Janji Dari Hati #6

37 2 0
                                    

Hadiah Ulang Tahun
#2

Aku diam bukan berarti
aku baiik-baik saja.
Aku bicara bukan berarti
aku sedang bahagia.

©Yayadibaa

>>>>>¤<<<<<

"Dihari yang spesial bagi Humaira ini, ana Haris Khairullah bermasud menyampaikan niat untuk mengkhitbah Humaira Fathinnah."

Deghh.

Tolong sadarkan aku. Cubit, pukul, tendang atau apapun itu yang membuatku kembali ke alam nyata. Rasanya aku benar-benar sedang berhalusinasi. Haris yang sudah beranak satu, berbicara dengan lantang ingin mengkhitbahku? Wah, semesta benar-benar sedang mempermainkan diriku sekarang.

Hadiah ulang tahun teraneh sepanjang masa, diminta sebagai isteri kedua? Yang benar saja!

Aku menatapnya tajam, seolah bola mataku mampu membunuhnya. Jelas terlihat Ummi dan Abi Haris menatapku heran. Ibu dan Ayah juga tidak merespons, apa jangan-jangan mereka sudah tahu?

"Elu serius, Ris? Lu jangan permainkan perasaan adik gue ya!"

Aku menoleh ke arah Bang Hasan yang terlihat kaget juga sepertiku. Matanya menatap Haris tajam. Di seberangku, Haris, terlihat sangat santai seakan tidak merasa bersalah sedikit pun, aku mendecih.

"Begini Bang, bukan maksud ana menggurui, tapi islam mengajarkan umatnya menyegerakan pernikahan jika memang kita telah siap. Dan jangan pula menundanya jika cinta sudah menggerayangi hati, jika berlama-lama ditakutkan setan akan memanipulasi perasaan."

Aku semakin tidak percaya mendengar penjelasan Haris. Bagaimana bisa hatiku terpaut dengan sosok yang tidak setia seperti dirinya? Jika memang satu cinta tidak cukup untuk memuaskan hatinya, setidaknya aku tidak siap untuk berbagi dengan istrinya.

Aku memang sudah lama menunggunya, juga sangat mengharapkan hari ini menjadi nyata. Tapi bukan sebagai yang kedua, sampai kapan pun aku tidak akan siap untuk berbagi cinta.

"Ana rasa, ana memang sudah siap untuk berumah tangga dengan seorang wanita yang telah lama singgah di hati. Jadi, bagaimana dengan jawabanmu, Maira?"

Aku tidak ingin berbagi, dan aku juga tidak ingin barang bekas. Ah, aku hanya bisa  menyuarakannya dari hati. Rasanya sangat tidak sopan jika sampai didengar orang lain.

"Humaira!" Aku melirik ayah sedikit, "Satu minggu yang lalu, Haris datang menemui Ayah menyampaikan niatnya untuk mengkhitbahmu. Benar katanya, niat baik jangan lah ditunda-tunda."

Aku ingin menangis mendengar ayah yang merestui putrinya mendapatkan barang bekas serta berbagi dengan orang lain. Hatiku semakin sesak, mataku juga mulai menanas.

"Sekarang, semua keputusan Ayah serahkan padamu. Kamu sudah dewasa, dan kamu pasti bisa menentukan apa yang terbaik untukmu."

Menimbang-nimbang keputusan yang sulit. "Maira mohon maaf, tapi Maira belum bisa memberikan jawabannya sekarang."

Aku harap mereka semua mengerti. Keputusan ini memang tidak mudah untukku. Perlu waktu bagiku untuk berdiskusi dengan Rabb-ku yang Maha Mengetahui baik buruknya suatu keputusan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Janji Dari HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang