To Guard You

10 0 0
                                    

Langkah-langkah ceria itu menapaki undakan tangga batu. Daun-daun yang menguning di sekitar mereka melambai dihembus angin mengikuti ke arah mana kedua bocah berlari. Dalam masing-masing genggaman mereka, dibawanya serta sepucuk lipatan kertas berbentuk pesawat terbang. Satu bocah berambut gelombang yang paling semangat berlari di depan, meninggalkan bocah lain yang terengah.

"Miyu-kun?" panggilnya di sela napas yang memburu.

Si bocah berambut gelombang menoleh. Dengan cengiran lebarnya ia berteriak setelah tiba lebih dahulu di puncak tangga.

"Semangat Rin! Sebentar lagi kau sampai!" begitu katanya.

Anak gadis yang sudah pucat pasi itu menguatkan diri, mengatur napasnya sebelum kembali menapaki anak tangga.

Irino Miyu menyambut Rieka dengan sorakan ketika ia telah sampai di hadapannya.

"Lihat!" tunjuk Miyu.

Rieka berbalik. Napasnya perlahan menjadi lebih teratur sekarang. Ia terpesona menyaksikan suasana kota tempat tinggalnya dari puncak bukit. Langit hari ini terang, matahari bersinar lembut dan angin berhembus sepoi. Rieka sangat menyukai musim gugur. Rimbun pohon yang menyempil di antara atap-atap genting rumah itu semarak dengan beragam warna, mereka tampak cantik seperti karangan bunga. Ingin berbagi rasa kagum, Kamiya Rieka menoleh pada kawan di sampingnya dan melemparkan senyum.

Miyu, yang biasanya adalah seorang bocah ekspresif, mendadak terdiam kaku. Wajahnya yang merona berpaling menghindar. "Rin!" serunya kemudian dengan lantang. "Kau siap?" Dia sudah mengangkat pesawat kertas di tangannya yang segera dicontoh Rieka. Setelah aba-aba ketiga darinya, mereka lantas menerbangkan lipatan kertas itu bersamaan hingga keduanya membumbung tinggi di langit biru.

Dua pesawat kertas berwarna putih kusam terbang menukik ke atas. Setelah beberapa saat, milik Rieka lebih dahulu meliuk-liuk turun menuju hamparan pohon di kaki bukit sana. Sementara pesawat kebanggan Miyu masih gagah mengudara.

"Rin," tidak melepas pandangan dari pesawatnya, Miyu berujar dengan suara sarat keyakinan, "Kalau besar nanti aku ingin menjadi pilot. Bisa terbang bebas itu pasti menyenangkan!"

Rieka yang semula sendu lantaran pesawatnya kalah bersaing kini beralih tertegun memperhatikan sepasang manik yang berkilat penuh tekad. Miyu mengembang senyum, dagunya terangkat menengadah langit. Rieka ikut menengadah.

"Hm!" gadis kecil dengan kuncir di rambutnya itu mengamini cita-cita kawannya.

Di puncak bukit tempat mereka berada terdapat sebuah kuil sederhana. Satu gerbang merah berdiri sebagai pintu masuk di muka tangga batu, yang banyak anak tangganya diibaratkan berjumlah seribu undakan. Tangga itu memanjang hingga kaki bukit. Alurnya berkelok dan ia menjadi satu-satunya jalan termudah untuk mencapai kuil.

Pendeta kuil merupakan seorang kakek baik hati yang selalu menyambut ramah siapapun yang berkunjung. Ia sudah hapal betul dengan kedua bocah, Rieka dan Miyu. Kehadiran mereka yang membawa keceriaan di lingkungan kuil selalu tak membosankan sang pendeta. Maklumlah, ia hanya tinggal seorang diri mengurus kuil sekaligus memimpin setiap peribadatan di sana.

"Kakek!" begitulah Rieka menyapanya menganggap seakan ia adalah kakeknya sendiri, yang dituruti oleh Miyu.

Kedua bocah, setelah mereka selesai bermain dengan pesawat kertasnya, menghampiri kakek pendeta yang baru saja keluar dari pelataran. Si pendeta membelai puncak kepala Rieka yang memeluknya.

"Kakek! Tadi kami bermain pesawat kertas dan pesawatku terbang paling tinggi!" Miyu bercerita bangga sambil merentangkan tangan lebar. Matanya membulat luar biasa senang.

Cerita si bocah disambut tawa lembut khasnya. Dia kemudian mengajak mereka untuk duduk dan menikmati manisan buah di beranda kuil.

.

To Guard YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang