Prologue

21 3 0
                                    


What a nice dream.

Aku terbangun, masih dengan senyum di wajahku. Rasanya aku masih bisa merasakan hangatnya pelukannya, betapa bahagianya aku bisa merasa dicintai seseorang, biarpun hanya sekejap. Hanya dalam mimpi.

But then... the realisation hits me like a train.

Wait... Why did I dream of him?

Sudah lama dia tidak melintas di dalam pikiranku. Bukan, bukan berarti aku putus kontak dengan dia. We're fine. He's still one of my few close guy friends. Tapi, sudah cukup lama aku merasa perasaan spesialku untuknya menghilang; atau setidaknya, sudah terkubur dalam-dalam.

I rub my face with frustration. No, this is not the first time I dreamt of him. Dulu, beberapa bulan sejak dia pergi jauh, aku pernah memimpikannya. Bermimpi melepas kangen, memeluknya erat-erat, dan mengatakan semua yang kusimpan dalam-dalam, yang bahkan sampai saat terakhir sebelum berpisahpun tidak berani kukatakan.

Kurasa, mimpiku dulu itu wajar-wajar saja terjadi. Aku harus menerima kenyataan kalau aku akan terpisah dari dia, mengubur perasaanku dalam-dalam because I don't want to lose him, even if he can only be my friend. Tapi kali ini... why? I'm so sure I have moved on.

Kugelengkan kepalaku, dan kumulai aktifitasku hari ini.

That's enough. Don't start this, you have moved on!

Tapi entah mengapa, pertemuanku terakhir dengannya kembali teringat dengan jelas di kepalaku.

***

Kami berdua berjalan ke arah mobilku. Tiga teman kami lainnya sudah pulang naik taksi online, karena mereka pulang dengan tujuan searah. Mobilnya sendiri terparkir di lantai lain dalam mall ini, tapi kali ini dia bersikeras mengantarku sampai mobil.

"Gue sedih."

"Kok gitu sih? Dude, come on! We just celebrated my birthday, ok?", kataku sambil tersenyum.

"Tapi abis ini, kita udah enggak ketemu lagi."

Love, if only you knew what I feel when you say this... Aku memandanginya, berharap dengan sungguh dia tidak bisa membaca perasaanku.

Sambil meyakinkan diriku untuk tetap tersenyum ringan, aku berkata, "Ih, lu ngomongnya kok gitu sih? You're just migrating to US, ok? Bukan ke bulan! Makanya, inget pulang, even if it's years from now, ok? Lagian, lu masih bisa kumpul sama yang lain one more time kan, just right before you go. Kan cuma gue yang balik ke Aussie lagi besok."

"It's just different. Dan lagian, kita juga baru bener-bener ngumpul in person begini kalau lu balik aja kali."

"Halah, bisa aja. Buktinya kalian juga ada jalan dan kumpul-kumpul pas gue away kok."

"Coba aja itung berapa kali."

Aku tertawa kecil, "Okay, okay... not debating you anymore." This is how he is. Paling enggak bisa didebat.

Kami kembali terdiam sampai ke depan mobilku. Dalam hatiku, aku menggerutu. Kenapa hari ini, aku memakirkan mobilku begitu dekat dengan pintu masuk.

We just look at each other, knowing this is likely our very last meeting for years to come. Heck, we don't even know if we'll have another chance to meet again.

I look at him, and I can't be too sure, but.. why do I feel like he's feeling the same? Or is it just because I'm too sad that I'm thinking this way?

"Well okay... I guess this is it. This is goodbye then..." kataku pelan.

Sebelum dia bisa menjawabku, aku berkata lagi, "So... jaga diri baik-baik ya disana. Sering-sering kontak kita semua, let us know you're still alive, ok?" he chuckled at this, "dan jangan lupa rumah oke? One day, when you can come home, pulang! Kita kumpul lagi kayak hari ini. Oke?"

He smiled at me. Gosh... how I'll miss this smile, this man.

"Iya, siap."

Damn it, I better go before I start losing it here.

"Oke, gue balik ya. Thank you udah dianterin sampe sini, Mr Bodyguard!" Candaku, praying desperately inside that I won't start crying now.

Dia bergerak maju, dan entah apa ini imajinasiku, tapi tangannya bergerak.. dan tiba-tiba terhenti. Lalu tangan kanannya mengelus kepalaku pelan.

"Bye. Lu juga jaga diri ya."

Kubalas senyumnya, dan masuk ke dalam mobilku. Dia masih berdiri disamping mobilku. Kulambaikan tanganku, dan segera menyetir keluar dari parkiran.

Thank goodness the tears only start flowing down once I am alone in my own room.

***

That was 4 years ago.

Damn it! Snap out of it!

Enggak, gue udah move on!

Kukembalikan konsentrasiku pada barisan-barisan kode yang harus kuhadapi hari ini.

I love how flexible my job is, being able to work from home. Tapi kadang, di saat kepalaku dipenuhi pikiran-pikiran lain, aku benar-benar menginginkan pekerjaan yang mengharuskanku berada di dalam sebuah kubikel. Silly, I know. Tapi paling tidak, rasanya punya tempat kerja dengan environment seperti itu akan membantuku dalam mengendalikan pikiranku, supaya tetap dalam work mode, bukan galau mode seperti hari ini.

MonologueWhere stories live. Discover now