(8) Mama Pergi

202 94 127
                                    

"Kuy pulang," ujar gue yang membuat gerakan tangan di layar handphonenya terhenti.

"Yuk. Eh tapi, Kak Anya nebeng. Nggak papa kan?"

"Hah?" gue dibikin bengong seratus persen sama kata-kata Razil. Kenapa coba Kak Anya nebeng, tumben-tumbenan banget kan.

"Dia nggak bawa mobil. Jadi mau nebeng bareng kita. Nggak papa kan Ze?"

"Iya nggak papa," sebenarnya sih kesel, tapi ya mesti gimana. Gue mencoba untuk tetap berpositive thinking, mungkin ini emang pure Razil mau nolong Kak Anya yang lagi nggak bawa mobil.

Tak lama, Kak Anya datang menghampiri gue dan Razil. Suasananya jadi super canggung. Ah, mungkin gue aja yang ngerasa kayak gitu sih. Gue masih rada kesel sama Kak Anya, apalagi soal pertanyaan tadi siang.

"Hayuk pulang," ajaknya yang dibalas anggukan oleh Razil.

Kak Anya seolah nggak menganggap gue ada di sana. Dia bahkan nggak nyapa gue. Plis deh, gue insecure banget. Gue berasa kayak seonggok patung yang berjalan aja di sana.

Razil yang kayaknya paham perasaan gue kemudian menggenggam tangan gue. Kami bertiga pun berjalan menuju parkiran. Posisinya gini, gue berdiri di tengah-tengah, Kak Anya di samping kiri, dan Razil di samping kanan sambil menggenggam tangan kanan gue.

Sampai di parkiran, Kak Anya dengan beraninya langsung duduk di jok depan, di samping jok kemudi. Dan posisi itu adalah posisi gue biasanya. Gue yang menyaksikan itu merasa campur aduk. Antara sakit hati, kesel, dan bete. Jadi pengen jambak-jambak rambutnya Kak Anya yang panjang.

Gue mengurungkan niat untuk masuk ke mobil. Gue hanya berdiri di luar, dan Razil yang mulai menyadarinya melirik ke arah gue.

"Ayo masuk, udah jam 5 loh Ze," ucapnya sambil melirik arloji di lengan kirinya.

"Gue pulang naik angkot aja deh, nggak enak jadi nyamuk." putus gue dan berjalan menjauhi parkiran tempat di mana mobil Razil diparkirkan.

Sumpah gue sakit hati. Hm mungkin ini adalah hal yang menjijikkan dan terkesan childish, tapi beginilah gue. Apapun yang udah jadi milik gue, paling anti dipakai sama orang lain.

Razil kemudian mengejar gue dan mencekat tangan kanan gue. Gue lalu menoleh mendapati dia yang udah berdiri di belakang gue dengan jarak kurang lebih 50 cm.

"Ayo pulang, ini udah sore Ze."

"Nggak usah," gue menarik lengan gue yang dipegang oleh Razil.

Gue berjalan dengan sedikit berlari ke halte yang berada di depan sekolah, lebih tepatnya seberang jalan. Gue menyebrangi jalan dengan hati-hati dan sedikit tergesa, karena melihat di belakang masih ada Razil yang mengikuti.

"Zeya, jam segini udah nggak ada angkot," katanya sejenak setelah sampai di halte.

Gue hanya diam, tak menggubris.

"Lo nggak suka kalo Kak Anya nebeng? Oke. Lo tunggu di sini, gue ambil mobil bentar dan akan nurunin Kak Anya," ujarnya yang sama sekali nggak gue hiraukan.

Setelah itu, Razil berlari melintasi jalan raya yang penuh kendaraan. Gue melihat dia di sebrang sana, dia menurunkan Kak Anya dari mobilnya tepat di gerbang sekolah. Setelah itu dia melajukan mobilnya ke arah selatan, mencari celah yang memisahkan kedua jalur jalan supaya dapat dilintasi mobilnya.

"Eh Zeya, lo belum pulang?" ujar seorang pria yang kini berdiri tepat di depan gue sambil membuka kaca helm fullfacenya.

"Eh Bang Gilang?"

Iya, pria yang kini di depan gue adalah Gilang, pria yang tadi menemui gue sebagai sepupunya Razil. Dia udah nggak makai seragam sekolah, hanya memakai baju kaos lengan pendek berwarna navy, dan celana jeans panjang.

About ZeyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang