"Jika tumbuhan jati harus menggugurkan daunnya untuk bertahan hidup kala kemarau, maka manusia harus apa untuk tidak sakit saat terjatuh?"
***
Seorang laki-laki berperawakan tinggi tegap, berkulit putih, dan beriris coklat terang yang dibingkai kacamata itu sibuk dengan kameranya. Dengan langkah lebarnya, ia membenarkan almet nya yang belum terpakai dengan benar karena kamera tersayangnya itu. Hari ini karena harus mencari tablet vitamin C yang biasa di makannya terlebih dahulu, ia agak sedikit terlambat. Untungnya tugasnya hari ini tidak terlalu berat. Yah, hanya dokumentasi masa orientasi dan beberapa penyampaian materi pengenalan kampus. Karena itu, laki-laki yang biasa disapa Vano itu terlihat santai dan tidak sesibuk temannya yang lain.
"Cepetan dek! Baru hari pertama udah hampir telat!" Teriak Cyntia, teman satu jurusan Vano yang sepertinya terobsesi untuk marah-marah hari ini.
Vano yang melihat temannya sedang memanas-manasi keadaan pun hanya geleng-geleng kepala. Kasian sekali para mahasiswa baru, habis senang di terima di salah satu universitas berakreditasi A di Bandung lalu dimarah-marahi oleh senior. Vano kemudian sedikit terkekeh saat melihat mahasiswi baru yang hanya menunduk dan lalu bersiap kabur tanpa menjawab perkataan Cyntia tersebut. Tapi tunggu! Bukannya itu?
Vano menarik tangan mahasiswi baru yang seperti dikenalnya itu untuk memastikan. Githa memandang bingung Vano. Sementara belum selesai dengan keterkejutan Githa. Vano tiba-tiba berkata, "Nih permintaan maaf gue, sekarang gue udah gak punya utang maaf kan?"
Oh, ternyata dia maba disini, batin Vano.
Vano yang harus merelakan dua tablet vitamin C kesukaannya itu tanpa berbasa-basi langsung pergi secepat kilat. Bahkan tanpa sempat benar-benar menatap dari jarak dekat.
Vano kembali melanjutkan perjalanannya menuju ruangan dimana teman BEM nya berkumpul. Di perjalanannya itu, Vano merasa sedikit lebih lega karena sudah meminta maaf. Vano juga merasa sedikit lucu jika mengingat di hari itu dirinya sangat ceroboh hingga bisa menginjak kaki orang lain berkali-kali. Dan bahkan hanya pada kaki orang yang sama.
Flashback on
Hari itu, setelah dipaksa Kea adiknya untuk movie date film romantis yang sedang hits. Akhirnya disinilah Vano berputar-putar mencari adiknya . Vano sudah tiba sejak setengah jam yang lalu, namun yang dilakukannya hanyalah bolak-balik mengitari bioskop yang entah kenapa sangat ramai hari ini.
"Sebenarnya ada film apasih," gerutu Vano dalam hati.
Karena bioskop hari ini dipenuhi banyak remaja, Vano jadi semakin sulit mencari adiknya yang mungil itu. Dengan agak sedikit tergesa melangkah, tiba-tiba ada orang yang berteriak tak jauh darinya. Kemudian Vano berbalik mendapati seorang gadis sedang bersungut kesal karena kakinya tidak sengaja dirinya injak.
Vano berpikir, kaki perempuan itu juga salah. Menghalangi jalan disaat bioskop tengah ramai-ramainya seperti ini.
Akhirnya Vano dengan sedikit cuek pun berkata, "Sorry, tapi kayaknya kaki lo deh yang emang minta di injek". Dan tanpa menghiraukan reaksi gadis itu, Vano kembali pergi mencari adiknya.
Lima belas menit berlalu, Vano akhirnya berdiam diri di dekat pintu masuk bioskop sambil berusaha lagi mencoba menghubungi adiknya. Tapi sayangnya ponsel adiknya itu masih tidak bisa di hubungi sejak tadi.
Kemudian ponsel yang dipegangnya berdering menampilkan nomor tak dikenal. Vano mengerutkan keningnya bimbang. Antara mengangkatnya atau tidak. Namun, tidak seperti kebiasaannya yang tak kan mengangkat telepon dari nomor tak dikenal. Vano mengangkatnya.
YOU ARE READING
Si Vis Amari Ama
Teen FictionBenang yang mengikatmu lebih dari takdir ini, bagaimana akhir dari simpulnya? Akankah ada akhir bahagia, untuk dirimu yang pernah ditinggalkan dan takut ditinggalkan? Kisah ini terlalu rumit untuk hanya sekedar kisah cinta...