Maylin sangat kerasan tinggal di rumah neneknya. Setiap hari dia bisa bermain tanpa harus mempunyai gundu. Cukup bermodalkan plastik sebagai wadah kecebong yang ditangkap dari selokan sudah membuat bahagia. Entahlah, bocah itu bahkan tak jera meski harus mendapat omelan dari ibunya karena menghilang seharian.
Satu hal lagi yang membuat dia senang, di sini tidak pernah ada tragedi ayam lepas hingga bubur yang disantap hanya bertoping daun bawang. Tak ada lagi saku yang berisi ubi. Sekarang, sudah ada kotak makan berisi sepotong roti sebagai bekal sekolah. Meskipun, hasrat untuk membeli jajan di kantin belum juga terpenuhi.
Gadis kecil berperawakan mungil itu bukanlah bintang kelas di sekolah. Ada satu momen di mana sang ibu naik pitam karena menanggung malu. Kala itu, ujian semester satu sudah selesai. Tibalah hari di mana para wali murid untuk mengambil rapor putra-putri mereka. Begitu pun dengan ibu Maylin, dia sudah menyiapkan satu kotak kue untuk diberikan kepada wali kelas putrinya.
“Ini buat siapa, Ma?” tanya Maylin dengan wajah polos begitu mereka berjalan bersisian menuju sekolah.
“Buat guru kamu. Kasian, kan, udah ngajarin kamu selama ini.” Ibu Maylin menggandeng tangan gadis kecilnya agar berjalan lebih cepat.
“Aku nyicip dong, Ma.”
“Enggak boleh, May. Nanti kalau kamu juara kelas baru mama beliin.”
Maylin mengerucutkan bibirnya setelah mendengar jawaban sang ibu.
Sesampainya di sekolah, Maylin hanya bisa menunggu ibu di teras kelas. Dia sudah membayangkan lezatnya kue yang akan ia nikmati sepulang dari sini. Namun, tiba-tiba dia merasakan seseorang menarik lengannya dengan keras. Sontak, bocah itu kaget dan memekik. Maylin bingung mengapa ibu menyeret begitu saja. Bertambah bingung saat wanita itu masih menenteng sekotak kue yang seharusnya untuk Bu Guru.
Terik mentari kian mencambuk langkah mereka agar segera sampai rumah.
“Ma, kok ku—“
“Memalukan!”
Maylin tersentak mendengar bentakan ibunya begitu mereka sampai rumah. Tubuh mungil itu bahkan terhuyung saat merasakan tubuhnya didorong.
“Kamu di sekolah ngapain aja sih, May? Hah?” Ibu Maylin tersengal. Dihempaskannya kotak kue ke meja dengan kesal.
“Memangnya aku kenapa, Ma?” Wajah tanpa dosa itu bertanya.
Sungguh, wajah polos yang tengah menunggu jawaban itu membuat dada Nadia semakin panas. Antara marah, malu, dan juga kasihan. Bagaimana tidak? Putri semata wayangnya itu menjadi bahan lelucon oleh para wali murid setelah guru Maylin mengumumkan daftar nama siswa yang mendapat rangking. Bayangkan, Maylin mendapatkan peringkat terakhir. Luar biasa.
Itulah sebabnya, mengapa wanita muda itu urung memberikan kue kepada wali kelas anaknya. Dia sudah terlanjur malu, bukan karena ia tak terima atau bagaimana. Namun, cara penyampaian guru muda tadi harusnya menggunakan cara yang lebih sopan. Bukankah mengatakan peringkat terakhir sama dengan anak dungu adalah suatu yang kurang enak didengar? Katakanlah Nadia terlalu berlebihan, tapi sungguh ia tak rela putri kecilnya mendapat predikat demikian.
“Ma ....” Maylin masih menunggu jawaban ibunya yang kini masih terdiam.
Wanita itu meraup wajahnya sendiri dengan kasar. Mencoba menghalau panas yang sedari tadi menjalar.
“Mulai sekarang, kamu harus rajin belajar. Oke?” Nadia mencondongkan wajahnya ke arah Maylin yang terduduk di lantai. Suaranya sudah melunak. “Nurut sama mama. Sekarang kamu boleh makan kuenya.” Diacaknya rambut sang anak dengan gemas, lalu melenggang pergi ke dapur.
