#41. kronologi

719 93 15
                                    


Ngedenger kata-kata Aysa gue segera kepinggirin mobil gue dan berenti di sana. Gue kaget, syok, gue gatau apa yang sebenernya terjadi sama Aysa sampe dia bisa bohongin gue soal orang itu.

"Maksud kamu, ga nikah gimana? Kamu kan kemaren bilang ke Mas kalo kamu sama dia-"

"Mas, maafin aku ... Aku terpaksa bohong sama kamu dulu ... Aku terpaksa bohong karna aku gamau kehilangan klinik keluarga aku ..."

****

Author vop

Pagi itu sebuah keluarga datang ke salah satu rumah yang tidak terlalu mewah. Keluarga itu membawa serta beberapa bodyguard mereka untuk bersiap mengusir si penghuni rumah.

"Kalian harus angkat kaki dari rumah ini kalo kalian masih ga sanggup ngelunasin hutang kalian!" Teriak seorang lelaki sembari menunjuk tepat ke arah wajah pria paruh baya yang terlihat sedang kebingungan.

"Ben, kamu tau keuangan saya dan keluarga sedang memburuk apa kamu ga bisa ngasih saya waktu lagi?" Tanya pria paruh baya itu memohon.

"Saya sudah ngasih kamu waktu lebih dari cukup untuk melunasi hutang itu. Tapi kamu masih saja belum bisa melunasinya!!" Ben lagi-lagi berteriak.

Sementara diam-diam di ambang pintu kamarnya seorang gadis tengah menangis melihat Ayahnya tengah terintimidasi oleh kata-kata Ben. Aysa merasa bersalah karna hutang-hutang itu di sebabkan oleh biaya kuliahnya selama di kedokteran. Ayahnya telah meminjam uang beratus-ratus juta kepada Ben si orang kaya yang tidak lebih baik dari mafia itu.

"Tapi Ben saya pasti akan melunasi hutang-hutang itu. Kamu bersabarlah sedikit lagi," lagi-lagi Ilham memohon.

"Tidak ada perpanjangan waktu lagi, sekarang kamu harus keluar dari rumah ini! Penjaga ayo usir dia dan anaknya sekarang juga!!" Ben meninggikan nada suaranya dan berseru.

"Tunggu, Pi!" Tahan anaknya Mahesa, "gimana kalo Om Ilham ga sanggup ngelunasin hutang-hutang Om ke Papi, biarin Aysa anak Om, menikah sama Saya?"

Kata-kata Mahesa membuat Ilham terkejut. Bagaimana bisa ia memberikan putri satu-satunya itu kepada penjahat seperti keluarga Ben.

"Tidak saya tidak akan memberikan putri saya kepada kamu!!" Teriak Ilham.

"Lalu bagaimana cara kamu melunasi hutang kamu kepada saya, Ilham?" Tanya Ben, "jangan berhayal kamu bisa melunasi hutang-hutang dengan hasil dari klinik kumuh itu," lanjutnya lagi.

Aysa yang terdiam di dalam kamar hanya bisa menangis. Ia takut untuk ikut keluar dan menghadapi Ben serta anaknya. Tapi di sisi lain, Ayahnya tengah dalam kesulitan.

"Saya akan menjual klinik saya, saya akan berusaha melunasi semuanya dalam waktu satu minggu."

Mendengar hal itu Aysa yang sedari tadi menyimak keributan antara Ben dan Ayahnya segera keluar dari kamarnya dengan tangis yang semakin kencang.

"Ga, Pak. Bapak ga boleh jual klinik kita, biar saya Om, biar saya menikah sama anak Om ... " Lirih Aysa dengan air mata yang semakin deras.

"Jangan Aysa, jangan kamu melangkah ke dalam keluarga itu! Bapak ga ngijinin kamu!" Seru Ilham dengan nada suara meninggi.

"Pak, Aysa mohon jangan, Pak ..." Aysa meraih tangan ayahnya dan memohon sembari tersedu. Aysa tau bagaimana ayahnya membangun klinik itu sedari muda. Aysa tidak ingin ayahnya menjual klinik itu.

"Baik, kalo gitu," Mahesa mendekati Aysa dan meraih tangan gadis itu, "besok kita segera tunangan," Mahesa mencium tangan Aysa.

