Dia, Bumi.

393 24 17
                                    

Pagi-pagi kelasku sudah ramai, ada dua siswa laki-laki asing didalam kelasku. Mereka teman Ferre. Mereka terlihat sedang mencatat sesuatu dibuku tulis mereka. Aku melewati mereka begitu saja tanpa mempedulikan mereka. Aku duduk di kursiku dengan headset tersumpal di kedua telingaku.

"Mereka siapa, Lyn?" Tanya Azrana pada Alynna.

Aku yang baru saja melepas headset, otomatis dapat mendengar percakapan keduanya yang sedang membicarakan kedua teman Ferre.

"Itu Aryan sama Reno, anggota Salvatra."

"Aryan yang mana? Reno yang mana?"

"Aryan yang kecil, Reno yang tinggi."

"Mereka lagi apa?"

"Kayak lagi nyatetin sesuatu gitu, enggak tau juga deh."

Fokusku terbagi saat kedatangan Bumi dan dua temannnya. Mereka berkumpul di meja Ferre. Mereka membuat lingkaran sampai tak ada celah untuk bergabung.

"Itu si Bumi ya, Lyn?" Tanya Azrana lagi pada Alynna yang masih berlanjut.

"Iya, tapi dia dipanggilnya Kibum." Jelas Alynna. "Kalo yang pendek itu namanya Elang, yang badannya gede itu namanya Yoga tapi dipanggilnya Agoy."

"Mereka semua Salvatra?"

"Katanya sih gitu. Si Kibum sama Elang katanya paling dekat sama Elzan."

"Jangan-jangan mereka mau dijadiin ketua geng kayak Elzan."

"Masih lama kali, Na. Kalo mereka mau jadi ketua geng."

"Sok tau lo, Lyn."

"Iya kan kalo kelas 3 baru bisa jadi ketua geng."

"Menurut lo siapa yang bakal jadi ketua?"

"Enggak tau deh, enggak penting banget, Na, buat gue."

Kembaliku sumpal telingaku dengan headset. Aku hanya mendengar lagu. Tak sengaja mataku mengarah pada mereka. Mataku dan mata Bumi bertemu tapi dengan cepat aku melengos darinya. Aku menjatuhkan kepalaku diatas meja dengan memejamkan mata.

TINGGAL KENANGAN





Tanpa dirasa waktu terus berjalan. Tanpa dirasa aku sudah dapat mengenal sisi luarnya. Aku menilainya tanpa mengenalnya. Saat itu yang aku nilai, Bumi adalah pembuat onar, suka merokok bersama kakak kelas. Suka balapan. Suka lari-larian bersama teman-teman gilanya.

Aku tak pernah dapat menebak tujuan Bumi kesekolah. Apakah hanya untuk mendapat uang jajan dari orang tuanya atau hanya untuk bertemu teman-temannya atau mungkin untuk mengacaukan sekolah. Yang jelas, aku tak pernah melihat seragamnya rapi. Aku selalu melihat baju seragamnya keluar dari dalam celana. Dasinya hanya menyangkut asal di lehernya. Rambutnya yang acak-acakan seperti tak pernah tersisir. Wajah garangnya yang membuatnya sedikit di segani. Jika dipikir apa yang harus disegani, ia saja masih kelas 10. Walaupun bulan depan kami akan naik kelas 11 tapi tetap saja, ia masih kelas 10.

Aku baru saja keluar dari koperasi untuk membeli pulpenku yang hilang entah kemana. Padahal baru saja aku membelinya tetapi sudah hilang. Dikelasku sudah sering sekali kehilangan pulpen. Katanya sih, anak-anak nakal yang didalam kelasku yang mengambili pulpen anak perempuan. Tapi aku tak peduli, hanya pulpen, bukan uang yang mereka ambil.

Tak sengaja aku bertemu Bumi dan Elzan-ketua Salvatra sedang jalan berdua. Dilihat dari wajah keduanya, mereka sedang membicarakan hal yang serius. Bumi hanya mengangguk sebagai tanda ia mengerti apa yang dikatakan Elzan, walaupun sesekali kepala Bumi di tempeleng Elzan.

Tinggal KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang