TIGA BELAS

309 48 5
                                    

Senja Bayu POV



"Mas, apa memang kita harus pergi kesana?" tanya Lydya yang terduduk lemas di kursi. Sejak tadi ia menatapku berkemas.

"Kalau kau tak mau, tak perlu" ujarku. "Aku hanya mau menyelamatkan pak Oji dan Kak Adilla"

"Maksudku begini" ia mulai menegapkan kembali punggungnya.

Sepertinya kalimat selanjutnya adalah sesuatu yang serius untuk ku dengar. Aku berhenti sejenak dan mulai duduk serius menghadap ke arahnya.

"Maksudku, nanti kalau kita sudah sampai di sana dan bertemu pak Adri, apa lagi?"

"Kita tak perlu bertemu pak Adri" ujarku menjelaskan.

"Loh, bukannya kita mau melepaskan pak Oji?"

"Iya, tapi rencananya tanpa perlu berhadapan dengan pak Adri" Jawabku. "Kita lewat lorong bawah tanah yang waktu itu jadi tempat kita kabur dari sana"

"Bagaimana kalau ini jebakan?"

"Makanya ku bilang tak usah ikut" ujarku.

Aku beringsut dari tempat dudukku dan kembali mengisi ranselku lagi dengan beberapa alat bantu seperti lampu senter dan tali. Meskipun sebenarnya yang paling kami butuhkan adalah senjata yang bisa seketika melumpuhkan pak Adri. Tapi aku tak tahu apa itu.

Lydya sudah terdiam. Aku tahu kalau dia tak mau aku kembali ke rumah itu sendiri, tapi di satu sisi pasti berat baginya kalau harus ikut kesana juga.

"Ikut?" tanyaku memastikan.

Ia hanya mengangguk, pasrah.

***

Lydya masih tertidur di bangku kereta. Targetku, kami setidaknya harus sampai di sana saat keadaan cukup gelap, agar pak Adri lebih sulit mengejar kami. Ku lirik jam tanganku, sudah pukul 6 sore. Rasanya semua bisa sesuai rencana, semoga.

Kerete berhenti di stasiun desa batu. Lydya yang masih separuh sadar memilih untuk duduk sebentar di bangku stasiun.

"Masih lama?" tanyaku.

"Bagi air" pintanya.

Seperempat isi botor air minumku rupanya dipakainya untuk membersihkan wajah.

"kenapa tak ke kamar mandi saja?" tanyaku sedikit kesal.

"Katanya mau cepat"

***

"Mas, kau yakin?" tanya Lydya lagi.

Entah sudah berapa puluh kali aku mendengarnya menanyakan hal itu.

"Kita sudah sampai sejauh ini" ujarku. "Mana mungkin kita pergi begitu saja"

Lututku rasanya sudah hampir mati rasa. Jarak dari stasiun kereta ke rumah itu ternyata benar-benar jauh. Kalau dipikir-pikir lagi, bagaimana dulu kami bisa melewatinya di tengah malam untuk kabur ke stasiun dari kejaran pak Adri.

Pertanyaan Lydya semalam kini mulai berdengung di kepalaku. Kalau dipikir lagi, kami memang seperti menyerahkan nyawa secara gratis kesini. Bagaimana kalau memang pak Adri sudah menunggu kami kesini.

"Kenapa mas?" tanya Lydya bingung.

Tanpa sadar aku berdiri membatu tepat di depan sebuah gundukan rumput tebal.

"Mas?" Tanya Lydya lagi. "Jangan bilang kalau sekarang kau yang ragu!"

"Makanya jangan bicara hal-hal bodoh terus dari tadi!" ucapku agak kesal. Sebab ternyata kata-kata Lydya itu lama-kelamaan membuatku ikut terpengaruh.

THE STITCHES (Sibling 2nd season)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang