Chapter 1

17 2 2
                                    

Done!

Kukirim file terakhir yang harus kuselesaikan untuk tahap terakhir project ini.

Being a programmer is not easy, and especially freelancing at that. Tapi rasa puas yang ada saat aku menyelesaikan project-projectku menjadi bayaran tersendiri. Awalnya, banyak yang khawatir saat aku memutuskan untuk mengambil jalur freelancing. Memang, menjadi programmer full-time sebenarnya lebih menjamin pendapatanku. Tetapi, kebebasan untuk mengatur kapan aku bisa cuti adalah salah satu nilai plus tersendiri. Untungnya, sampai saat ini aku tidak pernah kekurangan tawaran project.

Sambil memijat pelan leherku yang kaku ini, aku berjalan ke teras rumah. Kebetulan cuaca sore ini menyenangkan. Ditemani secangkir teh susu favoritku, aku mulai membuka akun-akun sosial mediaku, to catch up with what's going on with the world today. Baru kepejamkan mataku sejenak, sebuah pesan Whatsapp masuk.

Cecilia: Gimana say, done?

Langsung saja kutelpon miss rame satu ini.

"Hey!! Udah nelpon, berarti udah beres ya! Let me guess, beres jam segini.. pasti lagi nyantai deh lu, sambil ngeteh?"

"Haha yes say, beres! Finally, those codes were driving me insane! But, itu modifikasi terakhir yang harus gue kerjain sih. Client gue yang kali ini enggak rempong kok," kataku sambil tertawa.

"Congrats! And... kapan next project lu?"

"2 minggu lagi start nih. But should be ok sih, I welcome the break. Project yang baru gue finalise ini big project kan, jadi sebenernya sih kalau gue mau off sebulan juga bisa."

"Niceee! Bikin ngiri deh kadang lifestyle lu tuh. Coba ya kalau kerjaan gue bisa lewat freelancing kayak lu. Tinggal atur-atur jadwal, bisa cuti-cuti gitu."

"Ya udah, gih kuliah lagi, jadi programmer," ledekku.

"Gue mau, Chris yang bakal complain," candanya.

"Laki lu cukup lu bilangin, abis lulus bisa work from home. Dijamin pasti dikasih. Dia kan complain melulu soal lu masih ngantor di Sudirman. Mana rumah lu sekarang nun jauh di deket Cengkareng sekarang."

"Halah! Mendingan lu pulang sini, kita buka bisnis bareng. Gue jadi sales lu aja, jadi bisa ikutan hidup flexible kayka lu!"

Kami berdua tertawa.

Cecilia dan aku memang berteman dekat sejak SMA. Biarpun begitu, kami berdua sudah dekat seperti saudara sendiri. Aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang apa perlu aku bercerita soal mimpi semalam.

"Lu kenapa? Cerita sama gue, I can tell you have something in your mind, dear."

"Enggak... Gue cuma mimpi aneh semalem."

"Mimpi aneh? ... Jangan bilang, lu mimpiin Alden."

"... iya."

"Spill."

"Gue mimpi ketemu dia aja, kayak dulu pas dia baru pindah ke US itu. Tapi aneh kan? Gue sama dia aja udah biasa aja kok. Kenapa juga gue bisa mimpiin dia?"

"Aneh... tapi udah lah Ris, enggak usah dipikirin lagi. Sayang waktu lu abis buat mikirin dia."

"Enggak kok Cil, cuma berasa aneh aja. Just super weirded out."

"Well either way... jangan sampe lu.."

"No! Tenang aja, enggak kok."

"That's my girl! Lu itu bisa banget dapetin cowok yang jauh lebih baik dari dia."

MonologueWhere stories live. Discover now