12. Hutang Masa Lalu

2.2K 404 23
                                    

Barangkali, Doyoung harus memberi penghargaan pada Johnny karena tak sekalipun mengeluh meski mendapat pengobatan yang kurang baik darinya. Lupakan kurang baik, itu kata yang terlalu meremehkan. Dengan tangannya, Doyoung memastikan luka Johnny tidak akan berdampak lebih buruk dari sekedar butuh istirahat beberapa hari, tapi ia juga tidak melakukan hal lain agar Johnny tidak  kesakitan.

Luka itu berada sekitar 3 cm di atas siku, tapi material yang menorehkan luka itulah yang membuatnya berbahaya. Besi ibarat air keras bagi mereka, merusak hingga ke inti tubuh, membakar, bahkan dalam beberapa kesempatan, bisa saja membunuh. Besi, singkatnya, adalah malaikat maut yang terlihat oleh mata fairy dan sialnya jumlahnya banyak sekali.

Doyoung menyentuhnya, merasakan kulit tergores dan daging yang koyak. Bagaimana tubuh Johnny mengenali luka itu sebagai ancaman, ingin lekas menutupnya. Tugas Doyoung sederhana; membantu. Dia membayangkan lukanya sembuh, berhenti mengeluarkan darah. Pinggiran lapisan luar kulitnya perlahan-lahan menjadi rapat, dan sumber malapetaka itu jadi semakin kecil dan lebih kecil lagi.

Dia berkonsentrasi, dalam sentuhannya merayu, membujuk, agar sel apapun yang bertugas di pusat luka itu bekerja lebih cepat. Johnny harus sembuh, terlepas dari apa yang dilakukannya pada Jaehyun, dia masih dibutuhkan.

Dalam beberapa menit, hasilnya sudah tampak.

Luka itu membaik.

Johnny menunduk, berterimakasih lewat anggukan. "Aku tidak bermaksud begitu, pada temanmu."

Merasa terlanjur, Doyoung merobek bagian bawah kemeja Jaehyun yang tidak bisa dipakai lagi dan meminta Johnny membersihkan lukanya lebih dulu. "Siapa yang mau kau bohongi? Itu memang maksudmu."

Johnny mengusap keringat di dahinya. Efek besi itu terlihat dari langkahnya yang terhuyung-huyung saat berjalan ke sungai. "Baik. Baiklah. Ancamanku memang tidak bermoral, seharusnya aku tidak membawa-bawa keluarga, tapi keluarganya yang lain  membutuhkannya, Doyoung. Kau mengerti kan?"

Doyoung mengamati Jaehyun lekat-lekat, teringat kemarahannya kala berada di rumah, bisa menebak pikirannya yang pasti memikirkan satu nama, Woori. Manusia yang selama ini merawatnya. "Tidak, aku tidak mengerti. Menurutmu bagaimana respon orang-orang saat tahu dia yang seharusnya mati justru masih hidup?"

Gadis di sebelah Johnny melipat kedua lututnya di depan dada, mengistirahatkan kepalanya di atas lutut itu. "Mereka akan mendukungnya. Siapapun rasanya lebih baik daripada Rim."

"Kau lupa satu hal."

Rose menoleh.

"Bukankah pendapatnya juga penting?"

Kening Rose berkerut. Tanpa hiasan darah dan air yang menetes-netes dari dagunya, kecantikannya mencolok dan yah, pantas saja Jaehyun tertarik padanya walaupun Jaehyun pikir bisa menutupinya. "Aku tidak bilang pendapat Jaehyun tidak penting, tapi kalau menunggunya siap, Rim akan lebih dulu menghancurkan kerajaan sebelum dia sempat mendapatkan warisannya."

"Dia tidak menginginkannya." Doyoung menegaskan dengan keyakinan seorang teman yang tidak hanya mengenal seminggu atau beberapa bulan, tapi bertahun-tahun. "Sedikitpun tidak. Lihat dia. Kalau kalian kira dia tertarik menjadi raja betapapun kerennya sebutan itu, kalian salah. Satu-satunya hal yang dia inginkan adalah punya toko buku terbesar di seluruh Seoul."

Tidak mau kalah, Johnny membebat lukanya sendiri dengan mengandalkan satu tangan dan gigi. "Itu bisa dikesampingkan. Kita semua punya prioritas."

"Dan prioritasmu adalah memaksa orang lain melakukan apa yang kau mau?"

Morality : A Prince's Tale ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang