Prolog

161 16 4
                                    

Jam beker dikamarku berbunyi nyaring, mengusik tidurku yang begitu lelap. Dengan malasnya, kuraih jam sialan itu dengan tangan yang meraba-raba dan kulemparkan benda itu hingga tak kuketahui dimana letaknya. Aku masih mengantuk. Rasanya kelopak mataku seperti ditempeli lem, lengket sekali dan melekat begitu saja. Bayangkan saja, aku baru bisa tidur jam 4 pagi tadi setelah menyelesaikan tugas dosen yang bukan main banyak sekali karena mewabahnya pandemik yang sekarang menghebohkan dunia ini.

Lagi, bunyi jam kurang ajar--- yang terus membuat suara "Bangunlah Aren, kau jelek jika tidur" itu, membuatku mau tak mau terbangun dari tempat tidurku dan meraih benda sialan yang tergeletak sedikit retak di dekat lemari bajuku. Mataku yang tadinya sendu karena belum tidur pun, kini terbuka sepenuhnya karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi dan aku punya pekerjaan hari ini. Walaupun banyak dari mereka yang bisa bekerja dari rumah, sayangnya itu tidak berlaku denganku, perusahaan tempat aku bekerja tidak bisa memutuskan peraturan itu karena banyak sekali anak-anak yang masih harus aku ajari demi pendidikan. Iya, sembari menyelesaikan gelar sarjanaku, aku memutuskan untuk mencoba bekerja di salah satu lembaga bimbel sebagai guru bahasa inggris. Hampir lupa, bergegas saja aku pergi ke kamar mandi, mandi yang biasanya kulakukan paling cepat 15 menit--- kini menjadi 3 menit karena tugas kurang ajar itu. Dan dalam keadaan terdesak seperti telat begini--- uhm, aku harus tetap mengutamakan penampilanku. Pikir saja, jika masih ada belek di mataku, mau taruh dimana muka cantikku di depan anak-anak gemas itu nanti? Kupandang wajahku yang cantik jelita ini di cermin, lalu kembali pada kamera ponsel--- takut penampilanku bercela dan mata sembab akibat kurang tidur membuat wajahku membengkak. Setelah memastikan tak ada hal yang kurang lagi, kumasukkan laptop beserta hal-hal penting lainnya.

Aku memesan ojek Online, karenanya aku masih takut jika mau berpergian memakai bus umum saat rentan seperti ini. Kami--- Aku dan Abang Ojek melewati Jembatan Ampera dan sungai musi yang kali ini sangat sunyi. Angin mencium wajahku perlahan, membuatku membuka helm untuk lebih merasakan angin itu saat sedang berada di Jembatan Ampera ini. Sejuknya bukan main, walaupun sudah menunjukkan jam sembilan lewat, namun angin sepoi-sepoi disini masih bisa dinikmati. Setelah melewati jembatan Ampera, kami menuju ke tempat bekerjaku. Berhenti sejenak sembari menghitung detik sampai lampu merah berganti warnanya. Cuacanya sangat mendung hari ini. Sepi sekali. Kadang kericuhan sangat mengganggu, namun sepi juga membosankan. Seperti kali ini, kota Palembang tampak tak mempunyai nyawa karena hanya ada beberapa orang---termasuk kami yang berlalu lalang.

"Mbak, sudah sampe." ujar Abang Mukhsin--- menyadarkanku dari lamunan yang begitu panjang.

"Oh, iya mas. Ini uangnya, kembaliannya ambil aja ya." ujarku memberikan uang pada Bang Mukhsin

"Makasih, mbak. Semoga harinya menyenangkan." Teriak Bang Mukhsin, sambil berlalu mengendarai motornya.

     Harapanku sih begitu, seperti kata Bang Mukhsin. Semoga hariku berjalan menyenangkan. Ah, sembari melihat jam di pergelangan tanganku. Kusadari, aku hampir saja terlambat. Sepertinya, aku memang harus bergegas.

"Buru-buru banget ren, telat ya?" Sapa Irma yang menjadi resepsionis sekaligus teman karibku itu.

"Iya telat banget. Kesiangan mbak. Begadang semalam. Duluan ya mbak." ujarku tanpa menghiraukan mbak Irma, yang sepertinya menggeleng-gelengkan kepala saat melihat kepanikanku saat terlambat.

