Hanna lagi enggak ada jadwal bimbingan. Jadi hari ini jadi kaum rebahan dulu. Mengistirahatkan kondisi psikis kalau kata Hanna.
"Han enggak ke kampus ?" tanya papa.
"Enggak pa, besok. Masih banyak revisi juga"
"Selesain lah, ngeluh aja" Hanna menghela napas. Seperti enggak punya hak untuk mengeluh, apalagi marah.
Sebenarnya Hanna enggak tertarik masuk jurusan manajemen. Jurusan seribu umat. Tapi papa Pian, papanya Hanna mau Hanna dibidang ekonomi. Awalnya malah Hanna disuruh masuk jurusan akuntansi. Hanna mabok angka, suka ayan kalau lihat angka banyak-banyak, ya meskipun di manajemen ketemu juga dengan angka, tapi gak sebanyak akuntansi.
Hanna tertarik dengan dunia psikologi. Hanna suka melihat karakteristik seseorang, Hanna suka melihat orang dari berbagai sudut pandang, dan Hanna suka mendengarkan cerita seseorang, sekedar berbagi cerita ataupun berbagi beban hidup.
Namanya juga hidup. Kadang enggak sesuai sama apa yang diinginkan. Papa Pian enggak setuju kalau Hanna ambil jurusan psikologi. Enggak menjamin katanya. Hanna nurut. Enggak bisa tolak keinginan papa. Enggak boleh kuliah diluar kota Hanna nurut. Hanna enggak mau kecewain siapapun.
Kalau lagi enggak enak suasana hati begitu Hanna jadi kangen Bang Jeje. Orang yang enggak pernah menyela kalau Hanna lagi mengeluh. Orang yang enggak pernah banding-bandingin masalahnya sendiri dengan masalah Hanna. Orang yang bisa buat Hanna selalu cari dia disaat Hanna ingin menumpahkan semua isi kepalanya.
Hanna : dimana?
Udah seminggu ini Bang Jeje tumben banget jarang chat Hanna. Biasanya dua hari enggak chatan udah bilang rindu puluhan kali ke Hanna.
30 menit enggak ada balasan dari Bang Jeje. Hanna mau langsung telpon, mulai enggak enak perasaannya.
"Jea dimana lo ?" udah enggak mikirin basa basi segala. Kalau Hanna udah panggil Jea, itu peringatan untuk Bang Jeje.
"Iya beb ?" suara serak disebrang sana jawab.
"Lo dimana gue tanya !"
"Jea bonyok Han, ini gue Pandu" Hanna enggak bereaksi. Telpon masih tersambung.
"Halo Han ? Han ? Holaaaa ......... ?"
"Dimana sekarang ?" tanya Hanna dengan nada dinginnya.
"Dirumah gue Han, enggak mau pulang katanya takut diamuk Mama Nia"
"Gue kesana" sambungan telpon langsung terputus.
Enggak sampai 20 menit Hanna udah sampai dirumah Pandu. Orangtua Pandu selalu sibuk, sering ke luar kota. Karena itulah rumahnya selalu dijadiin basecamp.
Melihat kedatangan Hanna dengan raut wajah yang lebih dingin dari biasanya, Denis langsung antar Hanna ke kamar Pandu.
Suasana hening, Hanna enggak bicara sepatah katapun. Bang Jeje tersenyum tipis sambil menahan rasa sakitnya.
"Coba anak-anak bisa keluar sekarang ? Papa ada urusan dulu sama mami" ucap Bang Jeje memerintah Denis dan Pandu untuk keluar.
Masih sunyi. Enggak ada yang mulai obrolan. Bang Jeje enggak tahan, akhirnya mulai.
"Maaf" ucap Bang Jeje lirih.
Hanna membuang pandangan sambil menghela napas kasar "kali ini apalagi ?"
"Aji, dia ada masalah sama orang. Aji lebih parah dari gue Han, dia dirawat di rumah sakit" Bang Jeje mencoba jelasin masalah yang sebenarnya.
"Terus lo juga ikut-ikutan buat bonyok gini ? Enggak mikir cara lain apa gimana sih lo"
"Dia temen gue Han, situasi udah genting kaya gitu mana ada waktu buat mikir. Awalnya dia pergi sendiri, waktu itu gue baru balik dari kantor omnya Kanaya. Gue liat Aji pas di gedung yang lagi di bangun disamping kantor. Dia udah enggak bisa lawan Han, terus gue harus diem aja ?" Hanna sedikit kaget mendengar nama Kanaya, tapi kembali fokus lagi mendengar penuturan dari Bang Jeje.
"Lo mau mati ya ?" tanya Hanna dingin.
Bang Jeje menatap Hanna dingin "lo mau liat gue mati ?"
Hanna diam, menghela napas perlahan "ayo ke rumah sakit"
"Enggak"
"APA PERLU GUE SERET ?" Hanna langsung mendekat ke arah Bang Jeje.
"Sekalian kita jenguk Kak Aji, enggak usah macem-macem" Hanna bicara lembut sambil mengelus puncak kepala Bang Jeje.
"PAPA SUDAH BELUM NEGOSIASI DENGAN MAMI ?" teriak Pandu dari luar kamar.
Hanna memutar bola mata "temen lo gitu semua ?" Bang Jeje hanya mengangkat kedua alisnya.
Perjalanan ke rumah sakit enggak ada yang banyak bicara. Mereka takut lihat ekpresi dingin Hanna.
Hanna memijit pelan pelipisnya "lama-lama ikutan enggak waras gue deket-deket kalian, enggak mau terlalu akrab ah"
"Cih, gue temen lo dari paud ya Han, enggak usah sok paling waras loh. Itu yang suka ujan-ujanan pake cangcut doang di depan rumah gua siapa Han ? Oh iya ada yg main boneka, ceritanya anaknya mati, ditaburin daun beneran tuh siapa Han ? Untung aja gue pindah ya Han, ingatan masa kecil gue bisa bobrok lama-lama liat lo. Bibit sinting lo tuh sudah terlihat semenjek lo embrio kayanya" cerocos Pandu panjang lebar.
Hanna menghela napas perlahan "masa kecil gue indah dengan kesintingan gue" Hanna memberikan senyum smirk-nya.
"Hahahaahahhh gue mau ketawa tapi pada sakit badan gue, gimana dong ?" Bang Jeje tertawa lepas.
"Lo udah ketawa dugong" Hanna melirik sinis.
Denis menghentikan laju mobilnya di parkiran rumah sakit "bentar ya gue sama Pandu ambil kursi roda dulu"
"Emang gue lumpuh apa" Bang Jeje menyahut.
"Gua gaplok ya lu" Pandu menjambak pelan rambut Bang Jeje.
"Itu namanya jambak kunyuk. Uuuhh gigit nih y, udah ayo buru" Denis mencubit lengan Pandu.
"Akhirnya pergi juga" Bang Jeje menghela napas.
Sekarang tinggal mereka berdua didalam mobil. Hanna diam, Bang Jeje bingung mau mulai bicara dari mana. Enggak pernah mereka secanggung ini.
"Maaf" bisik Bang Jeje di telinga kiri Hanna.
Sekarang Hanna sepenuhnya menghadap Bang Jeje. Merek duduk di bangku belakang mobil. Sengaja supaya Bang Jeje bisa lega, lebam dimana-mana. Bergerak sedikit sakit.
"Jangan gini lagi, please" Hanna mengucapkan dengan mata berkaca-kaca.
Bang Jeje tersenyum manis "iya enggak lagi, gue janji".
"Kalau lo enggak ada, gue enggak akan punya telinga lagi. Cuma lo telinga yang gue punya" Bang Jeje mengusap air mata di sudut mata Hanna.
Bagi Bang Jeje, Hanna terlalu fragile buat ditinggal sendiri. Enggak ada niat sedikitpun Bang Jeje tinggalin Hanna.
"Telinga gue cuma punya lo, kotoran telinganya baru tuh gue kasih ke si Pandu" ucap Bang Jeje sambil menaik turunkan alis.
___________
Haii dapet salam dari Pandu!!
Salam dunia "Pershiperan" hehehh
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman (Katanya)
Roman pour AdolescentsJeandar Abi Yohan, tipe buaya tapi santun. Menjunjung tinggi prinsip hanya serius pada satu wanita, yang lain hanya permainan. Sayang banget sama mama papa tapi selalu ribut. Sayang Hanna juga tapi sayang cuma teman. Ruby Hanna Salsabila, kalau udah...