BAB 5 | Kecelakaan

47 8 2
                                    

"Semua ini adalah skenario Allah. Kita hanya perlu bersabar, bersyukur, dan bertawakkal"

---

Tiga tahun berlalu dengan cepat.

Yudha berhasil menamatkan kuliahnya lebih cepat dari teman-temannya. Bahkan ia termasuk 10 orang tercepat yang lulus di jurusannya saat itu. Ia lulus dengan nilai memuaskan meski tidak mendapat peringkat camlaude. Laki-laki itu tentu saja tidak mempermasalahkan hal itu. Yang penting, dengan nilainya, ia sudah diterima bekerja di salah satu bank nasional.

Persis ketika jarum jam menunjukkan pukul 06:00, Yudha akhirnya keluar dari kamarnya. Menyempatkan diri untuk mengisi perut kosongnya sebelum menembus udara yang cukup dingin selama kurang lebih 45 menit ke depan.

Setelah menghabiskan dua buah omelet sosis yang sudah tersedia di atas meja, Yudha menenggak habis satu gelas teh hangat untuk menghangatkan perutnya. Berjalan cukup cepat menuju garasi. Takut sekali akan terlambat seperti beberapa kali yang pernah ia lakukan.

Sesuai tebakan Yudha, mamanya sudah ada di garasi. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menunggu dirinya.

"Sarapan sama teh hangatnya udah habis, kan?"

Yudha hanya memberi jawaban berupa anggukan singkat, lebih fokus pada sepatu hitam mengkilat yang sedang dikenakannya.

Pergantian tahun demi tahun belum mampu membuatnya menerima wanita alias mamanya ini sepenuhnya. Meski ia tidak pernah benar-benar membenci wanita itu, ia juga tidak pernah menyesali setiap sikap kasar yang pernah ia lakukan padanya.

"Yudha berangkat, Ma."

Persis ketika kalimat itu tiba di ujungnya, Yudha segera tancap gas. Menghilang di balik kelokan jalan dan menambah kecepatan moge-nya saat bertemu dengan jalan raya yang baru saja kembali "terbangun".

---

Siang dengan cepat berganti, bersamaan dengan matahari yang mulai mengeluarkan semburat jingganya di ufuk barat. Segera bersiap menyambut senja yang akan disusul malam. Menandakan kesibukan hari ini akan segera berakhir.

Di kursinya, Yudha meregangkan tangan. Penat setelah mengetik kurang lebih seharian. Menghabiskan sisa kopi di cangkir yang baru dibuatnya beberapa menit yang lalu. Lantas bangkit dari posisinya. Berniat menuju parkiran agar dirinya bisa segera pulang dan beristirahat.

Namun, langkahnya terhenti saat merasakan handphone yang ada di dalam saku celananya bergetar. Ia buru-buru mengeluarkan benda pipih itu. Takut kalau hal itu sesuatu yang penting atau sejenisnya.

Lidya

Kali ini, nama itu benar-benar membuat Yudha kesal. Ia sungguh tidak ingin menunda kepulangannya karena mengangkat telfon gadis itu pasti akan membuatnya membuang-buang waktu yang dianggapnya berharga. Namun, apalah daya kaarena kenyataannya, Yudha benar-benar tidak bisa menolak permintaan gadis itu.

Ya. Yudha memang masih berhubungan dengan Lidya sampai sekarang. Hubungan mereka dari SMA memang terlihat awet. Bahkan, sebenarnya tak pernah benar-benar ada masalah yang membuat hubungan keduanya harus berakhir.

Meski sesekali Yudha kesal seperti saat ini, Yudha tak pernah benar-benar marah. Ia rela mewujudkan semua keinginan gadis itu meski ia tahu bahwa sebagian hatinya menolak. Ya. Yudha memang telah mencintai Lidya sejauh itu, hingga ia benar-benar takut kehilangannya.

Alhasil, Yudha mengangkat panggilan itu meski sejujurnya ia tak ingin.

Suara manja Lidya akhirnya terdengar dari seberang.

Titik Terang [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang