Aku dan nenek masih saling membisu hingga nenek memulai pembicaraan.
"Ambillah uang yang ada di tanganmu."
"Ha?" Sontak aku menoleh. Tak mengerti maksud nenek.
"Uang yang ada di tanganmu. Ambillah. Sekarang itu milikmu."
Aku menyipitkan mata. Masih mencoba mencerna kata-kata nenek. Ku lihat uang yang kubawa lebih banyak dari uang nenek. Tak mungkin jika aku akan mengambil hak milik nenek.
"Aku tak ingin nek. Ini uang mi–"
"Ambillah." Nenek menggenggam tanganku erat. Sangat erat. Hingga membuatku sedikit memekik.
Aku tak berani menolak. Raut wajah nenek kali ini berbeda. Kerutan di wajah nenek menegang. Alisnya semakin menurun. Sorot matanya semakin tajam.
"Nek," panggilku was-was. Sungguh aku takut dengan perubahan di wajah nenek.
"Nek, aku akan pergi nanti malam. Tak peduli walau cuaca buruk. Aku akan bersiap-siap nek." Nenek hanya diam. Itu semakin membuatku takut. Tapi percayalah, wajah nenek ini benar-benar membuatku muak.
"Nenek." Suaraku meninggi. "Apakah nenek tak mendengarku?"
"Dengar nak. Nenek akan membantumu bersiap-siap."
📌📌📌📌📌
Sesampai di rumah nenek, aku segera memasukkan beberapa barang yang sempat aku keluarkan. Aku memutuskan untuk segera meninggalkan rumah nenek lebih awal.
Sedari tadi nenek hanya mengurung di kamar. Entah apa yang ia pikirkan sekarang. Kupikir, dia pasti sangat sedih karena perlakuan paman tak tahu diri itu. Aku tak berani mengganggunya.
📌📌📌📌📌
10.32 PM
"Ini bekal untukmu nak," nenek memberikan makanan untuk bekal perjalananku nanti.
"Terima kasih nek."
Aku menggeret koperku ke depan. Ku rapatkan kembali jaketku yang masih terbuka. Kali ini aku siap jika badai salju datang, karena nenek memberiku sarung tangan serta penutup kepala yang nenek buat sendiri dari benang wol. Ini sangat hangat.
"Nenek, aku pergi dulu. Terima kasih atas tumpangannya." Aku menyalami nenek
Nenek mengangguk seraya mengelus bahuku. "Keberuntungan akan berpihak padamu nak. Doa nenek selalu menyertaimu."
Aku tersenyum dan mengangguk. Aku mulai menyeret koperku. Kulihat nenek melambaikan tangannya. Tubuh nenek semakin mengecil. Mengecil. Dan tak terlihat lagi. Kali ini salju turun lebih tenang. Namun, suhunya masih tetap sama. Tak apa. Sekarang aku mampu menghadapi salju ini.
"Sepi sekali." Aku melihat perkampungan ini sangat sepi. Seperti tak ada kehidupan disini. Hanya suara angin yang terdengar. Semakin lama, angin yang berhembus semakin dingin. Aku merasakan tanganku mulai terasa sakit karena angin menusuk menembus sarung tangan buatan nenek ini.
"Ahh–dingin sekali. Tidak adakah mesin kopi di sekitar sini?" Aku menoleh mencari mesin kopi atau kios lainnya yang menjual minuman hangat.
"Wahh, itu dia," kurasa keberuntungan berpihak padaku saat ini. Kulihat mesin kopi di seberang jalan. Aku segera pergi kesana dan menghangatkan badanku kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAN I?
Fantasi"Bisakah? Bisakah aku melewatinya sendiri?"-Ailyn Ini kisah tentang gadis remaja yang harus menanggung beban hidup sendiri. Di usia yang masih sangat muda, ia diharuskan untuk merawat seorang anak kecil sendirian. Bukan. Ini bukan karena ia bermai...