Mata sipit Maylin berbinar, nyaris tenggelam saat tersenyum pada sang ibu yang berubah menjadi baik. Dengan cekatan, dia meraih kotak kue dan mengambil salah satunya untuk dimasukkan ke mulut.
Matanya terpejam, saat merasakan sensasi lembut dalam mulut. Namun, tak berselang lama, napasnya tiba-tiba sesak. Maylin terbatuk-batuk, mengeluarkan remahan kue yang tadi ia makan. Jemarinya menggapai-gapai tepian meja, berharap ada segelas air di sana.
Satu hal yang pada akhirnya membuat Nadia menyesal dan merutuki dirinya sendiri. Membiarkan Maylin menyantap kudapan berbahan cokelat dan susu sapi lalu meninggalkannya sendirian di ruang tamu. Wanita itu benar-benar lupa bahwa anaknya itu mempunyai riwayat alergi. Beruntung neneknya keluar dari kamar dan mendapati Maylin tengah kesakitan. Lalu ... kejadian itu menjadi bumerang yang berkepanjangan.
***
Purnama bergulir dengan cepat, pembagian rapot semester genap menjadi titik kelam masa kecil Maylin. Bocah itu tidak naik kelas. Sungguh luar biasa.
Entah itu faktor satu-satunya atau bukan, tapi yang jelas perangai Nadia yang semula lembut berangsur berubah. Dididiknya Maylin dengan keras, setiap hari dicekoki angka-angka dan juga aksara agar tidak mengalami keterlambatan membaca. Cukup sudah rasanya dua kali dipermalukan oleh orang yang sama, di kelas yang sama.
Maylin tidak pernah tahu, kenapa ibunya menjadi sosok menakutkan, apalagi jika dia salah menghitung.
“Bodoh banget sih kamu! Memangnya nggak belajar di sekolah?” Bentakan itu keluar bersamaan dengan satu tangan yang mendarat di tubuh mungil nan ringkih.
Gadis itu akan mengerjakan soal-soal matematika dengan berderai air mata. Bahkan ketika jemarinya digunakan sebagai alat bantu, Maylin tetap mendapat pukulan.
“Hitung pakai otak kamu!”
Biasanya jika merasa lelah dan sang ibu lengah, Maylin akan berlari keluar rumah, bermain dengan teman-temannya, dan bersembunyi di semak-semak. Pernah suatu ketika kejadian itu terulang lagi, Maylin bersembunyi di warung yang tak jauh dari rumah sang nenek.
Pemilik warung yang melihat anak kecil meringkuk di dekat tempat duduk beton bertanya, “Maylin? Sedang apa kamu di situ?”
“Aku lagi sembunyi, Bu,” jawab Maylin seraya menempelkan jari telunjuk ke bibir.
“Main petak umpet?”
“Bukan, Bu. Aku lagi sembunyi dari mama.”
“Loh, memangnya kenapa?”
“Mamaku galak! Kayak gajah bengkak!” Satu kesalahan fatal Maylin adalah menjawab pertanyaan pemilik warung dengan lantang. Gajah bengkak yang dia maksud kini menemukan tubuh mungilnya dan menarik dengan paksa.
Maylin meronta, menjerit, dan memohon ampun saat ibunya menyeret tubuh mungil itu di atas jalanan beton. Kulit yang membungkus tulang kecilnya lecet, dan berubah kebiruan pada malam hari. Hal itu, kian membuat dirinya bertanya, Sebenarnya Mama kenapa?
Wanita itu masih saja pelit, tak pernah ada koin yang menggelinding dari jemari mungil Maylin untuk para pedagang di kantin. Dia hanya bisa memandangi kawan-kawan yang berseliweran memegang bungkus jajan warna-warni. Dia akan tetap berdiri sendirian di tanah lapang saat semua anak-anak berlari mengerubungi penjual es krim yang lewat. Diam-diam, ia menyelipkan doa agar suatu saat bisa seperti anak pada umumnya.
Akankah doa Maylin dikabulkan?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PAILIT (Sudah Terbit)
Ficção GeralMaylin, gadis kecil bermata sipit hanya mempunyai tangan sang ayah sebagi pegangan untuk menapaki jalan terjal berliku. Dia tertatih-tatih memunguti satu per satu tawa yang pernah tenggelam di kubangan luka.