29. Ada Apa dengan Gabe?

328 18 1
                                    

"Vania?"

Zilva memutuskan untuk menoleh. Matanya menangkap sesosok tampan dengan wajah bule dan berambut sedikit pirang berdiri menatapnya sendu.

"Gabe? Oh iya, ada ap―"

Dengan tiba-tiba Gabe bersimpuh dan memeluk perut Zilva. Gadis gendut yang tak tahu apa-apa itu hanya bisa mengangkat kedua tangannya di atas kepala karena terkejut. Tanpa diduga, laki-laki tampan itu menangis di perut Zilva.

"Vania, tolong aku. Aku―aku―aku―"

Zilva benar-benar tak tega melihat laki-laki yang memeluknya itu. Bahkan ia bisa merasakan tangan Gabe yang melingkar di perutnya gemetar. Ia mengembuskan napas pelan agar tenang.

"Tenang dulu, ya?" Mata Zilva menangkap kursi tunggu yang dapat menampung tiga orang. "Kita duduk dulu di situ, baru kamu bisa ceritain apa pun."

Gabe mendongak menatap sendu wajah bulat Zilva. "Apa pun?"

Alis Zilva terangkat bingung, namun sedetik kemudian ia mengangguk. "Iya, apa pun."

Gabe dengan berat memutuskan untuk berdiri dan duduk di kursi. Zilva mengikutinya di belakang kemudian ikut mendudukkan diri.

"Sekarang kamu boleh cerita."

"Vania, tolong aku!" Gabe dengan tiba-tiba kembali memeluk Zilva. "Tolong, jangan marahi aku. Cukup mama, kamu jangan."

Tangan Zilva terangkat dan mengusap rambut halus milik Gabe. "Gak ada alasan untuk aku marah ke kamu."

"Tapi―tapi―" Gabe melepaskan pelukannya dan menggenggam kedua tangan Zilva. Ia menarik pelan tangan kiri Zilva dan ia taruh di pipi kanannya. "Aku benar-benar butuh kamu, Vania."

Zilva berusaha untuk sabar menghadapi Gabe. Sebenarnya ia gemas melihat tingkah Gabe yang terlalu bertele-tele. Ia juga kaget melihat Gabe yang menangis tersedu-sedu seperti itu.

"Vania, kamu adalah penenangku, jika aku menceritakan hal ini, kumohon berjanjilah untuk tidak memarahiku." Gabe menatapnya memohon.

Zilva menatap ragu.

"Kamu ngapain kayak gitu, Gabe?" tanya Levi yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar inap. Sebelumnya ia penasaran karena ada suara gaduh di depan kamar, ternyata Gabe biang keroknya.

"Baiklah, aku akan berusaha untuk tidak marah. Sekarang kamu boleh cerita."

Gabe menggenggam tangan Zilva erat, takut jika gadis itu marah. "Kemarin malam, aku disuruh mama pergi ke rumah temannya buat ngambil anting yang jatuh karena waktu arisan mama gak sengaja jatuhin. Ketika perjalanan pulang, adikku nelpon dan nangis ketakutan. Dengan buru-buru aku menambah kecepatan mobil yang kukendarai, takut terjadi apa-apa dengan adik kecilku. Lalu ketika aku di jalan kecil itu, aku―" Air mata Gabe turun lagi. Ia tak sanggup jika harus mendengar kata-kata kasar dari gadis di depannya.

Zilva merasakan tangan dan tubuh Gabe bergetar. Tangannya terulur untuk mengusap kedua pipi laki-laki keturunan bule itu. "Pelan-pelan aja, aku dengerin, kok."

"Gabe, kamu kenapa nangis di depan Zilva kayak gitu, sih? Cengeng banget," sindir Levi.

"Kak Levi diam aja deh. Gak usah ikut-ikut." Zilva menatap Levi tak suka. Kemudian tatapannya kembali ke Gabe. "Kamu boleh lanjutin."

Gabe menatap Zilva sendu. Manik cokelat terangnya terpaku pada mata hitam Zilva. Ia merasa damai melihat wajah bulat itu. Darahnya berdesir hangat. Ia merasa tenang, bagai disuntik obat penenang diantara pembuluh darahnya.

Zilva tersenyum canggung ketika dirinya ditatap seperti itu. Ia memiringkan kepalanya ke kanan dengan polos.

Gabe mengembuskan napas kasar sebelum melanjutkan. "Ketika aku di jalanan kecil, ada truk pengangkut barang dari arah lawan, aku memutuskan untuk menepi dan aku nggak tahu kalau ada motor di samping mobilku, dan akhirnya ... dia kecelakaan. Itu semua karena aku. Korban itu adalah ... Ruth, sahabatmu." Gabe kembali bersimpuh di hadapan Zilva. "Tolong maafkan aku, Vania. Aku benar-benar nggak tahu kalau ada pengendara motor di samping mobilku. Aku buru-buru karena takut adikku―"

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang