Part 1

159 2 7
                                    




Kota itu hancur tanpa sisa, gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi seolah menunjuk langit, kini berubah menjadi puing-puing berantakan yang teronggok menjadi sampah tak berharga di permukaan tanah. Suara ledakan bom dan ranjau bergemuruh di setiap titik sudut kota membuat tanah yang mereka pijak terasa bergetar. Tembakan beruntun dari udara yang berasai dari pesawat militer C-141 B Startlifter, seperti bintang yang berjatuhan dari langit. Suara meriam yang ditembakkan dan meledak di beberapa tempat membuat indera pendengaran menjadi peka, tapi mereka sudah terlatih dalam kondisi seperti itu. Angkatan bersenjata Amerika Serikat
adalah militer paling kuat di dunia dengan kekuatan serta kemampuan mereka adalah proyeksi yang tak tertandingi oleh bangsa tunggal mana pun. Di depan puluhan tank, berdiri seorang Jenderal berbintang lima dengan seragam kebangsaan terlihat begitu berani di tank terdepan. Jenderal paling muda dan juga terhebat di antara sekumpulan prajurit lainnya, ahli strategi perang dalam sejarah Amerika, yang berhasil memimpin para tentara melakukan pertempuran Sevastopol, Kerch dan Kharkov. Satu-satunya jenderal yang berhasil membawa kemenangan Amerika terhadap penyerangan ke Rusia dengan strateginya yang terkenal 'Black land.'Seorang pria yang akan menerjunkan diri di garis terdepan peperangan dengan resiko terbunuh paling tinggi.            

              Mereka menyebutnya Jenderal Muda Bertangan Besi.

              Pasukan itu berhenti di baker-5 untuk persiapan, beristirahat sejenak sebelum melanjutkan peperangan. Ada tiga puluh enam tank yang tersisa, masing-masing dibagi menjad enam pleton. Satu pleton berisikan enam tank yang harus bekerja sama. Dan tiap pleton mendapatkan wilayah yang berbeda-beda, Irak yang luas hanya dapat ditaklukan jika mereka semua berpencar di tiap titik sudut kota. "Kalian sudah bekerja keras hari ini." Suara otoriter Jenderal membuat setiap Sersan yang memimpin tank berpaling ke arahnya. "Kita beristirahat sejenak. James, kau siapkan amunisi dan air. Landon, kalian siapkan ransum dan bahan bakar. Perbaiki segera masalah mekanik pada tank kita," Justin menunjuk tank yang dia kendarai dengan dagunya. "Dan katakan pada Sersan Mayor untuk memasukkan para tentara yang selamat di truk."

              "Hari yang melelahkan, Jenderal?" Justin menoleh dan melihat seorang letnan memberikannya sebotol minuman keras.

              "Thanks."

              Sang Jenderal bersandar di tank-nya sambil meneguk botol minuman. Bola matanya memperhatikan para tentara Amerika yang berhasil selamat dari sisa-sisa pasukan yang dikerahkan sebelumnya. Justin menarik tubuhnya dari tank dan berjalan menuju ke dalam benteng. "Angkut para korban ke dalam truk, kita akan mengangkut mereka ke markas," perintahnya tegas pada salah satu brigadir.

              "Yes, sir." Brigadir yang mendapatkan perintah segera menganggukkan kepalanya mengerti dan bergerak untuk melaksanakan tugasnya.

              Pria itu masuk ke dalam benteng, meletakkan botol minumannya di sebuah meja dan melebarkan sebuah kertas berisi rute-rute perjalanan. Dia menekan ujung pena dengan ibu jarinya dan mencoret-coret beberapa bagian dalam peta. "Kita sudah menyelamatkan lima batalion." Mata tajamnya terfokus pada kertas itu sambil melingkarkan beberapa titik. "Di sini, di sini, di sini," katanya pada Jeremy, seorang letnan yang ditugaskan menjadi bawahannya. "Kita tersisa tiga puluh enam tank dan dua puluh anti-tank. Jumlah yang sedikit dan hal terpenting harus kita lakukan adalah hancurkan senjata mesin para tentara musuh." Justin menoleh saat mengatakan intruksinya.

              "Ah! Kapan sebenarnya perang ini berakhir?"

              "Kau menyerah, Jeremy?"

              "Menyerah? Kau bercanda, Jenderal? Tentu saja tidak. Aku cukup optimis, sebenarnya."

              "Akan ada sepuluh wanita seksi berdada besar menjadi hadiah-mu jika kau berhasil kembali ke Amerika dengan selamat." Justin mengedipkan matanya dan menggulung kertas di atas meja untuk kembali menyelipkannya ke dalam saku seragam. "Kau masih punya waktu, dude, yang terpenting adalah menangkan peperangan ini," sahutnya bersungguh-sungguh.

SUPERNOVA by Erisca FebrianiWhere stories live. Discover now