Part 1

107 3 2
                                    

Hai semua~ ini adalah cerita pertamaku. Aku harap kalian suka ya sama ceritanya hehe:D

Sorry juga kalau typo kemana-mana. Thanks so much.

*Flashback on*

Hari itu dimana salju turun dengan derasnya, mengalahkan suara isak tangis anak kecil yang tengah sendiri tanpa ditemani seorang pun. Linangan air mata terasa tak dapat menetes membeku di hembus angin dingin yang menusuk tulang.

Dia terjongkok sambil memejamkan mata. Berharap ini hanya mimpi. Mimpi buruk yang sebentar lagi akan hilang begitu saja dan meninggalkan jejak kehangatan cinta.

Usaha itu sia-sia, sebagaimana caranya agar mempercayai itu mimpi. Dia harus menelan pahit kehidupan bahwa orang tuanya telah pergi jauh dan tak akan kembali lagi.

Butiran salju sudah menjadi gunung di atas kepalanya. Tidak ada minatnya untuk beranjak meninggalkan tempat kedua orang tuanya dibaringkan. Hanya sendu yang makin larut dihirup bersamaan dengan dingin salju.

"Ma, Pa... Kalian mengapa ada di dalam sana? Mengapa aku tidak di ajak juga? Aku sendiri disini tidak ada teman. Di sini juga sangat dingin, pasti di sana hangat, apa lagi dipeluk oleh papa dan mama".

Dari kejauhan tampaklah sosok pria yang sedah berdiri tegap memandangi anak kecil tersebut. Pandangan mata yang sendari tadi tak berkedip sedikit pun. Bukan sekedar memandang anak tersebut melainkan membuatnya menyorotkan sebuah arti mendalam dari tatapan tersebut.

Diberanikanlah dirinya untuk mendekat dan semakin mendekat sehingga jarak mereka hanya berjarak satu langkah.

"Mengapa kau menangis kawan? Di sini. Sendiri..." Ucap anak laki-laki tersebut memberanikan diri.

Anak perempuan tersebut menoleh, menatapnya tanpa bicara, namun jelas terlihat dari mata anak itu bahwa kesedihan sedang melanda dirinya.

"Kau tidak apa-apa kan?" Anak itu mengangguk.

"Namamu siapa?"Anak perempuan itu memberanikan diri bertanya sambil menengadah menatap laki-laki tersebut dengan tatapan lirih.

"Joshtison.. Panggil saja Josh".

Dari jauh terdengar sayup-sayup suara perempuan yang memanggil-manggil seseorang. Semakin lama semakin jelas dan semakin mendekat.Wanita paruh baya. Tak lama kemudian anak perempuan tadi pergi bersama wanita tersebut.

Josh menatap anak perempuan itu lekat-lekat sebelum akhirnya ia sudah tidak terlihat lagi dimata Josh. Kembali dipandangnya ke bawah dan didapatinya sebuah foto dan box berisi gelang anyaman. Ia harus mengembalikan barang tersebut.

Car..la... Iya Carla. Nama anak perempuan itu Carla. Josh mengetahuinya karena wanita paruh baya tadi memanggil-manggil nama "Carla". Dalam benak Josh pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa. Seperti ada yang mengganjal di hati Josh yang ingin tahu jalur kehidupan Carla lebih lanjut. Lebih dalam lagi. Lebih jauh lagi.

*flashback off*

Kenapa kenangan itu-itu saja yang selalu datang menghampiri. Menghampiri setiap inci otaknya. Lama-lama Josh bisa gila dibuatnya. Kapan Josh akan terbebas dari barang kecil yang selalu menghantuinya? Seharusnya dulu tidak perlu memungut benda tersebut. Alhasil ia yang harus menanggu beban rasa bersalah dari umur 10 tahun hingga sekarang ini.

Sudah 17 tahun lamanya Josh terjerat akan semua ini tapi mengapa ia tak kerap lupa akan barang itu? Apakah rasa yang timbul dulu? Rasa penasaran yang amat mendalam itu. Sekarang dia yang menjadi frustasi sendiri. Adakah rasa lain selain rasa penasaran itu?

Josh menghela nafas berat. Ia berdiri mondar-mandir dengan tatapan dan otaknya yang kosong. Sesekali ia mencoba tenang sambil duduk namun itu membuatnya makin tidak nyaman. Hmm.. Sekilas saja muncul ide di benak Josh.

Tombol-tombol terdengar saat ditekan, bergema di ruang hampa tersebut.

"Bisakah kau ke ruanganku?" Suara dingin itu mulai terdengar

"..........."

"Aku tidak ingin mendegar kata 'TAPI' segeralah datang ke ruanganku atau tidak ku pecat kau!"

"..........."

"Ku beri waktu kau 10 menit untuk datang kesini," katanya sambil menutup telepon sambil di berdecak kesal.

Benar saja tidak sampai 10 menit masuk lah orang yang ditunggunya.

"Bagus, aku suka kerjamu sobat," diancungkan 2 jempolnya.

"Kau itu kenapa sih? Aku nyaris tersendak saat menikmati makan siangku tadi. Itu semua karena kau," tatapnya sinis.

"Tenang lah, Ryo. Kau seperti beruang yang tidak pernah makan saja," tawanya pecah.

Tatapan mata Ryo menajam.

"Sudah lah jangan banyak bercanda. Ada apa kau memanggilku kesini?"

Josh termenung sebentar sebelum akhirnya tangannya bergerak membuka laci meja. Ditatap lekat-lekat kotak berwarna coklat tersebut. Kotak tersebut diletakannya di atas meja. Ryo mengangkat sebelah alisnya tak mengerti. Jari Josh tak henti-hentinya berkutik di kotak coklat tersebut, sebelum akhirnya ia berbicara dengan nada rendah. Sangat rendah.

"Tolong bantu aku simpan kotak ini. Jauhkan kotak ini dari hadapanku. Ku bilang disimpan bukan di buang. Jaga kotak ini baik-baik. Tidak boleh ada yang menyentuhnya kecuali aku dan kau. Jangan sampai ada setitik pun cela yang merusak kotak tersebut. Terlebih lagi jangan hilangkan isinya!" Suara Josh terdengar mengancam. Ia berbicara sambil menacungkan jarinya menunjuk Ryo.

"Wowowo... Pelan-pelan sobat. Aku tidak mengerti seberapa pentingnya kotak ini untukmu. Ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi".

"Kau tak perlu mengetahui itu. Itu bagian dari masa laluku. Simpan barang itu dan kuharap kau segera keluar sebelum emosiku melunjak".

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Soal itu ceritanya sangat panjang," tatapan Josh terlempar disudut ruangan.

"Ceritakan lah," kata Ryo geram

Dingin suara Josh timbul lagi,"aku tidak bisa".

"Ya sudah simpan saja sendiri barang itu!" Ryo mengakiri percakapannya dan meninggalkan ruangan Josh.

Sebelum Ryo dapat keluar dari ruangan Josh pintu sudah dikunci otomatis oleh Josh. Ryo bergerutu dan memaki-maki dalam hati.

"Tolong lah aku, Ryo. Suatu hari kau pun akan mengetahui semuanya," hela Josh lembut.

"Baik lah kalau begitu. Tolong buka pintunya," pinta Ryo.

Josh pun membuka pintu itu lagi sambil tersenyum lega.

"Oh ya! Perlu kau tau sebaiknya kau kamu mencari sekertaris pengganti. Sebab aku akan mengurus kakekku yang sakit di Australia. Kira-kira sekitar 3-4 bulanan," Ryo melontarkan kata-katanya begitu saja disambut Josh yang menjadi patung mendengarnya.

"Apa?!! Gila kau, Ryo!!!" Teriakan itu seperti gemuruh petir.

Tanpa di peritah lagi Ryo mengambil kotak tersebut dan membawanya keluar secepat kilat sebelum Josh melemparkan barang kepadanya.

"Ada apa dengan Josh?" Bisik Ryo dalam hati. Dahinya mengkerut sambil melangkah menyusuri lantai-lantai ruangan.

Tbc~

Sampai sini dulu ya sobat.. Maafkan cerita yang abal ini dan sangat sedikit.. Aku mau liat kalian suka atau tidak wkwk kalau banyak yang suka aku lanjutkan. Kalau tidak.... Yaa lihatlah nanti =D Vote dan comment di tunggu~

^_^

The Winter Who ChooseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang