07 | Rumah Sakit

378 25 1
                                    

Razel mengerjap-ngerjap. Pertama yang ia lihat langit-langit ruangan yang asing. Kedua, jarum infus yang menusuk tangan kirinya. Lalu, ia merasakan kepalanya yang pening dan berat. Tak butuh menilik lebar, Razel tahu ia sedang dalam perawatan di rumah sakit. Baik, ia masih hidup. Sesuai harapannya.

Malam itu Razel sama sekali tak bermaksud bunuh diri. Memang berisiko, tapi ia tahu Ralissa takkan membiarkannya mati. Ia sadar niatnya hanya untuk membuat perempuan itu menyesali apa yang telah diperbuat. Ralissa sudah menyalakan api amarahnya. Ia tak suka perempuan itu membuang benda yang berarti untuknya tanpa berpikir dulu. Jika sampai benda itu tak ditemukan, ia akan menghukumnya.

Tapi, di mana perempuan itu sekarang?

Sejenak Razel memejamkan matanya karena efek bergerak kecil yang ia lakukan. Selepas itu ia seperti mendengar pintu dijeblakkan. Razel kontan menahan diri untuk membuka mata.

Langkah kaki beritme pelan terdengar. Disusul, "Aku balik, Zel ...." Kalimat yang muncul dari samping badannya. Suara Ralissa yang lirih dan penuh penyesalan. "Aku udah bawa kotak ini sama kamu. Maaf ...."

Kotak menjadi alasan Razel membuka matanya tiba-tiba.

"Zel." Ralissa tersentak samar. "Kamu udah bangun." Matanya berkaca-kaca, lalu kedua tangannya menggenggam tangan Razel yang terbebas dari jarum infus. "Kamu udah bangun dari tadi?"

Razel hanya diam dan menatap dingin sebisanya. Ralissa mengambil kotak di pangkuannya, kemudian menaruhnya di genggaman tangan Razel. "Plis, jangan lakuin hal bodo itu lagi ...," ucapnya penuh harap. "Aku juga nggak bakal ngulangin hal bodo aku lagi."

Razel diam, mencerna ucapan Ralissa.

"Aku minta maaf." Tersenyum setengah menangis, Ralissa memeluk tubuh Razel erat, meletakkan kepalanya di permukaan dada lelakinya. Inilah yang Razel mau. Penyesalan Ralissa.

Tak lama kemudian seorang perawat masuk mengantar makanan. Ralissa barusaha menyuapi Razel selepas perawat itu berlalu. Namun, Razel enggan membuka mulutnya. "Aku bisa sendiri."

Ralissa tersenyum. Razel tak menduga Ralissa menuruti perkataannya. Lalu, lelaki itu melihat Ralissa meletakkan mangkok berisi bubur ke nampan bergabung dengan gelas berisi air putih, kemudian mendekatkan nampan itu padanya.

Perempuan itu duduk di sofa selepas menggenggam singkat tangan Razel. Hati Razel mengheran dengan mata menyipit samar. Hari ini Ralissa tak memaksa.

Beberapa jam kemudian, tepat saat jatah makan kedua Razel datang, suhu tubuh Razel memanas. Padahal, ia sempat akan memaksa pulang, tetapi dokter tak membolehkan karena Razel menunjukkan gejala infeksi bakteri yang diduga bersumber dari benda yang dipakainya melukai diri. Lelaki itu pun kini mendapat suntikan anti biotik.

"Jangan pulang dulu." Ralissa meletakkan punggung tangannya pada kening lelakinya. Mendengar penjelasan dokter, Ralissa dipenuhi kekhawatiran kembali. "Semoga demam kamu cepat turun," tuturnya tulus.

Lalu, "Kak!" Terdengar suara pintu dibuka. Razel melihat adik Ralissa datang, menghampiri kakaknya.

"Nih." Anres memberi dua papper bag pada Ralissa yang entah berisi apa. "Aku bawain sekalian baju Kakak yang ada di rumah." Manik mata Razel dan manik mata Anres bertemu sekilas, bersamaan dengan dokter keluar dari kamar rawat Razel.

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang