"Melamun, Tha?" tegur Mbak Yasmin sembari menyajikan secangkir cokelat hangat di atas meja yang ada di hadapanku.
Aku sedikit tersentak. Aroma pekat dari minuman itu mampu membuyarkan lamunanku. Layar ponsel yang sedari tadi terus menyala dan kupandangi, refleks aku balikkan segera.
"Enggak, Mbak," elakku entah dengan alasan apa. Aku merasa seperti tertangkap basah sedang melakukan sebuah kejahatan.
"Melamun apa?" tanya Mbak Yasmin tidak peduli bahwa aku menolak untuk bercerita—tidak untuk saat ini. Dahinya sedikit berkerut. Segera dia menarik sebuah kursi di seberang meja.
Aku kembali menunduk. Isi kepalaku benar-benar penuh, hingga aku enggan berbicara. Aku tidak yakin apakah harus memberitahu Arun soal permintaan—atau lebih tepatnya tantangan—dari Kak Ivan.
Mbak Yasmin menghela napasnya, setelah beberapa lama menungguku angkat bicara. Wanita itu kemudian bertanya, "kamu serius ingin putus dari Ivan?"
Aku mengangguk lemah.
"Dan menjalin hubungan dengan Arun lagi?" selidik Mbak Yasmin.
"Ya."
"Sudah kamu pikirkan masak-masak?"
Aku mengangguk kembali. "Aku sadar bahwa selama ini aku nggak pernah bisa mencintai Kak Ivan dengan baik dan tulus." Aku mengangkat wajah takut-takut dan berkata sedikit gemetar, "aku ... Aku jahat, ya, Mbak?"
Mbak Yasmin mengembuskan napas panjang. Wanita berhijab itu lalu memalingkan dirinya dariku. "Jujur, Tha. Aku lega dengar kamu mau putus dari Ivan. Lega banget malah. Yang aku lihat, selama ini kamu bertahan di sisi Ivan hanya sekadar balas budi. Iya, kan?"
Hatiku terasa tersengat mendengar penuturan Mbak Yasmin. Mulutku membisu, tak mampu membantah.
"Hubungan yang hanya satu pihak saja yang mencintai dan berusaha melakukan apa pun demi pasangannya itu terlihat menyedihkan. Kalian berdua, kamu dan Ivan, kelihatan kasihan karena saling memaksakan untuk mempertahankan hubungan yang tidak didasari cinta oleh kedua belah pihak ini." Mbak Yasmin berhenti sejenak untuk mengambil napas. "Tapi jika alasanmu putus karena laki-laki lain, jujur aku sedikit kecewa, Tha."
Aku menunduk dalam-dalam. Semua perkataan Mbak Yasmin memang selalu benar. Meski kenyataannya pahit seperti itu, aku harus menanggungnya, kan?
"Ya sudah, deh. Aku juga sudah janji akan selalu ada di pihakmu apa pun pilihanmu, kan, Tha?" Mbak Yasmin mengakhiri kalimatnya dengan senyuman lebar dibarengi oleh tepukan pada punggungku. "Yang semangat, Tha. Nggak boleh terlalu lama galau."
Aku membalas senyuman Mbak Yasmin dengan tulus. Wanita ini benar-benar yang paling mengerti aku. Selalu mendampingiku bahkan jika aku berbuat salah persis seperti Uti. Tidak pernah menghakimiku, tetapi memberiku banyak nasihat yang berguna. Dia memang keluargaku.
"Makasih, Mbak," ucapku seraya memberikan sebuah senyuman tulus kepada wanita baya tersebut. Kini, aku tidak akan ragu lagi.
***
Undangan ini berwarna oranye cerah dengan ornamen dan aksen bunga-bunga aster nan mungil. Kedua ujungnya kugenggam erat, tatkala aku melihat namaku dan Kak Ivan bersanding di sampulnya. Tanggal yang tertera di sana juga membuatku bergidik. Dua hari dari sekarang.
Kak Ivan sepertinya tidak main-main saat dia bilang tidak akan melepaskanku. Bahkan tanpa persetujuan dariku, dia telah menyiapkan acara pertunangan yang akan digelar secara privat. Undangan ini pun dibuat tanpa sepengetahuanku, hingga Mbak Yasmin tergopoh-gopoh memberikannya.
Bibir bawahku rasanya sudah perih tergigit oleh gigiku. Sejak beberapa menit lalu, tubuhku terasa gemetar karena memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa putus darinya. Apakah aku harus menemui orang tuanya langsung, seperti yang dia katakan? Apakah aku punya nyali sebesar itu? Atau apakah aku harus mengajak Arun juga?
KAMU SEDANG MEMBACA
Whispering Wind (republished) [END]
RomanceAdakalanya seseorang hadir di kehidupan orang lain bagai angin-hanya sekadar lewat, tetapi meninggalkan jejak yang mampu memporak-porandakan hati. Selama sembilan tahun, Tabitha tidak pernah mampu melupakan sosok cinta pertamanya, Arun, meskipun kin...