PILOT

866 91 33
                                    

Jihoon pertama menyadari bahwa perasaannya pada Guanlin sudah bukan perasaan sayang seorang sahabat lagi adalah saat Ia sendiri menyadari bahwa sahabatnya itu menyukai Baek Jiheon, adik kelas mereka yang baru saja pindah dari London dalam sebuah program pertukaran pelajar.

Segala perlakuan pria itu pada Jiheon menunjukkan segalanya. Pria itu akan tersenyum dengan ramah, tak segan membantu gadis itu dalam melakukan apapun, dan masih banyak lagi, sampai rasanya, Jihoon merasa sedikit terabaikan karena Guanlin lebih sering menghabiskan waktunya bersama Jiheon.

Oh, dan jangan lupakan fakta bahwa ketika Jihoon iseng-iseng mengintip ke arah buku catatan Guanlin, dan mendapati pria itu menulis sebuah inisial, berulang-ulang, sebelum akhirnya Ia mencoret inisial itu dengan pulpennya, namun Jihoon masih bisa melihatnya.

ㅂㅈㅎ.

Itu inisial yang tertulis di sana, dan Jihoon tidak cukup bodoh untuk tidak menghubungkan semua titik-titiknya, dan menyadari bahwa yang dimaksud oleh Guanlin adalah Baek Jiheon.

Rasa sakit segera menjalari hatinya, diiringi dengan tali tak terlihat yang seolah mengikat dadanya semakin kuat dan kuat, dan pada akhirnya, Jihoon menyadarinya.

Park Jihoon mengalami patah hati untuk yang pertama kalinya karena sahabatnya sendiri, yang juga merupakan seorang lelaki telah memilih untuk jatuh cinta pada adik kelas mereka, seorang gadis—satu hal yang wajar, bukan?

Selama berbulan-bulan, Ia mencoba lari dari kenyataannya. Mungkin dia hanya salah paham akan perasaannya sendiri. Mungkin Ia hanya sedih karena takut sahabatnya akan meninggalkannya saat  Ia memiliki kekasih. Atau bahkan mungkin, Jihoon juga menyukai Jiheon.

But Jihoon could only lie to himself for so long—dia tak bisa terus menerus membutakan matanya dengan kebohongan yang Ia ciptakan di saat Ia sendiri tahu kenyataan pastinya. Di saat hatinya sendiri seolah memberontak untuk berteriak mengatakan kenyataannya.

Kenyataan bahwa hatinya telah tertambat pada sahabatnya sendiri.

Selama berbulan-bulan Ia merasa takut pada dirinya sendiri. Pada dunia ini. Tak bisa melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Tak bisa mendengar namanya sendiri tanpa merasa takut.

Ia takut, bahwa dirinya tidak normal, seperti apa yang dikatakan orang-orang mengenai orang sepertinya—yang mencintai sesama jenis. Ia takut bahwa dirinya mengidap gangguan jiwa, seperti apa yang dipikirkan orang-orang. Ia takut, bahwa ketika semua orang—termasuk Guanlin sendiri tahu, mereka akan merasa jijik padanya.

Even though all he did was fell in love. It's not like he ever had a choice in it.

Dan ketika akhirnya hatinya lelah, ketika akhirnya Ia mulai berdamai dengan dirinya sendiri dan memilih untuk menerima kenyataan bahwa Ia memang telah jatuh hati pada sahabatnya, seorang putra Adam, seseorang yang telah memilih untuk melabuhkan hatinya pada seorang gadis, hal pertama yang terlintas di pikirannya adalah—conceal it. Don't feel it. Don't let anyone know.

Selama bertahun-tahun, Ia menyembunyikan perasaannya itu. Mengabaikan debaran jantungnya saat Guanlin berada di dekatnya, mengabaikan kupu-kupu yang seolah beterbangan di hatinya saat Guanlin memperhatikannya selayaknya seorang sahabat, mati-matian menahan senyuman yang seolah selalu hendak terkembang di wajahnya ketika Guanlin memberinya sebuah hadiah ulang tahun, atau bahkan sekadar membelikan makanan untuknya, atau bahkan memberi pujian kecil yang mungkin bahkan tak berarti bagi Guanlin sendiri, seperti "Kau manis".

Sebuah hal yang terkesan manis, namun langsung berubah menjadi ironi segera setelah Ia mengingat bahwa tak peduli betapa besarnya perasaannya, cintanya akan selalu dipandang salah oleh dunia ini.

Strawberries and CigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang