12. Konfrontasi Pagi

18.6K 2.1K 331
                                    

Happy reading 🤗
.
.
.

"Abang bawa Miko hari ini, Dek."

Mendengar ucapan Bangbi, aku menelan salad cepat-cepat. "Mobil Abang?"

"Dipakai Bang Raihan. Kan semalam udah kasih tahu."

"Emang iya?"

Bangbi menatapku gemas. "Mau Abang jitak? Sini maju!"

Aku tergelak. Semalam memang Bangbi cerita sih, tapi aku mendengarkannya sambil mengerjakan lemburan. Wajar kan kalau tidak fokus?

"Tapi anter aku dulu abis ini."

"Restoran kan nggak searah sama butik."

Aku mulai cemberut. "Ya teroos? Masa Agnes naik ojol sih? Ogah. Nggak mau ah."

"Siapa yang bilang kamu naik ojol? Tuh sama Dave."

Jawaban Bangbi membuatku hampir tersedak. Aku menoleh ke arah Bangcat yang sedari tadi diam mendengarkan obrolan kami. Pria itu balas menatapku dengan sebelah alis terangkat. Aku menunduk, memiringkan bibir.

"Nggak keberatan kan lo, Dave? Nggaklah, pasti. Searah juga kan sama rumah sakit?"

"Iya, nggak masalah." Bangcat berucap dengan santai. "Nanti siang gue berangkat ke Semarang."

Aku kembali mengangkat wajah. Dan lagi, Bangcat menatapku. Aku menggenggam erat sendok, kali ini tidak langsung menunduk.

"Lima hari pulang-pergi. Baliknya gue langsung ke rumah orang tua. Jadi, apart gue tinggal, seminggu."

Mataku berkedip dua kali. Aku tidak paham. Bukan ucapan Bangcat, tapi pada pandangan matanya yang mengarah padaku.

"Lo ngomong sama gue atau Agnes?" Tuh kan? Bangbi saja sadar! Tapi kenapa Bangbi malah tertawa, coba? "Terus, korelasinya gue tahu semua itu apa?"

Bangcat akhirnya mengalihkan pandangan ke arah Bangbi. "Mungkin aja lo nyari gue?"

"Ngapain gue nyari lo?"

"Kangen?"

"Wuanjir!" Bangbi tertawa keki, masih mengumpat berulang-ulang

Aku menggelengkan kepala, ikut tertawa. Bisa ngereceh juga si tukang pukul!

"Dek, berangkat."

Aku mengangguk. Menyandang tas di punggung, lalu bangkit menyusul Bangcat yang sudah meninggalkan ruang makan. Tapi langkahku terhenti saat Bangbi sudah menghalangi.

"Durhaka loh Dek, mau pergi nggak salim Abang."

Mengingat itu, aku hanya menyengir. Lalu mencium punggung tangan Bangbi. Sudah menjadi kebiasaan dari kecil saat semua anak-anak Papa berangkat—entah sekolah, kuliah, atau kerja—selalu mencium tangan yang lebih tua.

"Mau ditinggali uang belanja juga, Bi?"

"Sialan lo! Sono berangkat. Bawa adik gue dengan bener, jangan biarin lecet. Sampai Agnes kenapa-napa gue tarik res—"

"Berisik." Bangcat berdecak. "Ayo, Dek."

"Agnes berangkat." Aku mengecup pipi Bangbi singkat, sebelum menuju Bangcat yang sudah memperhatikan di ambang pintu.

Bangcat melirik dengan muka masam saat aku sudah sampai di sebelahnya. Kami lalu berjalan bersisian menuju lift. Aku meliriknya dalam diam. Dia kenapa? Perasaan, tadi baru saja meledek Bangbi. Kenapa sekarang jadi kelihatan kesal? Wah, jangan-jangan selain tukang pukul, dia juga pengidap bipolar? Ah, tidak mungkin! Atau ... karena pesan Bangbi tadi?

"Bangcat." Aku memberanikan diri, memanggilnya lirih, saat lift membawa kami turun.

"Hm?"

Aku bergeser menambah jarak selangkah sebelum bertanya, "Abang ... keberatan kalau harus ngantar aku dulu?"

Bangcat langsung mengangkat wajah dari ponsel yang sedari tadi ditekurinya. Lalu lehernya memutar ke arahku. Sepasang mata gelap itu menatapku, intens, dan sedikit membuat lututku bergetar.

"Menurut kamu?" Dia malah balik bertanya.

"Ng ... kalau ... kalau Abang keb–maksudnya ... mungkin keberatan ... aku ng-gak usah ikut Abang aja, deh. Iya, nggak usah. Aku bisa naik ojol. Atau taksi. Gampang it—"

"Yakin? Tadi katanya ogah naik ojol?" Sebelah alisnya terangkat. Seringaian meremehkan terbit di bibirnya. Sialan!

Mengepalkan kedua tangan di sisi celana, aku mengangguk mantap. "Yakin. Tadi itu ... itu tadi ... aku cuma main-main aja sama Bangbi. Nggak beneran."

"Oh ya?" Sialan lagi, dia malah semakin menikmati keterpojokanku. "Emang udah berani naik kendaraan umum?"

"Ud—be...lum." Aku membuang muka, mencebikkan bibir. Nah, itu masalahnya! Ini sangat-sangat konyol. Dan memalukan. Dan menjadi salah satu kelemahan dari Agnesia Sinta yang pemberani—selain pada satu orang yang kamu pasti tahu siapa.

Bangcat tergelak. "Makanya, nggak usah sok berani."

"Eh, tapi," please, biarkan aku untuk tidak kalah-kalah sekali pagi ini! "Ini kan masih cukup pagi. Butik bukanya nggak pagi-pagi amat, kok. Bangcat berangkat duluan aja. Aku nanti gampang, habis ini mau telepon, minta jemput Dewa atau Tomp—"

"Oh, ya udah silahkan." Bangcat berucap cepat, bahkan sebelum aku sempat menyelesaikan kalimat. Mukanya sudah mulai menunjukkan aura tiger pregnant. "Tapi Abang akan tetap buntutin kalian dari belakang."

Hah? Aku melongo semelongo-melongonya. Maksudnya apa sih ini orang?

"Sekarang tinggal pilih, mau tetap bareng Abang, atau kamu mau sama teman-teman cowokmu yang tiap hari beda-beda itu, tapi Abang buntutin?"

"Tu-tu-tunggu, Bang, tunggu." Aku tidak tahu di sini aku yang bodoh atau dia yang gila, sumpah! "Aku kan niatnya biar Abang nggak capek anter aku. Nggak repot juga. Ta-tapi kok Abang malah—"

"Yang bilang Abang keberatan siapa? Yang bilang Abang capek siapa? Yang bilang Abang repot siapa?"

Pas keluar dari apart Bangbi muka lo nunjukin kalau gue bikin repot, bangsat!

Mulutku terbuka lalu tertutup kembali. Tidak ada kata-kata yang keluar. Padahal di dalam sana rasanya sudah erupsi, dan tinggal menunggu waktu untuk meletus. Apalagi kata-kata yang menyebutkan seolah aku suka bergonta-ganti teman pria. Dasar bangsat. Sekali bangsat tetap bangsat! Aku memang punya banyak teman. Tidak seperti dia yang setiap pulang kerja selalu nongkrong di apartemen temannya yang itu-itu saja sampai pagi buta. Omongannya memang tidak pernah mengenakkan! Jadi wajar kan kal—HEI?!!

"Kebiasaan su'udzon itu nggak baik, Dek Agnes."

Aku mematung. Dia keluar lift, melenggang santai setelah mencolek hidung milik seorang gadis cantik, imut, manis dan menggemaskan. Di saat gadis itu sedang bersumpah serapah dalam hati. Itu merupakan kejahatan yang sangat-sangat tidak berperikegadisan!

"Ayo, Dek! Apa perlu Abang gendong seperti waktu kamu ketiduran di mobil, pas pulang dari Monas? Iya?"

Jantungku. Jantungku ... Mamaaa!

***

Tuh kan? Bangcat itu emang bangsat!🤣

Segitu dulu, guys ya, biar kalian tahu rasanya digantung wakakaka

Oh ya, kalian ada yang mau pdf Bintang sama Abang Angkasa nggak? Aku lagi ada paket pdf asli karyaku sendiri murmer #dirumahaja nih. Isi paket ada 5 judul pdf:

1. Bintang untuk Angkasa (50k)
2. Amnesia (5k)
3. Hujan Pengantar Rindu (5k)
4. Ritual Angka Ganjil (3k)
5. Another Me (10k)

Total harga normal 73k tapi di paket ini kalian bisa dapat cuma dengan harga 50k. Promo cuma sampai tgl 20 April ya. Kalau minat, bisa chat WhatsApp aku di nomor 081215662514 ya. Yuk beli pdf asli langsung dari penulisnya. No bajakan bajakan club ya😉😉

Magelang, 8 April 2020

Aww-dorable You (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang