15 September 2001, Tuhan menghadirkan sosoknya menjadi adikku yang kedua setelah Mardwin, namanya Naomy. dia yang tercantik diantara kami berempat, wanita putri-putri ibuku. sebelumnya aku ingin kalian tahu, kami enam bersaudara. aku sisulung yang akan menceritakan kisah adikku ini, naomy.
namaku Sry, tapi orang-orang menyapaku Riry, adikku yang dibawahku namanya Mardwin, kemudian Naomy, dibawah naomy ada Ledi, dibawah ledi ada Riska, dan sibungsu kami deo. empat perempuan dan dua pria. aku tidak pernah menyesal dilahirkan sebagai kakak diantara adik-adikku, ayah ibuku juga bukan orang berada, ayahku hanya guru SD swasta, dan ibuku hanya pedagang kecil biasa dipasaran. tetapi terkadang aku ingin bertanya kepada Tuhan, bagaimana bisa ia memberi adikku Naomi penderitaan yang begitu berat?
dia, si gadis nomor dua setelah aku. Naomy yang tercantik, lesung pipi dengan gigi gingsulnya, tiba-tiba saja demam tinggi dipagi hari ketika kami bersiap diri untuk berangkat sekolah.
"Naomy nggak usah sekolah ya? istirahat aja dirumah" pinta ibuku yang tengah menyiapkan sarapan didapur, dan Naomy yang duduk lesu dikursi meja makan.
"iya ma" jawabnya lesu dan beranjak melenggang menuju kamar, aku yang baru saja selesai mandi menuju kamar untuk berganti pakaian, namun betapa terkejutnya aku melihat adikku yang sudah kejang-kejang dengan busa dimulutnya dan matanya yang hanya menampakkan bagian putihnya saja, aku panik bukan kepalang.
"MAAAAHHH, MAMAAAAA ADIIIKK MAAA" aku berteriak sekuat mungking memanggil ibuku, wanita paruh baya itu datang tergopoh, dan menangis memanggil ayahku.
"KENAPA????? ADA APA???" ayah juga kaget bukan kepalang melihat kondisi adikku, dan segera meraihnya dari gendongan ibu, mereka bergegas pergi membawanya berobat, meninggalkan aku bersama ketiga adikku yang masih kecil-kecil kala itu. kejadian itu sewaktu adikku Naomy masih duduk dibangku SD kelas dua, aku menangis memeluk ketiga adikku, dan satunya lagi kala itu masih dikandungan ibuku.
sejak kecil, bukan sekali dua kali Naomy dilarikan kerumah sakit karena kejadian yang sama, tetapi hari itu dia benar-benar kesakitan hingga mengeluarkan busa dari mulutnya. sejak hari itu, ibuku mengangkat anak pamanku yang sudah meninggal menjadi anaknya, jadi aku punya kakak. dalam hidupku aku bersyukur selalu diberi dan ditambah lagi keluargaku.
"ma, gimana keadaan naomy? dia baik-baik ajakan?" aku bertanya pada ibuku yang baru saja pulang dari rumah sakit, dengan adikku yang sudah ia bawa pulang kerumah dalam gendongannya.
"dia baik-baik saja sayang, dia hanya demam yang terlalu tinggi"
"oohhh begitu"
"apa adik-adikmu sudah makan?" ibuku bertanya demikian, karena memang hari sudah petang. seharian mereka di rumah sakit.
"sudah ma, mama sama papa sudah makan? adik juga sudah makan?"
"sudah, ayo masuk kerumah sudah mau gelap"
ajak mama karena memang aku diteras rumah untuk menunggu mereka pulang, aku yang masih duduk dibangku SD kelas 5 dan dengan keadaan ekonomi yang minim, aku tidak memiliki handphone.
*****
"nanti kasih persembahannya yang ini ya" ibuku memberi uang seribuan untuk Naomy dan kedua adikku ledi dan riska, dan uang duaribuan untukku dan mardwin.
"ia bu, nanti persembahan mereka biar riri aja yang kasih" ucapku pada ibu, karena hari itu hari minggu dan pagi-pagi anak-anak akan ke gereja mendengarkan sebagian daripada firman Tuhan.
"kak, kakak pegang duit naomy dulu ya"
"mau kemana dek?" tanyaku padanya, kendati ia yang menyerahkan uangnya, sedang dia hendak pergi dari tempat duduknya.
"naomy sakit perut" ucapnya manja dengan logat anak-anak khas dirinya.
"kakak temenin ya?"
"jangan, nanti yang jaga riska sama ledi siapa?"
"kan ada bang mardwin"
"ga usah! kakak disini aja!" akupun menghela nafas dan membiarkannya pergi ketoilet disamping gereja, namun tak lama setelah dia pergi, kakak yang mengajarkan firman Tuhan pada kami datang memanggilku.
"riri, adikmu naomy di toilet kenapa?"
"kenapa kak?" tanyaku dan tanpa peduli menarik tangan adik-adikku dan berlari ketoilet, aku cemas setengah mati kala itu, aku melihat kakak sekolah minggu yang lain menggendongnya keluar dari toilet.
"kakak dia kenapa?" tanyaku dengan tangis yang tertahan
"kakak tidak tahu, kakak antar kalian pulang ya?" aku mengangguk, kulihat adikku didalam gendongannya, matanya terbuka, tetapi tatapannya kosong, dia berkeringat dan wajahnya kuning pucat, aku menangis sepanjang jalan bersama ketiga adikku yang juga menangis meraung dalam rangkulanku, kami berjalan menuju rumah, karena jaraknya yang memang tidak terlalu jauh.