Ilham, orangtua itu tidak berdaya dengan keputusan putrinya. Setelah Ben dan anaknya itu pergi, Aysa hanya bisa menangis sembari memeluk Ayahnya. Klinik merekapun berhasil terselamatkan untuk beberapa saat.

****

"Kamu serius kan sama cerita kamu? Kamu lagi ga mempermainkan Mas kan?" Tanya gue setelah ngedenger semua cerita Aysa.

"Aku ... Aku ga jadi nikah sama Mahesa karna dia ngelakuin kekerasan sama aku. Aku bahkan pernah di jadiin bahan taruhan di club, Mas ... " Aysa mulai nangis makin kenceng di depan gue. Kenapa si Ay lo ga bilang dari dulu ke gue soal ini.

"Bapak terpaksa jual klinik itu karna Bapak ga sanggup liat aku di aniaya sama Mahesa. Aku takut, Mas ..."

"Kenapa kamu ga bilang dari dulu kalo ini semua karna hutang. Mungkin Mas bisa bantu kamu dan kita ga perlu pisah kaya gini."

"Mas, Mas udah jangan inget sama lalu kita. Sekarang Mas udah nemuin perempuan yang lebih baik dari-"

Tangan gue yang daritadi diem tiba-tiba refleks meluk Aysa. Gue ngerasa bersalah banget ga bisa ngebaca kesulitan Aysa waktu itu. Gue salah.

"Maafin, Mas. Mas ga bisa liat kesulitan kamu dulu," gue meluk Aysa makin erat, tangan Aysa yang dari tadi ga meluk gue, gue rasain sekarang mulai ngerangkul punggung gue. Aysa nangis sekenceng-kencengnya dan gue bersyukur Aysa bisa ceritain semuanya walaupun terlambat.

Hujan siang itu jadi saksi gimana perasaan sedih dan penyesalan gue ke Aysa. Maafin gue yang gatau apa-apa Ay.

Kanaya Pov

"Jaeden, lo udah pulang?" Tanya gue ketika Jaeden buka pintu rumah. Tapi Jaeden keliatan aneh siang itu. Gue gatau dia kenapa, bahkan dia ga ngelirik gue sama sekali.

Tapi gue ga ambil pusing mungkin dia lagi cape atau lagi ga mau di ganggu. Jadi gue berusaha mengabaykan sikap dia. Semoga dia baik-baik aja.

Malam menjelang, Jae milih skip makan malem dan malah berdiam diri di studio musiknya. Biasanya Jae selalu nyempetin nemenin Yasa dulu kalo pulang kerja, tapi hari ini dia belum ke kamar dan tampangnya keliatan kusut.

"Jaeden, lo mau gue bikinin kopi?" Tanya gue yang masuk pelan-pelan ke studionya.

"Tolong bawain gue air putih," jawabnya dingin. Gue yang berusaha berpikir sepositif mungkin. Mungkin Jaeden lagi cape sama kerjaannya.

Gue yang di minta bawain segelas air putih langsung nurut. Guepun ke dapur dan langsung ambil segelas air putih, ga lama gue balik dan masuk ke studio. Gue taruh gelas di meja dan duduk di samping dia yang keliatan lagi sibuk metik senar gitarnya. Gue pelan-pelan peluk pinggang Jaeden dan senderin kepala gue di bahunya.

"Lo kenapa? Pasti hari ini cape banget yah?" Tanya gue yang mulai bertingkah makin manja. Gue harap dengan sikap ramah gue seenggaknya Jaeden bisa ceritain sedikit keluhannya ke gue.

Jaeden keliatan ngegelengin kepala bikin gue makin penasaran.

"Jae, sekarang gue istri lo jadi lo bisa cerita apa aja soal beban lo ke gue," tutur gue lagi yang masih senderan di pundaknya.

Jaeden yang daritadi keliatan cuek, sekarang mulai naro gitarnya di samping sofa dan ngehela nafasnya panjang.

"Sebenernya, ada yang pengen gue omongin sama lo, Nay."

BERSAMBUNG...

JANGAN LUPA VOMENT DAN SAMPAI JUMPA DI CHAPTER SELANJUTNYA AFTER 30+ !









Jae And His Allergy | Park Jaehyung | Day6 Lokal ( Complete! )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang