Besok paginya, ayah Eric pun datang ke rumah sakit. Ia langsung menuju ruang VVIP di lantai lima. Di tempat ibu Eric dirawat.
Ia sangat terburu-buru sekarang. Wajar saja, seseorang yang sedang bersenang-senang namun salah satu belahan jiwanya sedang sekarat. Tentu saja dirinya merasa bersalah.
Rumah sakit ini memang memiliki banyak lift, namun tidak semua lift menuju ke tempat yang sama. Misalnya di satu gedung rumah sakit memiliki lima lantai dan enam lift. Namun lift tersebut tidak semuanya bisa menuju lantai lima. Hanya ada satu lift khusus untuk menuju lantai lima dan itu tempatnya sangat tersembunyi.
Kali ini ayah Eric sedang bertanya-tanya di mana letak lift yang mengarah ke lantai lima tersebut. Ia berlari-lari bolak-balik dan bertanya kepada semua orang. Meskipun ia orang penting sekalipun, ia tidak peduli seperti apa ia di mata orang lain. Karena ada yang lebih ia pedulikan di pikirannya.
Fyi, ini pagi hari jadi banyak karyawan rumah sakit yang belum masuk kerja.
Maka itulah pada akhirnya ia menelepon anak semata wayangnya.
Ponsel Eric bergetar. Kemudian ia melihat siapa peneleponnya. Ketika nama "Ayah" tertera di sana, ia oun buru-buru mengangkatnya.
"Halo, Yah?"
"Ayah lagi di lantai dasar, nih, kamu jemput, ya?"
"Oh, oke, Eric ke sana sekarang."
Ia pun menutup teleponnya.
"Siapa, Ric?" tanya Zain yang berada di sebelahnya.
"Ayah. Minta jemput di bawah," kata Eric sambil bersiap. "Gue ke bawah dulu, ya?"
"Oke, hati-hati."
Eric pun segera keluar dari ruang inap berkelas VVIP tersebut. Dengan langkah lebar namun santai, ia berjalan ke arah lift.
Ketika ia sampai di depan lift, seseorang keluar dari lift tersebut.
"Tante Ren?" tanyanya sedikit takut.
"Eh, Eric, apa kabar?" tante Ren memeluk Eric begitu saja. "Tante mau jenguk ibumu," katanya.
"Oh, iya, Tante, ada di kamar nomor 15," Eric menunjuk sebuah ruangan paling ujung.
"Baiklah. Ngomong-ngomong, kamu mau ke mana?" tanya Tante Ren.
"Mau ke bawah jemput ayah," jawab Eric sambil menunjuk lift. "Ehm, duluan ya, Tante."
Eric masuk saat pintu lift terbuka dan segera menutupnya. Ia tidak ingin lama-lama bersama tante Ren. Sungguh ia sangat ketakutan tadi, makanya ia buru-buru pamit saat pintu lift terbuka.
"Ya ampun, seperti berpapasan dengan hewan buas saja," gumam Eric saat dirinya berada di dalam lift.
Lift pun turun ke lantai dasar dan pintu pun terbuka. Ia pun segera melangkah keluar dan menuju tempat yang ramai untuk mencari ayahnya.
Beruntungnya, tidak lama kemudian Eric menemukan ayahnya sedang duduk di salah satu sofa antrean.
Iya, sofa.
Sebelum ia menghampiri ayahnya, ia menyempatkan diri dulu untuk membeli minuman di mesin penjual minuman. Ia membeli dua botol teh untuk dirinya dan ayahnya.
Setelah Eric mendapatkan dua botol tehnya, ia pun menghampiri ayahnya yang sedang duduk.
"Ayah," sapanya sambil duduk di sebelah ayahnya yang sedang memainkan ponselnya.
"Eh, Eric, ayo," ajak ayahnya yang langsung memasukkan ponselnya ke dalam kantong kemejanya.
"Nanti dulu, Ayah, minum dulu," kata Eric sambil menyodorkan sebotol teh kepada ayahnya.
"Terima kasih, Eric."
Melihat ayahnya tersenyum saja sudah membuat hati Eric gembira. Berbeda dengan wajah ayahnya yang sebelum ia menyodorkan sebotol teh, sangat kusut. Sepertinya ayahnya tidak sempat ke rumah terlebih dahulu untuk sekadar mengecek rumah. Eric juga setelah kejadian tersebut belum ke rumah lagi sama sekali.
"Kuy lah, kita ke atas, Yah," ajak Eric sambil bangkit dari duduknya.
Sang kepala keluarga pun mengikuti langkah anaknya. Mereka menyusuri jalan-jalan yang tidak banyak dilalui oleh orang. Tidak lama kemudian, terlihatlah lift yang khusus menuju ke lantai lima tersebut.
"Ayah tadi nyari nggak ketemu-ketemu," celetuk ayah Eric sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Eric hanya tertawa kecil.
Kemudian mereka pun masuk ke lift ketika lift sudah terbuka. Lift pun dengan segera mengantar mereka ke lantai paling tinggi. Pintu lift pum terbuka secara otomatis setelah mereka sudah sampai.
Eric pun memimpin jalan. Ia berjalan di depan ayahnya. Namun ketika ia sudah mendekati ruangan inap ibunya, ia segera berjalan di samping ayahnya.
Etika bangsawan sepertinya.
"Kamarnya yang ini, Yah," kata Eric berbisik sambil menunjuk kepada sebuah ruangan bernomor 15.
Ayahnya pun membuka pintu ruangan.
Namun seketika itu juga, Eric melihat perubahan raut pada wajah ayahnya. Rautnya seperti terkejut dan kesal di saat yang bersamaan.
Karena ikut penasaran, Eric pun ikut melongok ke dalam ruangan.
Ia pun ikut terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Zain. Yang dibuat pingsan oleh mamanya sendiri, tante Ren, menggunakan stun gun.
|Beside The House|
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇ
Mystery / Thriller[[COMPLETED]] "Gue selalu nyium bau anyir setiap lewat situ." ©hanshzz, 2020