Saat terlambat rasanya adrenalinmu berpacu, sangat memalukan rasanya--- apalagi aku guru bagi anak-anakku itu. Terus saja aku setengah berlari menyusuri ruangan tempat anak-anak belajar. Ruanganku adalah ruangan yang paling besar dan luas. Namun, memang sangat jauh tempatnya hingga harus kutapaki satu per satu tangga ini. Maklum, kami tidak mempunyai lift.

Sedikit cerita, aku sangat menyukai anak-anak, hingga lebih memilih kerja sampingan sebagai guru yang sebenarnya gajinya tidak terlalu banyak namun tetap cukup bagiku sendiri. Hitung-hitung untuk membayar setengah dari uang kuliah atau bahkan keperluan pribadiku.

Namaku Arenaisha Arrasyhan. Mahasiswi di universitas ternama yang ada di kota Palembang. Sudah dua tahun, aku hijrah ke kota pempek ini, masih berjuang untuk pendidikan dan ingin menjadi guru walau sebenarnya program studiku berbeda dari keinginanku satu itu. Tapi jangan salah, cita-citaku bukan guru, kok. Aku hanya mengagumi dan ingin dikagumi seperti para guru-guru yang kukenal. Karenanya, mereka begitu menawan dan berkharisma. Sebenarnya, aku tidak ingin melanjutkan kuliah dulu, hanya saja dunia sudah berubah menurut pemikiranku, mau tidak mau aku harus kuliah, bukan? Ah, ingatkan aku menceritakan pemikiranku nanti. Karena jam sudah menunjukan pukul sepuluh kurang empat menit.

Tidak! Bagaimana jika nantinya ini menjadi hari kesialan pertamaku karena terlambat? Aku berlari dengan peluh keringat yang memenuhi wajah. Kupercepat langkahku untuk menaiki tangga kelima ini dengan napas terengah-engah dan keluh kesah. Hingga tiba-tiba, seseorang menyenggol bahu lemah hingga bokongku yang merasakan dingin dan kerasnya tangga satu per satu.

Aku terdiam dengan amarah, kupandang wajah orang yang menyenggolku itu dengan mata tajam dan berusaha keras berdiri sendiri dari sakitnya pinggangku yang ikut sakit ini.

"Kamu baik-baik saja? Maaf, saya terburu-buru, saya tidak tahu ada kamu tadi."

Tidak kujawab permintaan maafnya, namun kupukul kepalanya menggunakan tas laptopku yang berat. Biar saja ia memakan karmaku satu itu. Pikirkan bokongku. Kalau retak, mau tanggung jawab?

Ia melongo, wajahnya jutek. Namun kuakui ia tampan. Bibirnya yang belah terlihat merah seperti memakai liptint, alisnya juga tebal menawan, matanya yang coklat menatap dalam dan walaupun hidungnya sedang-sedang saja tapi bulu matanya terlihat seperti bulu mata palsu, sangat lentik dan indah. Dia tampak kesakitan setelah kupukul, namun menyodorkan kembali tangannya, ingin meminta maaf.

Aku yang masih emosi luar biasa, masih terdiam dan kemudian mengingat harus bergegas ke kelasku. Efek sakitnya perutku juga membuat ubun-ubun terasa ingin pecah. Jadi kuabaikan saja tangannya itu sembari melewatinya.

Namun tiba-tiba sebuah kantong plastik berwarna putih menabrak bahuku. Sial, sudah tidak tahu malu, kurang ajar lagi. Aku kesal sekali! Ingatkan aku untuk mengingat orang satu ini.

"Ada roti dan susu disana. Tidak usah maafkan saya, tapi seenggaknya kamu harus makan biar bokongmu lebih berisi lagi setelah terbentur tangga." ujarnya datar sembari menuruni tangga.

APA?
Apa aku tidak salah dengar?

Sial. Dia mengejekku tepos maksudnya?

Ah, sialllllll. Semuanya, ingatkan aku untuk melempar wajahnya jika kita bertemu lagi.

----------------
@birdszet
Bagaimana kesanmu? Cerita baru, semoga menyenangkan!

SembuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang