DELAPAN BELAS

462 52 2
                                    


Waktu menunjukkan pukul empat kurang lima belas menit, Bia sudah meninggalkan ruangan kelas. Hampir enam jam Bia berkutat dengan soal-soal ujian tengah semester, sampai-sampai ia lupa memberi makan cacing-cacing dalam perutnya. Kini tujuan utama Bia adalah tempat makan langganannya. Karena letaknya yang telalu jauh dari kampus, Bia memilih berjalan kaki.

Warung Makan Sinten Remen merupakan surga bagi anak kos. Harga makanan yang tidak terlalu mahal menjadi magnet tersendiri. Belum lagi fasilitas wi-fi yang diberikan si pemilik. Warung ini buka 24 jam, nggak heran jika tempat ini jauh dari kata sepi. Ada saja mahasiswa yang silih berganti datang hanya sekedar nongkrong, nugas dengan memanfaatkan wi-fi gratis, ataupun mengisi perut seperti yang hendak dilakukan Bia kali ini.

Bia berdiri diantara kerumunan, aroma cologne dari tubuhnya menyeruar bercampur asap rokok dan aroma gorengan yang baru saja diangkat dari penggerongan. Gadis itu berdiri tepat di depan etalase untuk memesan nasi goreng telur favoritnya. Sembari menunggu pesanannya dibuatkan, Bia duduk pada sebuah kursi plastik mengamati satu persatu meja yang sudah terisi hingga pandangannya berhenti di sebuah meja yang terletak di sudut ruangan. Rasanya seperti ada kupu-kupu yang sedang berlarian di dada Bia ketika sepasang matanya menangkap seseorang tengah merokok sambil tertawa tanpa sedikit pun menyadari keberadaannya.

"Pram..."

Bia merogoh ponsel dari dalam tas bermaksud untuk menelpon Mas Ganteng, siap ponselnya kehabisan daya. Dengan kesal Bia melempar kembali ponsel ke dalam tas. Kini Bia sedang mengumpulkan keberanian serta memikirkan cara bagaimana ia bisa menghampiri Mas Gantengnya itu. Bia menarik nafas pelan lalu dengan kekuatan bulan ia berjalan mendekati meja yang terletak di sudut ruangan. Saat sudah dekat tiba-tiba langkahnya terhenti begitu melihat siapa yang duduk di sebelah Mas Ganteng.

"Hai..." Gadis itu melambaikan tangan ke arah Bia, matanya yang berlapis softlens menatap Bia, hingga mengalihkan pandangan Mas Ganteng yang tengah asyik merokok. Sudah kepalang basah, Bia memberanikan diri mendekat. "Halo..."

Beberapa orang yang berada di meja itu menatap Bia sebagai orang asing. Sudah dipastikan mereka adalah gerombolan anak dari Fakultas Ekonomi, karena ada Mas Ganteng juga Kanya.

Kanya, iya Bia mengingat dengan jelas namanya. Nama yang selama ini selalu dicemburui Bia karena kedekatannya dengan Mas Ganteng. Seperti saat ini, Bia terpaksa harus mendapati pemandangan yang tak diharapkannya.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Kanya.

Mandi, ya beli makanlah namanya aja ke warung makan

"Lagi nunggu pesenan," jawab Bia kikuk.

"Sini sini duduk dulu." Kanya langsung berdiri dan memberikan tempat agar Bia bisa duduk di samping Mas Ganteng.

"Loh kamu naik apa, Bi?" Alis Mas Ganteng terangkat heran, kedua matanya berkelana ke setiap sudut tempat.

Bia menghela nafas, jantungnya berdebar cepat. Jangan-jangan ini kode Bia. Buruan bilang kalo kamu jalan kaki trus pulangnya minta dianter. Ah itu kan yang Bia mau! Bia berusaha menahan tawa, ia sedang menyusun keberanian untuk mengatakan itu.

Ayo Bia katakan sekarang, ini kesempatan bagus.

Bia membuka bibirnya namun hanya satu kata yang mampu ia katakan. "Jalan." Setelah itu tak ada lagi jawaban dari Mas Ganteng.

Bia dan Mas Ganteng saling diam beberapa saat dengan pikirannya masing-masing. Hanya ada suara cekikak cekikik dari Kanya dan teman-temannya yang juga berada di meja itu.

"Trus kamu pulangnya?" Tiba-tiba kalimat itu keluar bak busur panah yang menancap di dada Bia. Kini jantung Bia berdetak tak berirama.

Yes, kode keras. Tinggal bilang aja kali Pram, yuk tak anter pulang. Gitu aja kok refot.

Mas Ganteng membuang puntung rokok ke dalam asbak lalu bangkit berdiri. "Bentar Bi, aku telpon Bash. Tadi dia bilang mau jemput kamu."

"OMG! Kamu...iya kamu yang udah buat aku Ge-er. Nyebelin banget sih!"

Bucin Kasta TertinggiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang