlarian berlawanan arah. Kucing hitam ke kanan. Si kucing berbulu emas ke kiri.