Chapter 3 : Home Hell Home

1.3K 153 5
                                    

Chapter 3 : Home Hell Home

Jika tatapan bisa membunuh, bisa dipastikan Maribeth Rowand kini berbaring tak bernyawa. Di depannya, berdiri sang Ibu dengan tatapan paling menakutkan yang membuatnya bergidik ketakutan. Dia tak ingin memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Dia hanya akan membiarkan dirinya 'merasakan' apapun yang akan dialaminya setelah ini.

"M-mom..." lirihnya. Ibunya menatapnya dingin. Pandangannya lurus menatap Mary setelah sebelumnya melirik sekilas sosok Declan yang kini dirasanya mulai mendekati tempatnya berdiri saat ini.

"Bibi Reene... biar kujelaskan, Mary hany-" ucapan Declan terpotong oleh wanita paruh baya itu.

"Tidak perlu, Mr. Young Caldwell," ucapnya sembari tersenyum manis yang sama sekali tidak mencapai matanya. Ada sesuatu pada senyum Ibunya yang membuat Mary bergidik. "Terima kasih telah mengantar putriku tersayang. Kurasa sudah waktunya kau pulang. Rebecca pasti cemas, tentu kau tahu jalan pulang, bukan?" nada manis itu dibuat-buat. Bahkan Declanpun menyadari hal itu.

"Tapi, Bibi-" Reene menarik tangan Mary dan memaksanya masuk, membuat apapun yang ingin diucapkan Declan berhenti saat itu juga karena wanita itu telah menutup pintu depan rumahnya setelah sebelumnya mengucapkan selamat tinggal. Suara dentuman pintu itu membuat Declan menatap lama pintu depan rumah gadis yang telah dianggapnya seperti adik sendiri itu. Dia merasa khawatir. Ada sesuatu pada diri bibinya yang membuatnya tidak yakin bisa membiarkan Mary berada di dalam sana.

Namun, apa yang bisa dilakukannya? Dia tidak mungkin mendobrak pintu dan membawa pergi Mary dari tempat ini-dari rumahnya sendiri. Dia tidak mau merusak nama keluarga mereka, mengatakan hal yang belum tentu kebenarannya.

Dengan desahan nafas frustasi, pemuda itu berbalik dan beranjak dari tempat itu. Dalam hati Declan berdoa, semoga Tuhan menjaga gadis itu. Menjaga Mary-nya.

Sementara itu, di balik pintu rumah berdinding warna hijau tua yang kini terlihat kusam, Mary menghadapi ketakutan terbesarnya. Jika ada yang dipelajarinya setelah hidup tanpa ayahnya dan hanya berdua dengan ibunya selama ini, itu adalah kenyataan bahwa ibunya dan kemarahan merupakan dua kombinasi yang buruk. Maka selama ini dia berusaha untuk tidak membuat ibunya marah.

Namun, kali ini, ibunya lebih dari sekedar marah. "I-ibu... aku... aku bisa... jelaskan..." ucapnya terbata-bata, bagaimanapun juga dia ingin berusaha sebisa mungkin untuk menjelaskan. Meski dalam hatinya dia tahu, semua itu percuma.

PLAK!!

Tamparan itu menyakitkannya. Sakit yang bukan hanya sekedar fisik. Sakit yang mencapai hati dan jiwanya. Meski sudah berkali-kali dialaminya, sakit di hatinya masih saja terus muncul. Sakit yang selalu muncul setiap kali ibunya menyakitinya. Seharusnya hidupnya sama seperti yang lainnya.

Seharusnya dia juga diijinkan hidup bahagia.

"KAU KETERLALUAN, MARY!! KAU MENGKHIANATI IBU!!" teriakan itu memekakkan telinga, membuat Mary hanya bisa memegangi pipinya yang memerah, matanya menatap nanar sosok ibunya yang kini terlihat sangat marah.

Ibu. Bukan. Ibu. Dia ingin berteriak untuk menggapai ibunya yang dulu.

"APA YANG IBU BILANG SOAL KELUARGA AYAHMU, HAH??!!" tangannya terangkat, memegangi lengan Mary dan menggoyangkannya dengan kasar.

Kepalanya menunduk. Dia tak berani menatap sosok ibunya saat ini. Dulu, dia ingat ibunya masih sering memberikan senyuman untuknya. Dia ingat ibunya adalah orang yang baik, meski tak sempurna, meski sering memarahinya, tapi wanita itu tak pernah menggunakan kekerasan padanya, wanita itu selalu memberikan yang terbaik padanya.

Namun, dia ingat.

Dia ingat semuanya berubah semenjak ayahnya pergi meninggalkan mereka. Entah kemana. Ibunya tampak kecewa, menangis, memohon agar dia tak pergi, namun tetap saja pria itu pergi-tak kembali. Satu minggu ibunya tak bicara, tak keluar dari kamarnya, tak melakukan apapun. Selama itu, Mary berusaha untuk membawakan makanan, minuman, dan sesekali berusaha mengajaknya bicara. Usianya masih delapan tahun dan dia tahu saat itu juga dia harus belajar untuk hidup tanpa sang ayah. Selama seminggu dia mengurus rumah, berharap ketika ibunya keluar dari kamar, beliau akan merasa senang.

[Old Ver.] The Story of a Living Doll (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang