/3/ Aku Menjawab

49 1 0
                                    

[Tring] bunyi nada pesan di gawaiku berbunyi.

Aku mengambil gawai yang terletak lumayan jauh dariku. Sudah jadi kebiasaanku kalau aku sedang membaca buku, alih-alih aku memfokuskan diri untuk membaca maka aku akan menjauhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu konsentrasiku, termasuk gawai itu.

Dari notifikasi yang kulihat di layar aku melihat nama membubul, "Delila" dengan pesan di bawah nama akun sosial media yang mengirim pesan, kira-kira begini tulis pesannya, "Jadi bagaimana dengan hubungan kita ?"

Aku terdiam sejenak. Menghela nafas kemudian berpikir untuk menjawab apa. Dengan pesan yang ini sudah ada dua puluh pesan darinya hari ini yang selalu berujung pada satu pertanyaan. Tentang hubunganku dengannya.

Aku memang kurang ajar. Kalau melihat situasiku sekarang. Aku jadi teringat dengan salah satu kutipan Bob Marley. Intinya aku adalah pengecut terbesar karena aku hanya membangunkan cinta dari seorang perempuan tanpa membalasnya. Bukan mauku tetapi terkadang keadaan dapat berubah cepat. Perasaan bukan seperti hitungan angin muson yang dapat diukur waktunya, dia tidak jelas, tidak sistematis, semuanya rancu.

Tetapi kalau dibilang aku membangunkan cintanya itu juga tak salah. Kala itu aku memang merasakan desir yang hebat saat bersama dengan perempuan itu. Kurasakan sesuatu yang tak kutemui di perempuan lain. Ya walaupun lagi-lagi mesti kukatan bahwa ternyata itu sama seperti listrik kejut kekagumanku saja. Kira-kira kalau diumpamakan seperti ini, ada seorang dari pelosok desa yang jauh sekali dari hingar bingar majunya perkotaan. Saat seseorang itu sampai di perkotaan, otomatis dia akan terbuai dengan segala hal yang ada di kota. Walau dengan sedikit usaha agar dapat menyesuaikan diri, tapi pasti seseorang itu akan mendapatkannya. Dan akhirnya seperti orang kota lainya, orang desa itupun terbuai hingga akhirnya bosan. Itulah aku.

Lagi-lagi aku memang pengecut terbesar. Aku dapat mengambil kesimpulan bahwa sebetulnya tak ada rasa cinta. Semuanya adalah bayangan semu dari kebosanan yang terbalut indah ditutup waktu. Apakah kau mencintai perempuan yang kamu anggap sebagai kekasihmu atau kebetulan bosan belum menghampiri hubungan kalian berdua? Apakah kematian yang merenggut seseorang dari dunia adalah bentuk cinta Tuhan atau Tuhan sudah muak dan bosan dengan tingkahmu di dunia yang hanya merusak saja? Aku tidak mau memaksakan pendapatku ini, tapi dari setiap pengalaman itulah yang aku temukan.

Aku tak pernah menyalahkan perempuan itu. Aku juga takkan bilang bahwa perempuan itu membosankan. Tidak sama sekali. Mungkin akan lebih kusalahkan diriku yang tidak mampu menahan arus kebosanan yang ada dalam diriku. Memang benar dalam hubungan yang kujalin dengan Delila aku bertemu dengan perempuan lain. Laila.

Aku tak mau berkata bahwa Laila lebih baik dari Delila, ataupun sebaliknya itu bukan keahlianku dan juga untuk apa aku melakukan hal semacam itu? Keduanya sama-sama menarik hatiku, bedanya adalah hanya Delila mungkin lebih dahulu menarik hatiku. Dan Laila lebih terlambat menarik hatiku. Seperti kisah-kisah percintaan klasik aku menemukan Laila dalam hubunganku dengan Delila seperti seseorang yang bertemu di persimpangan jalan. Sekilas dan cepat.

Dan secepat itu pula aku melupakan apa yang telah kulakukan pada Delila. Secepat mata kail yang tersambar ikan di laut. Cepat sekali. Terkadang aku suka berpikir bahwa bagaimana jika suatu saat aku bertemu orang yang sepertiku, yang melakukan hal yang sering aku lakukan kepada orang lain dan semua itu berbalik kepadaku? Aku tak mempercayai hokum karma, karena kupikir itu konyol. Tapi ada sedikit kegusaran yang menghantuiku setiap pesan di gawaiku masuk. Makanya aku tak mau membalas pesan darinya. Karena aku takut akan hal yang kutakutkan itu.

