"Udah gue duga lo bakal nanya begitu," Zain tersenyum miring.
"Tolong lah, Zain," pinta Eric sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
Zain berpikir. Eric tahu tidak mudah memberi tahu seseorang tentang sebuah rencana besar.
"Gue mau ngasih tau, tapi..." Zain menggantungkan kata-katanya.
"Tapi?"
"Tapi lo harus tau kalo sekarang Zein nggak sejahat sebelumnya," kata Zain. "Jadi lo jangan mengabaikan dia dan jangan nganggep Zein seperti sebelumnya."
Eric tersenyum. Zain memang sesayang itu pada saudaranya.
"Oke," Eric menyetujui syarat Zain. "Ngobrolnya duduk aja, pegel."
Eric menuju salah satu bangku di sana. Kemudian menepuk sampingnya mengisyaratkan Zain untuk duduk di sebelahnya.
"Jadi?" tanya Eric.
"Gue kasih tau poin utama masalah ini," ujar Zain serius. "Yang bikin masalah ini sebenernya bukan Zein, tapi mama gue."
"Serius?"
Zain mengangguk. "Kenapa mama gue? Karena mama gue punya dendam sama orang tua lo. Sampe sekarang gue belom yakin dendamnya apa, tapi yang gue yakin adalah berhubungan dengan masalah status."
Eric tetap menyimak.
"Dan kenapa Zein ikutan rencana jahat mama gue? Karena dia sayang banget sama mama dan dia mau bantu dan bela mama bagaimanapun caranya. Dulu gue juga dihasut sama Zein, tapi gue nggak mau. Inget keluarga lo yang baik aja gue nggak tega liat kalian menderita. Tapi sayangnya sekarang kalian malah harus menderita."
"Gue masih penasaran sampe sekarang dendam mama gue sama orang tua lo apa. Nah, kemaren Zein nggak sengaja bilang kalo ayah gue dan dia sebenernya belom meninggal, mama gue cuma bikin karangan aja."
"Di situlah gue bertanya-tanya. Gue sempet kaget pada awalnya, tapi makin ke sini gue malah makin penasaran. Coba lo inget, ayah lo ke luar kota terus mama gue bikin masalah. Berarti mama gue dendam sama ibu lo, bukan?"
Eric mengangguk.
"Tapi anehnya, kenapa mama gue nggak ngincer ayah lo juga?"
Eric mengangkat bahu.
"Maksudnya, kalo mama gue dendam sama orang tua lo, kenapa nggak dari awal aja mama gue ngincer orang tua lo? Kenapa harus nunggu ayah lo gak di rumah?"
"Iya juga," gumam Eric berpikir.
"Kemungkinan kecil mama gue ada rasa sama ayah lo."
"Hah? Maksudnya?"
"Iya, jadi mama gue punya perasaan sama ayah lo."
"Tapi kenapa...?" tanya Eric.
"Kalo gue nggak salah terka, mungkin aja ayah lo itu ayah gue juga."
"H-hah? Maksud lo?!"
"Jadi sebelum ibu lo nikah sama ayah lo, bisa jadi ayah lo itu nikah sama mama gue? Atau semacamnya? Entahlah."
Eric masih terkejut. Ia tidak mampu bicara saat ini. Pikirannya ke mana-mana.
"Apa mungkin ayah gue..." Eric menggantungkan kata-katanya.
"Mungkin aja."
"Gue masih nggak percaya."
"Sama gue juga."
"Eh, ada orang lain kan selain Tante Ren dan Zein yang ikut dalam masalah ini?"
Zain berpikir. "Ada," jawabnya singkat. "Perempuan. Tapi gue nggak tau dia siapa."
"Lo tau gak dia ikutan masalah ini karena apa? Apa dia dendam juga sama orang tua gue? Apa jangan-jangan dia dendamnya sama gue?" tanya Eric bertubi-tubi.
"Fyi, gue taunya dia ikut campur gegara ayah lo yang memperlakukan ayah dia dengan semena-mena sampai membuat ayahnya masuk rumah sakit jiwa. Nggak tau sih bener apa nggak. Soalnya gue dikasih tau Zein tapi dia sepertinya bohong."
"Ya ampun, kenapa ayah gue banyak dosa?"
"Maaf, ya, Ric, bikin lo tau semua tentang ayah lo," Zain menundukkan kepalanya, menyesal.
Eric tersenyum. "Nggak apa-apa, Zain, gue yang maksa juga, kok."
"Ric, kalo bener ternyata lo itu 'saudara tiri' gue, apa tanggapan lo?"
Eric terkejut dengan pertanyaan yang sungguh tiba-tiba tersebut.
"Jawab aja," desak Zain sedikit memaksa.
"Hmmm," Eric berpikir. "Gue terima aja, tapi mungkin gue agak sungkan sama lo."
"Loh, kenapa sungkan?" tanya Zain heran.
"Ya, karena gue merasa bersalah. Itu aja, sih."
Zain manggut-manggut.
"Maafin ayah, ya?"
"Nggak apa-apa, Ric."
|Beside The House|
"Zain ayo makan," ajak Eric sambil bergegas ke dapur.
"Eh, iya, duluan aja," jawab Zain sambil meneruskan membaca buku.
Eric pun mengangguk. Ia mengerti, Zain masih sedih dengan kepergian saudara kandungnya. Ia pun juga sama. Masih sedih dengan kepergian ibunya dan sedih juga mengapa orang tuanya seperti itu.
Kemarin, Farrel memberi tahu tentang keanehan di rumahnya belakangan ini.
Farrel bilang, di samping tembok sekeliling rumahnya, ada sebuah tanaman yang digunakan untuk memanggil jin. Dan itu baunya luar biasa. Maka itu kenapa sering ada bau tidak sedap yang datang ke kamar Eric dan menyebabkan dirinya pusing dan mual.
Eric harus berterimakasih kepada Ryan dan Farrel yang membantunya.
Ia bersyukur tidak meninggal. Lebih bersyukur lagi semuanya telah selesai. Sungguh senang menikmati hari-hari tanpa ada sesuatu yang mengusik. Ya, walaupun tanpa orang tersayang.
End
|Beside The House|

KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇ
Misterio / Suspenso[[COMPLETED]] "Gue selalu nyium bau anyir setiap lewat situ." ©hanshzz, 2020