My Abnormal Princess

34 6 0
                                    

Hembusan angin yang damai menggerakan helai rambutku. Beruntung, karena rambut yang menutupi sebagian wajahku, itu meredam perih pada pipiku.

Sulit untuk mempercayai ini, memang. Tenaga seorang remaja yang biasanya hanya digunakan untuk memoles wajah bisa sekuat ini saat menampar.

Suasana disini cukup sunyi, hanya kicauan burung dan gesekan daun yang terdengar.

Aku berdiri di bawah pohon yang cukup rindang. Pohon ini berada di depan bekas gedung sekolahku yang terbengkalai. Karena pihak sekolah yang belum memiliki dana untuk melanjutkan pembangunan, gedung ini ditinggalkan sementara tanpa ada yang merawatnya.

Lokasinya tak jauh dari gedung utama sekolahku. Meskipun begitu, disini cukup sepi untuk bisa menghalau suara teriakan gadis di depanku ini.

"Kamu pikir, pangeran akan tertarik dengan gadis vixen seperti kamu?" Gadis manis itu menarik rambutku kasar. Dia mencibir, matanya seolah berkata untuk memintaku menatapnya.

Aku tersenyum, sedikit senang.

"Kalau sampai di tubuh pangeran ada luka karena apa yang kamu lakukan tadi, mati kamu!" Gadis berambut pirang di sebelahnya menarik seragamku paksa, itu menyebabkan kancing paling atas seragamku terbuka. Ini memperlihatkan sebagian kulit putihku.

Aku tersenyum, senang.

Di jam istirahat tadi, aku berlari dengan mangkuk sup makan siangku dan tanpa sengaja menabrak pangeran -julukan pria yang paling disukai di sini. Suasana kantin cukup hening sampai pangeran mengucapkan beberapa patah kata dan berlalu meninggalkanku yang menjadi pusat perhatian siswa.

Mereka berasumsi bahwa aku juga menyukai pangerannya dan memiliki niat untuk menggoda, karena itulah mereka ada di sini sekarang.

"Ini dunia nyata, bukan novel romansa! Pangeran bukan tipe orang yang akan jatuh hati dengan gadis miskin!" Aku melirik name tag gadis yang berbicara tadi, Zara. Nama yang cantik.

Aku tersenyum, senang sekali.

Tamparan keras mendarat lagi di pipiku, kali ini lebih parah karena rambutku tidak menghalangi wajahku. Kukunya yang tajam meninggalkannya goresan dengan darah di pipiku. Aku meringis, tetapi tersenyum lagi.

"Kamu, pecundang miskin! Beraninya tersenyum! Aku mau kamu menangis dan memohon di kakiku, cepat!" Gadis manis itu meneriaki wajahku. Ia menarik rambutku dan membenturkan kepalaku ke pohon. Aku merasa pusing, tetapi benturannya masih terbilang pelan. Jadi aku tersenyum lagi.

"Kamu tuli? Cepat lakukan apa yang Nadia katakan!" Si rambut pirang menatapku dengan iba. Ia baik sekali, aku semakin ingin berteman dengannya.

Ini hari pertamaku di sekolah, jadi aku belum memiliki banyak teman. Tetapi aku adalah orang yang sangat baik dan aku juga selalu membuat temanku bahagia. Maka aku ingin mereka bertiga untuk menjadi temanku.

"Aku tidak akan menangis di depan orang asing, kecuali kamu sudah menjadi temanku. Atau kamu mau berteman denganku?" tanyaku antusias.

Mataku menyiratkan sinar lembut yang menenangkan.

"Kamu hanyalah burung pegar, masih berharap untuk menjadi phoenix?" Zara menatapku seolah aku adalah kotoran di sepatunya, atau daun kering di rambutnya, intinya tatapan sejenis itu yang orang lain mungkin tidak akan suka.

Beberapa saat berlalu, mereka meninggalkan aku dan bajuku yang sudah kotor dan berantakkan. Aku duduk di bawah pohon rindang ini, menatap matahari yang hampir tenggelam di antara bukit barat. Cantik.

Bibirku mengalunkan melodi lembut. Aku tak mengetahui lagunya, tetapi ini cukup enak didengar.

Suara langkah kaki yang cepat mengambil atensiku. Pria dengan peluh di wajahnya menatapku dingin. Seperti biasa, ekspresinya takkan terbaca.

Sweet Short (ONESHOOT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang