Saat aku tak sejalan dengan kalian.
Kalian lantas menasihatiku.
Menyampaikan petuah panjang lebar.
Memberi gambaran akan suramnya masa depan.
Semua klausa itu demi membuatku goyah dan harus jatuh pada pilihan kalian.
Kalian berpikir aku akan mengalami perjalanan curam.
Aku tidak akan menemukan cahaya dalam gulita.
Aku akan tersaruk-saruk di alam bebas.
Tetapi, kalian tak pernah merasakan itu.
Sekadar melontarkan rentetan kata, lalu menakut-nakutiku.
Saat aku tetap pada pendirianku.
Kalian berbisik-bisik di belakangku.
Aku memang tak mendengarnya.
Tetapi, lupakah kalian bahwa Tuhan sanggup mendengarnya?
Ia menyampaikan kabar itu melalui seseorang.
Dan kembali aku dianggap remeh.
Aku bukan sekadar disepelekan.
Lebih dari itu aku dipergunjingkan, dibumbui problema yang begitu pelik.
Kalian berseru ke seluruh jagat raya.
Membicarakan persoalan yang konon demi membantuku.
Apakah ketika ingin membantu, kalian diwajibkan mengais-ngais problema itu tanpa ampun?
Bagaimana jika itu menimbulkan rasa malu bagi pemiliknya?
Omong kosong ingin meringankan beban.
Kalian hanya berusaha membuatku kian terpuruk.
Apakah Tuhan menciptakan alat ucap untuk mencaci?
Dan apakah lisan hanya untuk menyakiti hati?
Begitu dasyatnya pengaruh kata-kata.
Dengan kata-kata, kalian dapat membuat seseorang menjadi gila.
Ya, gila karena apapun yang dilakukan selalu keliru di mata kalian.
Lantas apapula yang mesti diperbuat?
Jika semuanya tidak sesuai dengan harapan kalian.
Tetapi, jika aku seperti itu, pastilah kalian akan tertawa puas.
Dan kalian merasa gembira karena melihatku rapuh.
Aku tahu ini adalah siklus pengorbanan yang harus dilalui.
Bunga tidak akan bermekaran, jika tidak ada selarik cahaya yang menyinarinya.
Aku percaya akan datangnya pelangi seberlalunya hujan.Cilegon, 24 Januari 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELARIK CAHAYA
PoetryPuisi ini berisi tentang kegelisahan, kekecewaan, dan sebuah harapan.