I

9 0 0
                                    




Jakarta sudah mendung sejak beberapa jam yang lalu namun airnya baru tumpah sekarang.

Hujan.

Macet.

Stasiun MRT Lebak Bulus penuh sesak.

Orang-orang tidak ada bedanya dengan hujan, sama-sama datang berbondong untuk menuju satu tujuan. Hujan ke daratan, sedangkan orang-orang itu ke tempat manapun yang memiliki atap untuk berteduh. Tetapi tidak semua orang sih, karena lelaki bertubuh tinggi itu justru berjalan keluar dari kanopi jembatan penyebrangan tanpa payung, rambut hitam ikalnya yang sudah melebihi telinga dibiarkan basah begitu saja, pun dengan setelan baju kerja berikut sepatu pantofel dan tasnya.

Banyu Angkasa berlari kecil menyusuri trotoar yang mulai basah karena rintik hujan.

Dahulu.. Ibunya bercerita kalau dirinya lahir disaat hujan mengiringi mereka dari sepanjang jalan menuju rumah sakit sampai prosesi persalinan berlangsung, dan baru berhenti ketika dirinya lahir ke dunia.

Banyu Angkasa, itulah nama yang diberikan kepadanya. Banyu diambil dari bahasa Jawa yang berarti air dan angkasa yang berarti langit. Maka tidak menjadi masalah apabila saat ini Banyu turut bergabung dalam rombongan karena apa yang tengah jatuh adalah hujan, dan dia air langit adalah salah satunya bukan?

16.50

Sambil berlari kecil, matanya melihat sesekali ke jam tangannya, sudah hampir jam lima tapi setidaknya masih ada sepuluh menit toh juga sedang hujan, siapa yang mau pulang di jam kombo 3 in one ini, sudah hujan, macet, jam pulang kerja pula.

Banyu berbelok di ujung pertigaan dan memperlambat langkahnya sampai kemudian ia berhenti ketika tempat yang ia cari sudah di depan mata.  Dihelanya nafas sebentar sebelum matanya melirik pada bangunan rumah mungil dengan cat putih yang sudah mulai menguning. Ia menatap plang putih berkarat yang dipasang di atas tembok pagar, mengamatinya sesaat dan dirinya pun memutuskan untuk melangkah masuk melewati pagar yang terbuka lebar. Masuk ke halaman, Banyu berpapasan dengan beberapa orang yang keluar dari dalam rumah yang dijadikan sebagai tempat praktek itu. Dirinya hanya tersenyum sekilas menanggapi sikap ramah tamah orang-orang tersebut untuk bertegur sapa. Di Jakarta hal seperti itu terlalu aneh dan canggung baginya.

Dirinya kemudian berhenti di ambang pintu yang terbuka, melihat wanita yang tengah duduk di belakang meja kayu berbentuk segi empat dengan pandangan menilai sebelum akhirnya mengetuk pintu dan wanita itu pun mengangkat kepalanya, langsung menatap Banyu dengan senyum profesional yang tersungging di bibirnya.

Wanita itu melihat jam dipergelanganya sebelum tatapannya beralih kembali pada Banyu. Menilai cepat dari ujung kepala sampai kaki.

"Anda.. melintas dari sungai mana?"

Banyu mengangkat alis. "Maksudnya?"

"Itu basah semua." Wanita itu menunjuk Banyu dan tersenyum tipis, menyiratkan bahwa apa yang dikatakannya hanyalah canda belaka.

"Bisa dilihat dan didengar, di luar hujan."

"Dan anda tidak memiliki inisiatif untuk menggunakan inovasi bernama payung?"

Sarkasme wanita itu hanya direspon diam oleh Banyu, jadi wanita itu kembali berkata. "I see pasti anda lupa membawa payung.. by the way silahkan duduk."

"Oh tidak usah, saya basah nanti tempat duduk dan lantai kamu basah. Saya berdiri di sini saja."

Wanita itu mengangguk. "Okay, lagipula saya sudah mau pulang."

"Apa? Tapi anda seharusnya selesai pukul lima."

"Iyap, dan itu sebentar lagi. Anda boleh datang kembali besok, pada waktu yang jangan sangat amat mendekati jam tutup seperti sekarang."

Banyu menatap dengan tidak percaya.

"Konsultasi itu butuh waktu yang lama, dan jam praktek saya hanya tersisa beberapa menit, anda juga harus mengisi kuisioner. Tidak akan cukup apabila dilakukan sekarang."

"Saya tidak butuh konsultasi dan kuisioner, saya hanya ingin membeli obat."

Wanita itu tertawa, menaikkan satu alisnya menatap Banyu. "Menarik.." katanya, sebelum fokusnya teralih ke berkas di mejanya, ia memasukkan berkas itu ke lemari kaca di sudut ruangan, merapihkan meja dan memasukkan beberapa barang ke dalam totebagnya dan mengalungkan tas itu ke salah satu bahu. "Kenapa tidak ke apotek kalau begitu?"

Banyu menghela nafas. "Tidak ada."

"Rumah sakit?"

"Tidak ada."

"Kalau di rumah sakit dan apotek aja ngga ada apalagi di saya? Lagian saya psikolog bukan psikiater.. saya ngga berhak memberikan obat buat pasien saya."

"Kata Dimas kamu jual obatnya."

"Dimas?"

"Iya, Dimas Baskoro. Kamu Aby kan?"

Wanita itu mengangguk, menaikkan alisnya sedikit terkejut namun cepat-cepat untuk menormalkan kembali ekspresi wajahnya dan bertanya. "Oh jadi anda temannya Dimas? Memangnya obat apa yang dicari?"

Ditanya seperti itu, orang yang bersangkutan menjadi terdiam untuk beberapa saat. Mata Banyu menatap Aby tanpa berkedip yang dibalas Aby dengan menaikkan alis mewakili pertanyaan 'apa' secara tersirat.

Lalu akhirnya dengan memutuskan pandangannya pada Aby dilanjutkan dengan usapan tangan pada wajahnya yang basah, Banyu pun menjawab. "Obat penyesalan."

Aby mengerjap. melakukan penilaian sekali lagi terhadap laki-laki di depannya dan memutuskan diagnosa awal, sepertinya lelaki ini mengalami depresi. Aby tersenyum, meraih kunci yg tergantung di tembok dan menujukkan pada Banyu. "Sayang sekali saya benar-benar tidak bisa pulang terlambat hari ini. Bagaimana kalau besok anda datang lagi?"

Banyu hanya mendesah pasrah. "Baiklah, besok saya datang setelah jam makan siang. Saya harap anda punya waktu."

Aby hanya tersenyum tidak enak, baru dirinya berbalik sekejap untuk mengambilkan payung lipat yang ada di atas mejanya untuk dipinjamkan kepada lelaki itu, namun Banyu sudah membawa kakinya kembali berlari menerobos hujan, meninggalkan Aby yang termenung menggenggam payung lipatnya di ambang pintu, menatap punggung yang semakin lama semakin menjauh dan hilang dari pandangannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 24, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Banyu AngkasaWhere stories live. Discover now