[Tring] lagi bunyi gawaiku berbunyi

Dengan cepat lamunanku hilang dan buku yang telah lupa sampai terakhir dimana menjadi tanda akhir atas semua lamunanku. Aku menatap layarku lagi. Pesan ke dua puluh satu ditambah dengan pesan dari Laila dibawahnya.

[Kamu ingin menyudahi ini semua?] pesan dari Delila,

[Kamu ingin memulai semua ini denganku?] pesan dari Laila.

Aku kehabisan kata. Belum sempat aku memikirkan jawaban untuk dua puluh satu pesan dari Delila satu pesan muncul menghantui lagi. Aku tak mampu memetakan hatiku. Yang kutau semua perasaanku saat ini semu dan kalut. Aku ingin menyudahi hubungan ini, aku sudah muak dengan segala yang berkaitan dengan kebosanan ini. Aku juga muak dengan segala sesuatu yang mesti kumulai kembali.

Aku menyadari satu hal. Bahwa aku belum siap atas semua kekangan ini. Aku tak mengerti apa yang dirasakan seseorang yang mampu berhubungan bertahun-tahun. Rasanya pasti memuakkan. Aku tak bisa mempercayai seseorang selain diriku, aku tak bisa percaya ada orang yang mampu menghiburku. Tetapi aku juga melaknat pengkhianatan, aku melaknant hubungan yang absurd.

Aku merasakan ada yang mengganjal dari setiap aku menjalani hubungan. Seperti ketika aku merasakan banyak ketidakcocokan antara aku dengan pasanganku. Dan selalu saja ada ketidakcocokan baru dengan tiap wanita baru. Aku yang terlalu sempurna atau mereka yang tak mampu sesempurna aku?

Setelah kubulatkan tekadku. Aku memberanikan diri membuka pesan dari gawaiku. Pertama dari Delila. Aku baru menyadari dia sudah mengirimi pesan sedari kemarin. Dan aku lebih kaget lagi bahwa ternyata kemarin adalah hari yang katanya adalah hari dimana aku menjadikannya kekasihku. Mungkin kalau aku tak membuka pesan itu aku lupa dengan itu.

Segala sesuatu telah kupersiapkan dengan matang. Tapi lagi-lagi aku berpikir. Sepertinya lama-lama aku akan menjadi Enrich Fromm seorang filsuf cinta. Dalam pikiranku ada tiga hal, pertama Delila, kedua Laila dan ketiga adalah rasa muakku. Rasa muak atas semua yang menimpaku. Membuatku sebegini kalutnya. Alhasil aku menekan tombol kembali dan gawai menampilkan layar beranda dan keluar dari ruang pesan itu.

Dihadapi pada dua persoalan yang jelas berbeda membuatku sangat runyam. Ini bukan saja tentang mengawali tetapi juga tentang mengakhiri sesuatu. Bahkan ini lebih menyulitkan dibanding memilih mana yang akan menjadi sekutu dan musuh dalam perang, aku yakin itu.

Aku diam sejenak. Aku sudah memikirkan hal ini dari malam kemarin sebetulnya. Aku membuka aplikasi catatan dalam gawaiku. Aku membuat satu kalimat yang kupikir telah menjawab kedua pertanyaan itu. Aku mengetik, dan kemudian menyalin kalimat tersebut dan kukirimkan sebagai balasan untuk dua perempuan itu. Selang beberapa lama gawaiku berbunyi dua kali.

[Tring] Dari Delila, "Aku membencimu!"

[Tring] Dari Laila, "Aku tetap mencintaimu."

Aku menghela nafas panjang. Aku rasa aku telah memutuskan suatu hal besar saat ini. Aku telah menjadi pria yang akan dikenal sebagai pengecut terbesar abad ini. Aku akan dikenal sebagai pria yang menjemukan. Itu semua karena...aku menjawab,

"Aku belum bisa dengan segala hal yang berhubungan dengan cinta. Aku tak mengerti itu semua. Kamu bisa membenciku, tak apa. Kurasa memang pantas kudapatkan, tapi yang ingin kukatakan adalah aku tidak bisa mencintaimu. Cinta ini, rasa semu ini semua menjemukkan. Maaf."

---

Bekasi 2020

Teodorus

ANTALOGI FIKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang