4. Sosok Misterius Sang Penyapu Hutan

558 51 8
                                    

SEBELUM MEMBACA JANGAN LUPA BACA DOA !!!

-
-
-

   "Kayaknya lo salah Sin. Liat deh... Kakinya masih napak di tanah. " Ujar Mila. Pandangannya masih belum lepas dari perempuan paruh baya di seberang sana.

   "Terus ngapain malem malem gini ada orang nyapuin hutan ? "

Mila mengangkat bahunya, pertanda ia tidak tahu.

   "Daripada kalian penasaran, mending kita samperin orang itu. Siapa tau dia liat Silvi. " Saran Rianda membuat yang lainnya melotot, terkecuali Dimas. Laki laki itu hanya memasang wajah datarnya.

   "Lo serius Rin ? " Ujar Tyo.

   "Ini malem malem loh Rin, di tengah hutan. Lo ngga curiga ? " Suara Tyo terdengar serius.

   "Ya daripada kalian penasaran kan, itu manusia apa setan. Mending kita samperin langsung sekalian kita tanya dia liat Silvi apa enggak. " Jelas Rianda.

   "Gue setuju sama Rianda. Ngga ada salahnya kan kita nyoba. " Ujar Dimas.

Ke enam remaja itu menatap Rianda dan Dimas dengan tatapan tak percaya.

Rianda dan Dimas menghampiri perempuan paruh baya tersebut. Sementara yang lain, memilih menunggu di tempat yang beberapa saat lalu mereka gunakan untuk berdebat. Bahkan beberapa dari mereka ada yang sudah ber ancang ancang untuk lari ketika apa yang mereka takutkan terjadi. Macam macam pikiran negatif tengah bersarang di otak mereka.

Sebenarnya ada sedikit rasa was was di benak Dimas. Namun ia tepis jauh jauh saat ia melihat keberanian gadis di sampingnya.

   "Permisi bu..." Sapa Rianda. Jaraknya dengan perempuan tersebut hanya terpaut  beberapa langkah.

Perempuan paruh baya tersebut menoleh. Garis garis keriput rupanya sudah mendominasi di wajahnya. Rambut putihnya ia sanggul dengan sempurna. 

Ke enam remaja yang sedari tadi mengintip di balik pohon akhirnya bisa bernafas lega. Ternyata berbagai hal buruk yang sedari tadi ada di otak mereka tidak terjadi.

   "Ada apa ?" Suaranya terdengar serak. Mungkin karena usianya yang sudah lanjut. Ia menatap Rianda dan Dimas dari ujung kaki hingga ujung kepala, membuat keduanya merasa canggung.

   "Maaf bu. " Rianda sedikit menjeda kata katanya. Ia tidak berani menatap perempuan di hadapannya kini, sorot mata perempuan itu begitu tajam.

   "Apa ibu melihat teman kami ? Perempuan. Tingginya kira kira seperti saya. Rambutnya pirang  sebahu, dan ada poninya. " Jelas Rianda dengan sopan.

Perempuan itu tidak langsung menjawab. Dahinya terlihat mengkerut. Seperti tengah memikirkan sesuatu. Pandangannya tertuju ke arah lain.

   "Ikut denganku. " Perempuan itu menjatuhkan sapu lidinya. Kemudian berjalan ke arah hutan yang lebih dalam. Hutan itu terlihat lebih gelap. Pepohonannya pun jauh lebih rindang.

Rianda dan Dimas melambaikan tangannya pada ke enam remaja yang sedari tadi asyik mengintip di balik pohon. Kedua remaja itu memberi isyarat bahwa semuanya baik baik saja.

***

Ke delapan remaja itu tiba di sebuah rumah yang bahkan lebih layak disebut gubuk milik perempuan paruh baya tadi. Rumahnya tak terawat. Banyak tumbuhan yang bahkan menjalar sampai ke atapnya. Membuat rumah tersebut memiliki kesan yang menyeramkan. Letaknya pun terpencil, hanya satu satunya di tengah hutan belantara seperti ini. Jauh dari rumah rumah lain di desa petilasan.

   "Serem banget rumahnya. " Bisik Nadia di telinga Rianda membuat si empu-nya menoleh sebentar lalu kembali menatap rumah di depannya.

Dua buah lentera menjadi sumber cahaya satu satunya di dalam rumah tersebut. Namun masih dapat memperlihatkan kondisi di dalamnya. Peralatan memasak yang sudah usang dan berwarna hitam menyambut kedatangan ke delapan remaja tersebut.

Tak jauh dari sana juga terdapat tempat tidur kecil yang sudah reot dengan beralaskan tikar berwarna coklat. Di atasnya ada seorang gadis  yang tengah terduduk sambil memeluk lututnya.

   "Silvi ! " Ucap Mila kemudian berhambur memeluk gadis itu, disusul Rianda, Sindy dan Nadia. Sementara ke empat cowok itu hanya berdiri di samping tempat tidur.

Silvi diam tak bergeming. Raut wajah pucatnya menunjukkan bahwa gadis itu tengah ketakutan.

   "Emak menemukan gadis ini pingsan di tengah hutan tadi. " Ujar perempuan paruh baya itu sambil menyodorkan segelas air untuk Silvi.

Silvi segera mengambil gelas berisi air itu dan meneguknya hingga tandas.

   "Sedang apa kalian berada di tengah hutan belantara seperti ini ? " Tanya perempuan itu sambil menatap ke empat pria yang sejak tadi berdiri.

   "Kami mendirikan perkemahan tak jauh dari sini, bu. " Jawab Dimas.

   "Hutan ini berbahaya. Emak sarankan kalian segera berkemas besok pagi dan pergi dari hutan ini secepatnya. "

   "Malam ini kalian boleh menginap di rumah emak. " Saran perempuan tersebut.

Dimas menatap teman temannya satu persatu. Haruskah ia mengakhiri perkemahan ini begitu saja, sedangkan liburan mereka bahkan belum dimulai.

   Cowok itu menghela nafasnya, "baik, bu. Besok pagi beberapa dari kami akan mengemasi peralatan yang masih tertinggal di tenda. "

Yang lain hanya bisa memaklumi keputusan Dimas. Bagaimanapun, dia adalah ketua tim. Mereka juga melihat kondisi Silvi yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan liburan kali ini.

   "Panggil saya Mak Roro. " Jelas perempuan paruh baya yang kini berjalan ke arah pintu kemudian menutupnya.

Berbagai pertanyaan mengenai Mak Roro berputar di benak ke sembilan remaja itu. Namun mereka enggan untuk bertanya. Lebih tepatnya mereka takut. Apalagi melihat pembawaan Mak Roro yang terbilang dingin. Membuat kesembilan remaja itu berpikir dua kali untuk menanyakannya.

Rianda memerintahkan Silvi agar memposisikan dirinya menjadi berbaring supaya gadis itu bisa beristirahat. Sementara yang lain, mencari posisi yang pas untuk sekedar melemaskan otot mereka.

Dengan telaten Rianda mengelus puncak kepala Silvi hingga gadis itu terlelap. Kemudian ikut berbaring di sampingnya, mata lentiknya ia pejamkan hingga lama kelamaan ia pun ikut tertidur di samping Silvi.

-
-
-
-
-

Sebelum kalian meninggalkan halaman ini, ada baiknya kalian tekan tombol vote ( ⭐)  dan tinggalkan coment kalian di kolom komentar  agar aku makin semangat buat nulis.

RONGGENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang